
Ekonom: Perang Dagang Jadi Kunci Rupiah di Tahun Politik
Monica Wareza, CNBC Indonesia
19 August 2018 14:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom menilai pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tahun depan mayoritas masih akan dipenuhi oleh faktor perang dagang antara AS dan China yang berdampak pada negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Oleh karena itu, penetapan asumsi nilai tukar rupiah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) sebesar Rp 14.400/US$ di tahun depan dipandang cukup realistis.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan pertimbangan penetapan nilai tukar tersebut mempertimbangkan tekanan eksternal di tahun depan. Faktor-faktor global dimaksud, antara lain kenaikan suku bunga bank sentral AS, Federal Reserve/ The Fed, yang diperkirakan sebanyak tiga kali di 2019 dan perkembangan perang tarif impor antara kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia saat ini.
"Tekanan eksternal yang kuat ditambah The Fed yang kemungkinan menaikkan suku bunga tiga kali lagi tahun depan. Lalu perang dagang kalau masih terjadi kemungkinan tekanannya berlanjut. Bisa juga perang dagang mereda, jadi tekanan untuk emerging market juga mereda," kata David kepada CNBC Indonesia, Minggu (19/8/2018).
Kemudian, ditambah lagi dengan posisi nilai mata uang garuda yang saat ini bergerak di rentang Rp 14.500-Rp 14.600/US$ yang dinilai overshooting dan berada di bawah nilai fundamentalnya (undervalue).
Dia menilai jika kondisi perang dagang terus terjadi, hal tersebut akan menghambat penguatan rupiah. Namun sebaliknya, jika perang dagang mereda, rupiah akan memiliki tenaga untuk kembali menguat.
Pekan ini pemerintahan Presiden Joko Widodo mematok asumsi dasar nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 14.400/US$ dalam nota keuangan yang disampaikan di hadapan anggota dewan jelang peringatan 17 Agustus. Penetapan tersebut memperhitungkan kondisi ketidakpastian yang terus terjadi akibat kondisi global dan dalam negeri.
(prm) Next Article Rupiah Kian Perkasa di Tengah Sentimen AS-Iran
Oleh karena itu, penetapan asumsi nilai tukar rupiah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) sebesar Rp 14.400/US$ di tahun depan dipandang cukup realistis.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan pertimbangan penetapan nilai tukar tersebut mempertimbangkan tekanan eksternal di tahun depan. Faktor-faktor global dimaksud, antara lain kenaikan suku bunga bank sentral AS, Federal Reserve/ The Fed, yang diperkirakan sebanyak tiga kali di 2019 dan perkembangan perang tarif impor antara kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia saat ini.
Kemudian, ditambah lagi dengan posisi nilai mata uang garuda yang saat ini bergerak di rentang Rp 14.500-Rp 14.600/US$ yang dinilai overshooting dan berada di bawah nilai fundamentalnya (undervalue).
Dia menilai jika kondisi perang dagang terus terjadi, hal tersebut akan menghambat penguatan rupiah. Namun sebaliknya, jika perang dagang mereda, rupiah akan memiliki tenaga untuk kembali menguat.
Pekan ini pemerintahan Presiden Joko Widodo mematok asumsi dasar nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 14.400/US$ dalam nota keuangan yang disampaikan di hadapan anggota dewan jelang peringatan 17 Agustus. Penetapan tersebut memperhitungkan kondisi ketidakpastian yang terus terjadi akibat kondisi global dan dalam negeri.
(prm) Next Article Rupiah Kian Perkasa di Tengah Sentimen AS-Iran
Most Popular