Pemerintah Ungkap Tantangan Penerimaan Pajak di Tahun Politik

Lidya Julita S, CNBC Indonesia
20 August 2018 08:15
Target penerimaan perpajakan pada postur RAPBN 2019 sebesar Rp 1.781 triliun, meningkat 10,1% dari target dalam APBN tahun 2018.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menargekan penerimaan negara pada tahun 2019 mencapai Rp 2.142,5 triliun yang terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.780,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp 361, 1 triliun, dan penerimaan hibah Rp 435,3 miliar.

Namun, dikutif dari dokumen RAPBN 2019 Kementerian Keuangan, ternyata masih ada sejumlah risiko yang harus dihadapi pemerintah dalam mencapai target penerimaan negara Rp 2.142,5 triliun tersebut.

Tantangan yang paling dominan berasal dari kinerja perekonomian domestik yang tidak menunjukkan pergerakan sehingga penerimaan negara belum bisa tercapai 100% selama beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, pemerintah menggunakan beberapa instrumen seperti insentif fiskal. Namun, hal itu ternyata membuat pertumbuhan penerimaan perpajakan terhambat.

Selain itu, dalam beberapa tahun sebelumnya harga komoditas global rendah sehingga berdampak negatif terhadap penerimaan negara. Turunnya harga komoditas ini disebabkan oleh pembatasan penambangan dan ekspor oleh beberapa negara penghasil komoditas tertentu yang tidak diiringi oleh pertambahan permintaan atas komoditas tersebut.

Target penerimaan perpajakan pada postur RAPBN 2019 sebesar Rp 1.781 triliun yang terdiri dari Rp 1.572,3 triliun penerimaan pajak dan Rp 208,7 triliun penerimaan bea dan cukai. Penerimaan tersebut meningkat 10,1% dari target penerimaan pajak dalam APBN tahun 2018.


Yang menjadi risiko bagi APBN adalah volatilitas harga BBM cukup besar dan perubahan pola konsumsi masyarakat cenderung bersifat leisure dan berbasis online. Faktor-faktor tersebut dinilai dapat berdampak negatif terhadap penerimaan PPh Migas dan PPN.

Risiko lainnya adalah persaingan negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Filipina, Denmark, Kanada, dan Taiwan dalam melakukan reformasi perpajakan seperti memberikan insentif pada pajak perusahaan (PPh Badan) untuk menarik investasi akan terus berlanjut di 2019.

Selain hal tersebut, beberapa faktor lainnya yang dapat menyebabkan tidak tercapainya target pajak adalah:

1. Lemahnya Kepatuhan Wajib Pajak
Salah satu faktor yang paling dominan mempengaruhi tingkat penerimaan pajak adalah kepatuhan Wajib Pajak (WP). Pertumbuhan ekonomi tanpa kepatuhan WP belum dapat menjamin peningkatan penerimaan perpajakan.

2. Tingginya Shadow Economy
Dari sudut pandang perpajakan, shadow economy dikatakan hard-to-tax sectors, baik dari usaha legal dari sektor informal (contohnya sektor pertanian dan perikanan) maupun usaha ilegal yang sengaja dilakukan untuk menghindari kewajiban administratif dan perpajakan.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa besaran shadow economy di negara berkembang seperti Indonesia bisa mencapai 30%-40% terhadap PDB. Besaran angka tersebut mencerminkan potensi kerugian negara dari sektor pajak yang diakibatkan aktivitas shadow economy.

3. Struktur Penerimaan Pajak yang Tidak Berimbang
Struktur penerimaan pajak Indonesia yang tidak berimbang menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya penerimaan pajak. Struktur penerimaan pajak Indonesia didominasi oleh pajak tidak langsung, terutama PPh Badan, dengan persentase 25%-28% terhadap pendapatan pajak dalam negeri, sedangkan di negara maju, PPh badan hanya menyumbang 11 persen pada penerimaan perpajakan. Hal ini memberikan kerentanan terhadap penerimaan pajak karena berkorelasi langsung dengan kinerja sektor tertentu.

4. Rendahnya Tax Buoyancy
Idealnya, pertumbuhan ekonomi dengan penerimaan perpajakan memiliki hubungan yang kuat. Korelasi ini ditunjukkan melalui indikator tax bouyancy, yang mana bila pertumbuhan nominal ekonomi sama dengan pertumbuhan nominal pajak, maka tax bouyancy=1. Namun berdasarkan data historis, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak diikuti oleh penerimaan perpajakan yang setara dengan tax buoyancy.

Dalam hal ini, terdapat potensi penerimaan perpajakan dari kegiatan ekonomi yang tidak dapat ditangkap secara optimal. Hal ini menjadi refleksi bahwa perpajakan di Indonesia membutuhkan banyak perbaikan. Tax buoyancy menjadi sangat penting untuk mewujudkan penerimaan perpajakan yang berkelanjutan seiring dengan tumbuhnya ekonomi.

Kondisi ini memiliki kaitan yang erat dengan tingginya shadow economy dan kepatuhan pembayar pajak yang rendah.

5. Rumitnya Administrasi dan Perubahan Kebijakan Perpajakan yang Dinamis
Salah satu penyebab tidak tercapainya target penerimaan pajak adalah sistem administrasi pajak yang dianggap rumit oleh WP dan kebijakan perpajakan yang sering berubah menimbulkan ketidakpastian dan meningkatkan sengketa pajak. Hal tersebut menyebabkan tingkat kepatuhan sukarela masyarakat untuk membayar pajak melemah.

Dengan kondisi tersebut, maka reformasi pajak di Indonesia perlu didorong untuk mampu bersaing dalam kompetisi global dalam menghadirkan iklim bisnis yang mendukung. Selain reformasi perpajakan, Pemerintah perlu menghadirkan kepastian hukum untuk memberikan iklim investasi yang baik.
(prm) Next Article Lima Kementerian dengan Belanja Terbesar di Tahun Politik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular