Newsletter

Perang Dagang, Perang Sungguhan, dan Nasib IHSG

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
03 August 2018 05:44
Perang Dagang, Perang Sungguhan, dan Nasib IHSG
Foto: Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada perdagangan kemarin. Sentimen eksternal menjadi faktor utama koreksi tersebut. Kemarin,

IHSG ditutup melemah 0,36% pada perdagangan kemarin.
Nilai transaksi tercatat Rp 7,91 triliun dengan volume 10,44 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 429.365 kali.  

Pelemahan IHSG senada dengan bursa saham utama Asia yang juga ditutup di zona merah. Indeks Nikkei 225 turun 1,03%, Shanghai Composite anjlok 2,03%, Hang Seng jatuh 2,21%, Kospi terpangkas 1,6%, dan Straits Times amblas 1,28%. Pelemahan IHSG masih lebih 'jinak' ketimbang bursa negara-negara tertangga. 

Cuaca memang tak mendukung bagi bursa saham Benua Kuning. Hawa perang dagang kembali memanas dan kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang semakin agresif sepertinya kian mendekati kenyataan. 

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah meminta pejabat tinggi bidang perdagangan untuk mengkaji kenaikan bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 200 miliar (Rp2.889 triliun) dari 10% menjadi 25%. Kepala Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer menyatakan bahwa kenaikan bea masuk adalah upaya pemerintah Negeri Paman Sam untuk mendorong China membuka pasarnya, menaikkan persaingan, dan mencabut tarif balasannya ke AS. 

Pemerintah AS akan memperpanjang masa komentar publik terhadap usulan tarif itu hingga 5 September, dari sebelumnya 30 Agustus. Tujuannya adalah untuk mendapatkan masukan mengenai tarif seperti apa yang seharusnya diterapkan Gedung Putih. 

Jika perang dagang dalam skala besar benar-benar terjadi antara AS dan China, laju perekonomian dunia menjadi taruhannya. Oleh karena itu, investor pun cenderung mengambil langkah mundur.  

Kemudian, The Fed memang mempertahankan suku bunga acuan di 1,75-2% pada pertemuan bulan ini. Namun, Bank Sentral AS menyuarakan nada optimistis mengenai prospek perekonomian Negeri Paman Sam. 

"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed. 

Pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun. Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada September mencapai 91,2%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 64,2%. 

Kenaikan suku bunga acuan dilakukan dengan tujuan meredam ekspektasi inflasi. Dengan begitu, AS akan terhindar dari overheating. 

Namun perkembangan ini lagi-lagi membuat aliran modal tersedot ke AS. Sedangkan Asia hanya kebagian remah-remah, sehingga pasar keuangan Benua Kuning pun terjebak di zona merah.

Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah tipis 0,03%, S&P 500 menguat 0,49%, dan Nasdaq melesat 1,36%. 

Faktor pendorong laju Nasdaq adalah saham Apple yang melejit 2,92%. Kenaikan harga saham Apple tidak lepas dari valuasi perusahaan yang telah menembus US$ 1 triliun (Rp 14.524 triliun).

Sebagai gambaran, total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun lalu adalah US$ 1,01 triliun. Bayangkan, nilai satu perusahaan hampir setara dengan total perekonomian negara berpenduduk 262,79 juta jiwa. 

"Ini merupakan pertanda yang baik bagi pasar maupun perekonomian secara umum. Walau sekarang orang-orang bicara tentang perang dagang, Apple yang mayoritas produknya dibuat di China ternyata bisa mencapai nilai kapitalisasi pasar US$ 1 triliun," tutur Kim Forrest, Senior Portfolio Manager di Fort Pitt Capital Group yang berbasis di Pittsburgh, dikutip dari Reuters. 

Tidak hanya Apple, saham-saham teknologi lainnya pun melaju kencang. Facebook naik 2,7%, Alphabet (induk usaha Google) menguat 0,7%, Netflix bertambah 1,8%, dan Amazon melesat 2,1%. 

Namun, DJIA melemah karena saham-saham industri yang anjlok. Boeing turun 0,86%, 3M melemah 0,73%, dan Caterpillar minus 0,38%. 

Penyebabnya apa lagi kalau bukan perang dagang. Perusahaan-perusahaan tersebut menggantungkan diri kepada China sebagai pasar ekspor terbesar. Friksi dagang dengan China dan ancaman bea masuk balasan tentu bukan kabar baik jika ingin masuk ke pasar Negeri Panda. 


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah faktor yang berpotensi mempengaruhi pasar. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang cenderung positif. Pencapaian itu diharapkan menular ke pasar saham Asia, termasuk Indonesia. 

Kedua, yang harus sangat diwaspadai investor, adalah tren penguatan dolar AS yang sepertinya belum terhenti. Pada pukul 04:11 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS relatif terhadap enam mata uang utama) melonjak 0,58%. 

Penguatan dolar AS sebenarnya sudah agak keterlaluan karena seolah tanpa henti. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah naik 0,44%. Sementara dalam sebulan ke belakang penguatannya mencapai 0,52% dan sejak awal tahun adalah 3,3%. 

Hari ini, penyebab apresiasi greenback adalah perang dagang. Isu ini membuat investor mundur teratur dari instrumen-instrumen berisiko di negara berkembang. Investor memilih bermain aman dan masuk ke aset-aset safe haven.  

Dolar AS juga menjadi pilihan karena mata uang ini dalam kadar tertentu relatif aman. Aliran dana pun masuk ke instrumen-instrumen berbasis greenback

Arus modal ini mendorong imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS turun. Untuk seri acuan tenor 10 tahun, yield turun 1,7 basis poin menjadi 2,9859%. Penurunan yield adalah pertanda harga sedang naik akibat tingginya permintaan. 

Apalagi data-data ekonomi di Negeri Paman Sam terus positif. Sepanjang Juli 2018, angka penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian versi ADP mencapai 219.000, jauh lebih tinggi dari konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebanyak 185.000. 

Teranyar, jumlah warga AS yang mengajukan tunjangan pengangguran meningkat 1.000 orang ke 218.000 orang pada pekan lalu. Angka itu masih berada di bawah konsensus yang meramalkan peningkatan ke angka 220.000. 

Penguatan dolar AS semakin menjadi kala mata uang lainnya yaitu poundsterling Inggris melemah seiring hasil rapat Bank of England (BoE) yang menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 0,75%. Kenaikan suku bunga acuan justru dikhawatirkan menekan perekonomian Negeri Ratu Elizabeth karena di sisi lain ada risiko dari kegagalan tercapainya kesepakatan Brexit dengan Uni Eropa. 

Jika sampai no deal Brexit terjadi, maka dampaknya akan cukup luas. Inggris akan menjadi wilayah terpisah yang harus tunduk pada aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 

Artinya, produk Inggris yang diekspor ke wilayah Uni Eropa wajib terkena bea masuk, begitu pun produk Uni Eropa yang masuk ke Inggris. Selama ini, Inggris masuk dalam wilayah kepabeanan Uni Eropa sehingga tidak ada pengenaan bea. 

Adanya bea masuk bisa membuat negara-negara Uni Eropa enggan berdagang dengan Inggris karena biayanya lebih mahal. Kalaupun produk-produk Uni Eropa masuk ke Inggris, membayar bea masuk artinya biaya importasi menjadi lebih tinggi. Pengusaha akan membebankan biaya ini kepada konsumen, dan ujungnya adalah inflasi.  

Inggris bisa mengalami tekanan inflasi yang cukup besar jika barang dari Uni Eropa lebih mahal. Pasalnya, Uni Eropa adalah eksportir terbesar untuk Inggris. 
Tahun lalu, impor dari Uni Eropa mencapai 8,7 miliar euro (Rp 145,47 triliun) atau 44% dari total impor Negeri Tiga Singa. Jika harga barang-barang ini naik, maka dampaknya akan luar biasa. 

Selain itu, hal yang sering menjadi perdebatan adalah posisi Republik Irlandia dan Irlandia Utara. Kedua negara ini termasuk wilayah kepabeanan Uni Eropa tetapi secara geografis merupakan bagian dari Britania Raya. 

Jika tanpa kesepakatan, maka hasilnya bisa menjadi rumit. Wilayah Irlandia dan Irlandia Utara bisa dihuni dua otoritas kepabeanan, yaitu dari Inggris dan Uni Eropa. Bila sampai terjadi gesekan, kemungkinan bentrok fisik cukup terbuka. 

Inggris berkeras ingin meninggalkan sistem pabean dan pasar bebas Uni Eropa. Sementara Uni Eropa juga keukeuh mempertahankan dua sistem yang dibangun puluhan tahun tersebut. 

Oleh karena itu, perundingan soal Brexit menjadi sangat sensitif dan alot karena melibatkan kepentingan nasional masing-masing pihak. Tentu tidak ada pihak yang ingin terkesan kalah atau mengalah.  

Berbagai risiko tersebut ditambah dengan kenaikan suku bunga acuan bisa membuat ekonomi Inggris terancam kontraksi. Akibatnya, pelaku pasar ramai-ramai melepas poundsterling karena mata uang ini dipersepsikan punya masa depan suram.  

Ujungnya, dolar AS kian menjadi kesayangan pelaku pasar sehingga nilainya bertambah mahal. Penguatan dolar AS sangat mungkin bakal menekan mata uang Asia, tidak terkecuali rupiah. 

Saat rupiah terus melemah, maka berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena nilainya berpotensi turun. Investor pun menghindari, dan ini bukan kabar baik buat IHSG. 


Sentimen ketiga adalah perang dagang. Investor layak memonitor perkembangan isu ini karena bisa menentukan nasib perekonomian global. 

Di tengah ancaman AS, China tidak menunjukkan sikap gentar. "Kami menyarankan AS memperbaiki sikap mereka dan tidak lagi melakukan pemerasan. Itu tidak akan berhasil," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, dikutip dari Reuters. 

"Kami berharap mereka yang terlibat dalam penyusunan kebijakan perdagangan di AS untuk tetap tenang. Dengarkanlah suara konsumen AS dan komunitas internasional," tutur Wang Yi, Anggota Dewan Negara China, masih mengutip Reuters. 

Washington sendiri santai saja mendengarkan ancaman Beijing. Wilbur Ross, Menteri Perdagangan AS, menilai dampak dari kenaikan bea masuk tidak sebesar yang dikhawatirkan. 

Sebelumnya, General Electric memperkirakan tarif bea masuk baru untuk impor dari China bisa menaikkan biaya produksi hingga mencapai US$ 300-400 miliar. Namun Ross menilai dampaknya tidak sebesar itu. 

"Coba lihat dari perspektif aritmatika. Ada US$ 200 miliar dan 25% dari itu adalah US$ 50 miliar. Itu pun kalau disahkan," ujar Ross dalam wawancara dengan Fox Business News. 

Saling balas pantun AS dan China bisa mempengaruhi arah perkembangan isu perang dagang ke depan. Investor layak mencermati ini, karena sangat bisa menentukan mood pasar. 


Faktor keempat adalah harga minyak. Pada pukul 04:38 WIB, harga minyak jenis light sweet melesat 1,97% dan brent melonjak 1,3%.  

Penyebab kenaikan harga si emas hitam adalah ekspektasi penurunan pasokan. Mengutip Reuters, beberapa pejabat di Washington menyebutkan bahwa Iran akan melaksanakan latihan militer besar-besaran dalam waktu dekat. 

"Kami menyadari ada peningkatan operasi Iran di Teluk Arab, Selat Hormuz, dan Teluk Oman. Kami memonitor dengan seksama dan akan bekerja sama dengan mitra kami di sana untuk memastikan kelancaran arus perdagangan melalui jalur laut," ungkap Bill Urban, Juru Bicara Pusat Komando AS yang membawahi pasukan AS di Timur Tengah. 

Sumber-sumber lain di pemerintahan AS mengungkapkan bahwa Teheran menyiapkan lebih dari 100 kapal perang untuk latihan militer. Tidak hanya itu, ratusan prajurit Angkatan Darat juga telah disiagakan. Para sumber itu menyebut bahwa latihan militer Iran akan dimulai dalam 48 jam ke depan. 

Langkah Iran itu tentu akan membuat Timur Tengah menjadi tegang. Tensi yang meninggi bukan tidak mungkin akan menghambat produksi maupun distribusi minyak di kawasan penghasil emas hitam terbesar di dunia tersebut. Harga minyak pun langsung terdongrak karena kekhawatiran penurunan pasokan. 

Kenaikan harga minyak bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Saat harga minyak naik, emiten migas dan pertambangan akan mendapat apresiasi pelaku pasar.

Meski kita tentu berharap tidak ada ketegangan di Timur Tengah yang bisa berujung pada agresi militer. Kali ini ancamannya bukan perang dagang, tetapi perang sungguhan.

Faktor kelima, masih terkait komoditas, adalah rencana pemerintah menerapkan wajib bauran minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) sebanyak 20% untuk minyak diesel atau solar. Kebijakan yang dikenal dengan istilah B20 ini berpotensi meningkatkan permintaan CPO domestik kala permintaan dari luar negeri cenderung lesu.

Permintaan CPO Indonesia merosot terutama karena India menerapkan kebijakan bea masuk untuk komoditas ini. Maret lalu, India menaikkan bea masuk CPO dari 30% menjadi 44%. Bea masuk untuk CPO yang sudah diolah juga naik dari 40% menjadi 54%. 

Indonesia adalah eksportir utama CPO dunia. Tahun lalu, ekspor CPO Indonesia mencapai US$ 18,5 miliar yang mencakup 55,5% dari total ekspor CPO dunia. Malaysia ada di posisi kedua dengan nilai US$ 9,7 miliar (29%). 

India adalah tujuan utama ekspor CPO dari Indonesia, dengan nilai US$ 3,44 miliar. Disusul China di peringkat kedua dengan nilai US$ 1,64 miliar dan Pakistan di posisi ketiga dengan nilai US$ 1,29 miliar.  

Penerapan bea masuk di India menyebabkan permintaan dari negara tersebut menurun. Akibatnya, ekspor CPO Indonesia secara keseluruhan ikut terpengaruh.  

Oleh karena itu, kebijakan B20 diharapkan mampu menolong kinerja industri CPO dalam negeri dengan meningkatkan permintaan domestik. Hal ini bisa menjadi sentimen positif karena akan mendongkrak profitabilitas dari para emiten CPO. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data penjualan ritel Australia periode Juni 2018 (08.30 WIB).
  • Rilis data indeks PMI sektor jasa Caixin China periode Juli 2018 (08.45 WIB).
  • Rilis data indeks PMI sektor jasa Inggris periode Juli 2018 (15.30 WIB).
  • Rilis data upah per jam rata-rata AS periode Juli 2018 (19.30 WIB).
  • Rilis data penciptaan lapangan kerja AS non-pertanian periode Juli 2018 (19.30 WIB).
  • Rilis data tingkat pengangguran AS periode Juli 2018 (19.30 WIB).
  • Rilis data neraca perdagangan AS periode Juni 2018 (19.30 WIB).
  • Rilis data indeks PMI sektor non-manufaktur versi ISM di AS periode Juli 2018 (21.00 WIB). 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY)5.06%
Inflasi (Juli 2018 YoY)3.18%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2018)-2.15% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2018)-US$ 3.85 miliar
Cadangan devisa (Juni 2018)US$ 119.8 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular