
Hingga 2022, APBN Diperkirakan Masih Akan Defisit
Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
20 August 2018 07:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam jangka menengah, tepatnya periode 2020 hingga 2022, negara memproyeksi masih akan terjadi defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, keseimbangan primer mulai bergerak ke arah positif.
Proyeksi defisit APBN secara berurut adalah untuk tahun 2020 sebesar 1,6%-1,7% terhadap produk domestik bruto (PDB), 1,5%-1,7% di tahun 2021, dan 1,5%-1,6% di tahun 2022. Defisit merupakan hasil penghitungan dari pengurangan pendapatan terhadap belanja negara.
"Defisit anggaran tahun 2020-2022 diarahkan untuk kegiatan produktif dan diselaraskan dengan siklus perekonomian, serta kebutuhan untuk akselerasi pencapaian target pembangunan," demikian tertulis dalam Nota Keuangan beserta RAPBN 2019, yang dikutip Senin (20/8/2018).
"Pada tahun 2022, defisit anggaran diperkirakan mencapai 1,55% terhadap PDB, lebih kecil dibandingkan defisit anggaran pada tahun 2019 yang diperkirakan sebesar 1,84% terhadap PDB."
Penurunan angka defisit akan berpengaruh pada keseimbangan primer, yang diharap mengarah positif hingga 2022. Keseimbangan primer sendiri merupakan penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang. Keseimbangan primer yang negatif menunjukkan pemerintah masih perlu berutang untuk membayar utang yang ada.
Angka keseimbangan primer jangka menengah tahun 2020-2022 yang berada pada rentang negatif 0,01% terhadap PDB, menuju ke arah rentang positif 0,08 persen terhadap PDB.
Secara berturut, keseimbangan primer pada 2020 ditarget berada dalam rentang negatif 0,01 hingga positif 0,08%, di negatif 0,01 hingga positif 0,19% pada 2021, lalu negatif 0,05 hingga positif 0,08% di 2022.
Pemerintah juga mematok defisit keuangan dalam RAPBN 2019 di rentang 1,6%-1,9% terhadap PDB, atau lebih kecil dari target defisit dalam APBN 2018 sebesar 2,19%. Sementara itu, pertumbuhan utang pemerintah tahun depan bisa lebih rendah, yakni 2,1%-2,5% dari PDB.
"Untuk menutup selisih antara kebutuhan belanja negara dan kemampuan pendapatan negara, maka perlu dicari sumber pembiayaan baik yang berasal dari utang maupun nonutang," bunyi nota keuangan tersebut.
Rasio utang sendiri akan dijaga dalam batas aman dan diupayakan semakin menurun, di mana pada tahun 2022 rasio utang diperkirakan sebesar 26,25%-27,87% terhadap PDB, lebih kecil dibandingkan tahun 2019 sebesar 28,8%-29,2% terhadap PDB.
Sebagai informasi, per Juli 2018 rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB mencapai 29,74%.
"Utang akan dijaga dan akan di bawah kisaran 29,8%, termasuk rendah," kata Sri Mulyani di dalam Konferensi Pers RAPBN 2019, Kamis (16/8/2018).
"Tahun depan yang agak berat karena banyak utang masa lalu yang jatuh tempo cukup tinggi di 2019," ungkapnya.
Arah kebijakan pembiayaan utang untuk jangka menengah akan berpegang pada prinsip, yaitu kehati-hatian menjaga rasio utang terhadap PDB, efisiensi biaya utang dengan mendorong efisiensi biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali, dan mendukung kesinambungan fiskal.
Selanjutnya adalah produktivitas, di mana pemerintah akan mendorong pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif dalam mendukung pencapaian target pembangunan. Itu dilakukan melalui pembiayaan investasi dengan orientasi pembangunan infrastruktur.
Terakhir adalah keseimbangan, yaitu menjaga komposisi utang dalam batas terkendali untuk pengendalian risiko sekaligus menjaga keseimbangan makro ekonomi.
"Dalam jangka menengah, Pemerintah akan berupaya mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari dalam negeri, namun tetap mempertimbangkan sumber utang dari luar negeri sebagai pelengkap."
(prm/prm) Next Article Defisit APBN di Tahun Politik Diproyeksikan 1,84% dari PDB
Proyeksi defisit APBN secara berurut adalah untuk tahun 2020 sebesar 1,6%-1,7% terhadap produk domestik bruto (PDB), 1,5%-1,7% di tahun 2021, dan 1,5%-1,6% di tahun 2022. Defisit merupakan hasil penghitungan dari pengurangan pendapatan terhadap belanja negara.
"Defisit anggaran tahun 2020-2022 diarahkan untuk kegiatan produktif dan diselaraskan dengan siklus perekonomian, serta kebutuhan untuk akselerasi pencapaian target pembangunan," demikian tertulis dalam Nota Keuangan beserta RAPBN 2019, yang dikutip Senin (20/8/2018).
Penurunan angka defisit akan berpengaruh pada keseimbangan primer, yang diharap mengarah positif hingga 2022. Keseimbangan primer sendiri merupakan penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang. Keseimbangan primer yang negatif menunjukkan pemerintah masih perlu berutang untuk membayar utang yang ada.
Angka keseimbangan primer jangka menengah tahun 2020-2022 yang berada pada rentang negatif 0,01% terhadap PDB, menuju ke arah rentang positif 0,08 persen terhadap PDB.
Secara berturut, keseimbangan primer pada 2020 ditarget berada dalam rentang negatif 0,01 hingga positif 0,08%, di negatif 0,01 hingga positif 0,19% pada 2021, lalu negatif 0,05 hingga positif 0,08% di 2022.
Pemerintah juga mematok defisit keuangan dalam RAPBN 2019 di rentang 1,6%-1,9% terhadap PDB, atau lebih kecil dari target defisit dalam APBN 2018 sebesar 2,19%. Sementara itu, pertumbuhan utang pemerintah tahun depan bisa lebih rendah, yakni 2,1%-2,5% dari PDB.
"Untuk menutup selisih antara kebutuhan belanja negara dan kemampuan pendapatan negara, maka perlu dicari sumber pembiayaan baik yang berasal dari utang maupun nonutang," bunyi nota keuangan tersebut.
Rasio utang sendiri akan dijaga dalam batas aman dan diupayakan semakin menurun, di mana pada tahun 2022 rasio utang diperkirakan sebesar 26,25%-27,87% terhadap PDB, lebih kecil dibandingkan tahun 2019 sebesar 28,8%-29,2% terhadap PDB.
Sebagai informasi, per Juli 2018 rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB mencapai 29,74%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengatakan utang pemerintah memang diproyeksi bakal lebih tinggi di 2019. Namun untuk tahun ini, dia berjanji akan menjaga rasio utang di bawah 30% dari PDB.
"Utang akan dijaga dan akan di bawah kisaran 29,8%, termasuk rendah," kata Sri Mulyani di dalam Konferensi Pers RAPBN 2019, Kamis (16/8/2018).
"Tahun depan yang agak berat karena banyak utang masa lalu yang jatuh tempo cukup tinggi di 2019," ungkapnya.
Arah kebijakan pembiayaan utang untuk jangka menengah akan berpegang pada prinsip, yaitu kehati-hatian menjaga rasio utang terhadap PDB, efisiensi biaya utang dengan mendorong efisiensi biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali, dan mendukung kesinambungan fiskal.
Selanjutnya adalah produktivitas, di mana pemerintah akan mendorong pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif dalam mendukung pencapaian target pembangunan. Itu dilakukan melalui pembiayaan investasi dengan orientasi pembangunan infrastruktur.
Terakhir adalah keseimbangan, yaitu menjaga komposisi utang dalam batas terkendali untuk pengendalian risiko sekaligus menjaga keseimbangan makro ekonomi.
"Dalam jangka menengah, Pemerintah akan berupaya mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari dalam negeri, namun tetap mempertimbangkan sumber utang dari luar negeri sebagai pelengkap."
(prm/prm) Next Article Defisit APBN di Tahun Politik Diproyeksikan 1,84% dari PDB
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular