Internasional

Waspadalah! Krisis Turki Bisa Merembet ke Mana-mana

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
14 August 2018 13:08
Waspadalah! Krisis Turki Bisa Merembet ke Mana-mana
Foto: REUTERS/Murad Sezer
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar sudah familiar dengan alur ini: negara yang terlilit utang mengalami krisis ekonomi, nilai tukar mata uangnya anjlok, apa yang awalnya hanya menjadi buah bibir mulai menjalar ke mana-mana, dan pada akhirnya membutuhkan bantuan pendanaan global yang besar.

Meskipun begitu, alur cerita untuk kasus Turki agak berbeda. Jika kisah krisis utang biasanya melibatkan pinjaman pemerintah, kisah krisis Turki sebagian besar melibatkan korporasi.

Alhasil, mekanisme bantuan pendanaan pun lebih rumit dan menyebabkan kekhawatiran bahwa masalah di negara kecil dengan satu-satunya kepentingan sistemik marjinal itu bisa meningkat dan menyebar dengan cepat.

"Bagaimana bisa sebuah negara, di mana seluruh kapitalisasi pasar saham Turki yang diperdagangkan di bursa saham Istanbul lebih rendah daripada kapitalisasi pasar Netflix, mendatangkan malapetaka? Itu semua tentang dampak langsung dan tidak langsung," kata Katie Nixon selaku Direktur Investasi untuk manajemen kekayaan di Northern Trust, dilansir dari CNBC International.

"Ada beberapa pasar negara berkembang tertentu dengan mata uang yang relatif lemah dan ketergantungan berat pada pendanaan eksternal [terutama yang berbasis dolar]. Kekhawatirannya adalah apa yang terjadi di Turki tidak akan bertahan di Turki."

[Gambas:Video CNBC]
Nixon mengatakan sementara krisis nampaknya tidak memiliki dampak global yang besar, penguatan dolar Amerika Serikat (AS) ditambah pelemahan mata uang negara-negara berkembang bisa memicu masalah.

Sampai saat ini, negara yang terlilit utang seperti Yunani, Siprus, Italia dan negara-negara di kawasan euro lainnya, serta Argentina, Malaysia dan mungkin Pakistan merasakan luapan global yang terbatas.

Beberapa membutuhkan pinjaman bantuan keuangan dari Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), sebuah organisasi yang memperoleh 17,5% pendanaannya dari AS.

Namun, tidak ada yang disertai dengan kepanikan keuangan global. Tetap saja investor terus mengkhawatirkan negara mana yang akan memicu malapetaka selanjutnya setelah krisis keuangan Asia tahun 1997, yang nampak tenang di permukaan tapi segera menjalar ke mana-mana.

"Kami merasakan kebingungan; ada kekhawatiran yang sangat nyata tentang terkena dampak secara global dan segala hal menjadi sangat kacau," tulis Dennis Gartman di hari Senin (13/8/2018) dalam artikel harian berjudul Gartman Letter.

Dia mengatakan krisis mata uang diperparah oleh ketegangan dengan Presiden AS Donald Trump, yang baru saja mengumumkan niatnya untuk melipatgandakan tarif terhadap Turki karena menahan pendeta berkewarganegaraan AS bernama Andrew Brunson.

"Menurut kami mencemaskan bahwa AS sudah memilih menghajar Turki ketika sedang terpuruk dan menderita kepedihan ekonomi yang parah. Namun sekali lagi, ini bukan semata-mata masalah Turki/AS; ini penyebaran yang jauh lebih luas dari Turki," tulis Gartman.

Tindakan Trump semakin membuat lira, mata uang Turki, terjerembab. Sementara, mata uang itu sudah turun karena keputusan fiskal dan moneter Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang dipertanyakan. Serangkaian kenaikan suku bunga yang didorong pemerintah juga gagal menahan depresiasi lira.

Itu adalah fakta buruk bagi para pemegang utang di Turki, yang memiliki banyak utang dengan mata uang asing tetapi aset-asetnya disimpan dengan lira yang melemah drastis. Secara total, ada sekitar US$220 miliar (Rp 3.214 triliun) utang asing untuk perusahaan dan lembaga keuangan di Turki.

"Ini tentang kredit, karena Turki sudah menjadi peminjam besar di pasar modal global selama beberapa tahun ketika berbagai bank sentral di dunia mendorong para investor untuk melakukan peregangan guna memperoleh imbal hasil," kata David Rosenberg selaku Kepala Ekonom dan Strategis di Gluskin Sheff dalam catatan pasar harian. 

"Lebih dari setengah pinjaman berdenominasi mata uang asing, jadi ketika lira anjlok, ongkos pembayaran utang dan risiko default naik tak terelakkan."

Sebab krisis lebih melibatkan utang swasta ketimbang publik, IMF bisa lebih sulit menentukan bantuan pendanaan. Alasannya, moral hazard atau beban moral dari penggunaan dana IMF untuk penerbitan utang korporasi akan lebih besar.

Hasilnya sudah terasa di berbagai pasar keuangan. Saham-saham AS turun selama sesi perdagangan terakhir, sementara iShares MSCI Emerging Markets ETF terkoreksi 1,8% di sesi perdagangan siang hari Senin, meski saham-saham Turki menyumbang kurang dari 1% ke indeks itu.

Lebih spesifik, iShares MSCI Turkey ETF anjlok lebih dari 10% di tengah kekhawatiran bahwa bank-bank di kawasan itu akan menderita selama krisis. Bursa saham Turki sangat dibebani sektor keuangan, yang meliputi 27,4% kapitalisasi pasar indeks FTSE All Cap Turkey.

Terkait nilai tukar, lira terkoreksi lebih dari 8% terhadap dolar dalam perdagangan hari Senin sehingga memperdalam depresiasi mata uang itu. Nilai tukar mata uang negara berkembang juga melemah.

"Investor global sekarang menargetkan negara-negara dengan tantangan ekonomi serupa, apakah mereka mengalami pembengkakan defisit transaksi berjalan [current account deficit/CAD], tekanan inflasi ataupun utang tinggi berdenominasi mata uang asing (Brazil, Mexico, Indonesia, dan Afrika Selatan menjadi yang pertama dan terpenting)," tulis Rosenberg.



Investor juga melayangkan pandangannya ke Italia, yang mengalami masalah utang selama beberapa tahun ini. Negara itu juga tengah menjalani perubahan politik serius yang menolak melanjutkan permintaan dari pemimpin Uni Eropa di Brussels untuk meluruskan keuangannya.

"Keadaan Roma vs. Brussels/Berlin secara efektif adalah masalah sama yang mengganggu Eropa beberapa tahun lalu ketika Yunani berada di ambang jurang ekonomi, kecuali PDB [produk domestik bruto] Italia secara efektif 8,1 kali [lebih besar] dari Yunani!" kata Gartman.

"Italia adalah negara yang harus diperhatikan untuk tanda-tanda bahwa efek kupu-kupu di Ankara (atau di manapun) menyebabkan badai di pasar modal negara dengan perekonomian maju," tambah Nick Colas selaku pendiri DataTrek Research yang merujuk pada skenario klasik tentang teori kekacauan bernama efek kupu-kupu (butterfly effect).

Pada akhirnya, terdapat pengertian yang berlaku bahwa situasi Turki akan selesai tanpa malapetaka global yang besar. Hal itu memungkinkan pasar menjauhi kekhawatiran tentang krisis utang, entah itu di Italia atau tempat lain.

Trump, misalnya, sudah melakukan serangkaian ancaman berat ke negara-negara sebelum mundur dari ancaman itu ketika retorika berhasil menjadi alat untuk memenuhi permintaannya. Tentu saja rumor di Twitter sebelumnya bahwa Brunson kemungkinan akan dibebaskan membantu menaikkan pasar, setidaknya untuk sementara.

"Sebagian besar krisis yang disebabkan oleh negara seringkali idiosinkratik atau spesifik ke isu-isu di negara yang bersangkutan dan biasanya tidak menular ke negara-negara tetangga. Risiko cenderung berpusat pada bank-bank yang terlibat krisis keuangan," kata John Stoltzfus selaku CIO di Oppenheimer.

"Biasanya, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai solusi berarti semakin banyak ongkos [yang dikeluarkan] negara bermasalah dan perekonomiannya. Maksudnya, kita tidak memprediksi situasi di Turki memburuk selama itu tidak menimbulkan ancaman ke perekonomian dunia."




(roy) Next Article Turki Krisis, Bank Eropa Hingga Pasar Obligasi Kena Getahnya

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular