Internasional
Krisis Lira Turki Pukul Investor Ketengan di Jepang
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
27 August 2018 18:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Masalah keuangan di Turki diklaim telah memakan korban di tempat nun jauh di Jepang. Pasalnya, para investor kecil di Negeri Matahari Terbit itu sudah mencoba-coba aset di pasar berkembang demi menghindari keuntungan investasi domestik yang sangat rendah.
Kekesalan itu menggambarkan minat yang besar terhadap risiko di antara para investor kecil, atau sering disebut sebagai "Mrs. Watanabe" yang menggambarkan stereotip ibu-ibu rumah tangga Jepang. Tahun lalu, peneliti Deutsche Bank mengatakan para investor ini telah mendorong reli bitcoin dan menyumbang setengah dari perdagangan mata uang asing menggunakan dana pinjaman.
Investor perorangan buru-buru mengambil Uridashi, atau obligasi dengan imbal hasil (yield) tinggi yang dipasarkan ke rumah tangga dan seringkali menggunakan denominasi mata uang asing seperti lira, real Brasil, dan rand Afrika Selatan. Instrumen tersebut tidak memiliki leverage yang tinggi, tetapi biasanya obligasi biasa.
Meskipun begitu, instrumen tersebut menawarkan keuntungan yang menarik berkat meningkatnya suku bunga di pasar berkembang.
Melansir dari Wall Street Journal, minat tersebut nampak nyata setelah suku bunga Jepang dipatok rendah selama bertahun-tahun. Penawaran daring (online) terbaru dari Rakuten Securities mengunggulkan yield 23,1% pada utang berdenominasi lira yang diterbitkan European Investment Bank. Fakta tersebut menambah pamor yield 20,9% dari obligasi pemerintah Turki bertenor 10 tahun, dan jauh di atas acuan 0,1% di utang pemerintah Jepang yang tersedia.
Saat ini, beberapa investor perorangan ini mengalami kerugian yang besar. Lira sudah melemah nyaris 20% terhadap dolar dan 21% terhadap yen bulan ini. Sementara itu, mata uang lain seperti rupee India, real Brasil, dan rupiah mendekati posisi nilai tukar terendah dalam beberapa tahun ini.
Yasuyuki Tokue, 49 tahun, seorang profesional hukum yang tinggal di dekat Osaka mengatakan dia membeli obligasi lira dengan nilai awal 7,5 juta yen (Rp 986,6 juta) di antara tahun 2015 dan 2017.
"Saya tertarik dengan suku bunga yang tinggi," kata Tokue. Meskipun demikian, dia berkata akhirnya merugi 1,2 juta yen ketika menjual kembali beberapa obligasi ke brokernya di bulan April. Kepemilikan asetnya yang bagus sudah anjlok secara nilai.
"Saya melakukan kesalahan," dengan gagal melindungi risiko mata uang, kata Tokue.
Seorang investor di Yokohama mengatakan dia sudah kehilangan sekitar 300.000 yen dari obligasi lira yang dia beli tahun 2012, atau sekitar 65% dari pengeluaran aslinya termasuk komisi.
"Saya sudah mendapatkan pelajaran," kata investor yang menolak menyebutkan namanya itu. "Saya bodoh sekali berinvestasi di satu obligasi pasar berkembang."
Uridashi biasanya diterbitkan dengan promosi peringkat kredit tinggi seperti Bank Dunia (World Bank/WB) dan jatuh tempo dalam jangka waktu lima tahun. Sehingga, depresiasi mata uang adalah risiko utama, bukannya gagal bayar obligasi.
Berdasarkan kurs nilai tukar yang diterbitkan, Thomson Reuters memperhitungkan nilai utangnya ada sekitar US$155,3 miliar (Rp 2.270 triliun), termasuk US$10,74 miliar dalam real Brasil dan US$7,64 miliar dalam lira.
Flora Chao yang merupakan Kepala Pendanaan Global di International Finance Corp. (IFC) WB mengatakan pasar Uridashi adalah sumber pendanaan penting untuk IFC karena memungkinkannya untuk menjangkau investor ketengan Jepang.
Para penerbit biasanya menggunakan turunan yang dikenal sebagai penukaran lintas mata uang. Secara efektif, ini artinya mereka bisa meminjam dengan relatif murah dalam mata uang dolar, sementara itu pembeli obligasi Jepang yang membeli lewat pialang lokal memperoleh suku bunga lebih tinggi yang sesuai untuk sebuah pasar berkembang.
Sementara tidak ada pasar untuk memasarkan Uridashi, broker bisa kembali membeli obligasi ritel tersebut dengan nilai nominal dalam mata uang lokal untuk biayanya, kemudian menjualnya lagi ke underwriter atau investor lain. Dalam kasus Tokue, dia berkata membayar biaya yang setara antara 3,2% dan 8% dari berbagai obligasi yang dia jual.
Namun, karena obligasi biasanya tidak menggunakan mata uang domestik, nilainya bisa turun-naik bahkan ketika kelayakan kredit penerbit tidak berubah. Pembelian kembali (buyback) tidak menjadi kompensasi bagi para investor untuk pergerakan semacam itu.
Para analis dan investor mengatakan Mrs. Watanabe cenderung memperburuk gejolak nilai tukar mata uang seperti lira dan rand belakangan ini, ketika volume perdagangan rendah. Meskipun begitu, mereka tidak setuju jika ini terkait Uridashi ataupun hanya perdagangan mata uang asing.
"Ini bukanlah harga yang mencerminkan keseluruhan pasar," kata Jens Nystedt, manajer portofolio senior di Emso Asset Management di New York.
Pedagang ritel menggunakan margin sekitar 1,45 triliun yen dari perdagangan lira-yen di bulan Juli, menurut data Financial Futures Association Japan. Jumlah tersebut kurang dari 1% volume perdagangan yen-dolar, tetapi sudah naik lebih dari tiga kali lipat tahun ini.
Para pelaku pasar memperhitungkan sejarah panjang berinvestasi di perekonomian berkembang, artinya banyak investor kemungkinan akan menyimpan Uridashi yang nilainya terus membaik jika mata uang rebound. Secara sejarah, pembeli cenderung memegang obligasi sampai jatuh tempo.
"Investor ritel Jepang sangat toleran terhadap gejolak mata uang asing," kata Yunosuke Ikeda, ekonom di Nomura Securities di Tokyo.
Tokue, investor yang berbasis di dekat Osaka, mengatakan kerusakan keseluruhan portfolionya tidak begitu serius dan posisinya saat ini bisa meningkatnya beberapa nilai.
"Anda tidak akan pernah tahu-lira mungkin tidak akan semurah itu di masa depan," katanya.
(prm) Next Article Jelang Pemilu, Lira Turki Anjlok 5%
Kekesalan itu menggambarkan minat yang besar terhadap risiko di antara para investor kecil, atau sering disebut sebagai "Mrs. Watanabe" yang menggambarkan stereotip ibu-ibu rumah tangga Jepang. Tahun lalu, peneliti Deutsche Bank mengatakan para investor ini telah mendorong reli bitcoin dan menyumbang setengah dari perdagangan mata uang asing menggunakan dana pinjaman.
Investor perorangan buru-buru mengambil Uridashi, atau obligasi dengan imbal hasil (yield) tinggi yang dipasarkan ke rumah tangga dan seringkali menggunakan denominasi mata uang asing seperti lira, real Brasil, dan rand Afrika Selatan. Instrumen tersebut tidak memiliki leverage yang tinggi, tetapi biasanya obligasi biasa.
Melansir dari Wall Street Journal, minat tersebut nampak nyata setelah suku bunga Jepang dipatok rendah selama bertahun-tahun. Penawaran daring (online) terbaru dari Rakuten Securities mengunggulkan yield 23,1% pada utang berdenominasi lira yang diterbitkan European Investment Bank. Fakta tersebut menambah pamor yield 20,9% dari obligasi pemerintah Turki bertenor 10 tahun, dan jauh di atas acuan 0,1% di utang pemerintah Jepang yang tersedia.
Saat ini, beberapa investor perorangan ini mengalami kerugian yang besar. Lira sudah melemah nyaris 20% terhadap dolar dan 21% terhadap yen bulan ini. Sementara itu, mata uang lain seperti rupee India, real Brasil, dan rupiah mendekati posisi nilai tukar terendah dalam beberapa tahun ini.
Yasuyuki Tokue, 49 tahun, seorang profesional hukum yang tinggal di dekat Osaka mengatakan dia membeli obligasi lira dengan nilai awal 7,5 juta yen (Rp 986,6 juta) di antara tahun 2015 dan 2017.
"Saya tertarik dengan suku bunga yang tinggi," kata Tokue. Meskipun demikian, dia berkata akhirnya merugi 1,2 juta yen ketika menjual kembali beberapa obligasi ke brokernya di bulan April. Kepemilikan asetnya yang bagus sudah anjlok secara nilai.
"Saya melakukan kesalahan," dengan gagal melindungi risiko mata uang, kata Tokue.
Seorang investor di Yokohama mengatakan dia sudah kehilangan sekitar 300.000 yen dari obligasi lira yang dia beli tahun 2012, atau sekitar 65% dari pengeluaran aslinya termasuk komisi.
"Saya sudah mendapatkan pelajaran," kata investor yang menolak menyebutkan namanya itu. "Saya bodoh sekali berinvestasi di satu obligasi pasar berkembang."
Uridashi biasanya diterbitkan dengan promosi peringkat kredit tinggi seperti Bank Dunia (World Bank/WB) dan jatuh tempo dalam jangka waktu lima tahun. Sehingga, depresiasi mata uang adalah risiko utama, bukannya gagal bayar obligasi.
Berdasarkan kurs nilai tukar yang diterbitkan, Thomson Reuters memperhitungkan nilai utangnya ada sekitar US$155,3 miliar (Rp 2.270 triliun), termasuk US$10,74 miliar dalam real Brasil dan US$7,64 miliar dalam lira.
Flora Chao yang merupakan Kepala Pendanaan Global di International Finance Corp. (IFC) WB mengatakan pasar Uridashi adalah sumber pendanaan penting untuk IFC karena memungkinkannya untuk menjangkau investor ketengan Jepang.
Para penerbit biasanya menggunakan turunan yang dikenal sebagai penukaran lintas mata uang. Secara efektif, ini artinya mereka bisa meminjam dengan relatif murah dalam mata uang dolar, sementara itu pembeli obligasi Jepang yang membeli lewat pialang lokal memperoleh suku bunga lebih tinggi yang sesuai untuk sebuah pasar berkembang.
Sementara tidak ada pasar untuk memasarkan Uridashi, broker bisa kembali membeli obligasi ritel tersebut dengan nilai nominal dalam mata uang lokal untuk biayanya, kemudian menjualnya lagi ke underwriter atau investor lain. Dalam kasus Tokue, dia berkata membayar biaya yang setara antara 3,2% dan 8% dari berbagai obligasi yang dia jual.
Namun, karena obligasi biasanya tidak menggunakan mata uang domestik, nilainya bisa turun-naik bahkan ketika kelayakan kredit penerbit tidak berubah. Pembelian kembali (buyback) tidak menjadi kompensasi bagi para investor untuk pergerakan semacam itu.
Para analis dan investor mengatakan Mrs. Watanabe cenderung memperburuk gejolak nilai tukar mata uang seperti lira dan rand belakangan ini, ketika volume perdagangan rendah. Meskipun begitu, mereka tidak setuju jika ini terkait Uridashi ataupun hanya perdagangan mata uang asing.
"Ini bukanlah harga yang mencerminkan keseluruhan pasar," kata Jens Nystedt, manajer portofolio senior di Emso Asset Management di New York.
Pedagang ritel menggunakan margin sekitar 1,45 triliun yen dari perdagangan lira-yen di bulan Juli, menurut data Financial Futures Association Japan. Jumlah tersebut kurang dari 1% volume perdagangan yen-dolar, tetapi sudah naik lebih dari tiga kali lipat tahun ini.
Para pelaku pasar memperhitungkan sejarah panjang berinvestasi di perekonomian berkembang, artinya banyak investor kemungkinan akan menyimpan Uridashi yang nilainya terus membaik jika mata uang rebound. Secara sejarah, pembeli cenderung memegang obligasi sampai jatuh tempo.
"Investor ritel Jepang sangat toleran terhadap gejolak mata uang asing," kata Yunosuke Ikeda, ekonom di Nomura Securities di Tokyo.
Tokue, investor yang berbasis di dekat Osaka, mengatakan kerusakan keseluruhan portfolionya tidak begitu serius dan posisinya saat ini bisa meningkatnya beberapa nilai.
"Anda tidak akan pernah tahu-lira mungkin tidak akan semurah itu di masa depan," katanya.
(prm) Next Article Jelang Pemilu, Lira Turki Anjlok 5%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular