
Kebijakan B20 Indonesia Dongkrak Harga CPO
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
02 August 2018 13:32

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) kontrak Oktober 2018 di bursa derivatif Malaysia bergerak menguat 0,41% ke level MYR2.201/ton pada perdagangan hari ini Kamis (02/08/2018) hingga pukul 11.29 WIB. Nilai ini merupakan level tertinggi dalam 3 minggu, atau sejak 10 Juli 2018.
Harga komoditas agrikultur unggulan Indonesia dan Malaysia ini juga sudah menguat empat hari berturut-turut. Harga CPO nampak mulai pulih pasca tertekan hebat sebulan terakhir. Sebagai informasi, harga CPO terkoreksi hingga 5,84% di sepanjang bulan Juli 2018.
Bulan Juli 2018 memang menjadi bulan yang suram bagi harga CPO. AmSpec Agri Malaysia mengestimasi penurunan ekspor minyak kelapa sawit Negeri Jiran sebesar 3,9% ke 1,03 juta ton di sepanjang bulan lalu.
Padahal, ekspor minyak kelapa sawit Malaysia sudah anjlok 12% MtM pada bulan Juni 2018, melansir data dari Malaysian Palm Oil Board (MPOB). Penurunan itu jauh lebih kencang dari ekspektasi pasar yang meramalkan koreksi sebesar 7,8%.
Apabila ekspor minyak kelapa sawit Malaysia bulan Juli 2018 benar-benar turun, maka itu merupakan penurunan ekspor bulanan yang ke-4 secara berturut-turut. Alhasil, hal ini kembali mengindikasikan permintaan CPO global yang masih lesu, lantas menekan harga CPO.
Meski demikan, hari ini harga CPO mendapatkan sentimen positif dari kebijakan Indonesia. Pada hari Rabu (01/08/2018) sore, pemerintah Indonesia mewajibkan penggunaan solar bercampur minyak kelapa sawit 20% (B20), yang akan berlaku per 1 September 2018. Hal ini ditempuh untuk memangkas impor minyak diesel, dalam rangka mengurangi defisit transaksi berjalan (current account deficit).
Apabila kebijakan ini sudah terealisasi, maka konsumsi CPO domestik Indonesia akan meningkat pesat, dan kemungkinan besar akan mengurangi ekspor. Akibatnya, pasokan global akan terdisrupsi. Sebagai catatan, Indonesia adalah eksportir CPO terbesar di dunia. Pada tahun 2017 saja, RI mengekspor minyak kelapa sawit sebanyak 31,05 juta ton.
Terlebih, permintaan global justru diperkirakan akan meningkat seiring dengan India, yang merupakan importir terbesar CPO di dunia, diperkirakan akan mengalami musim hujan yang lebih kering dari biasanya, seperti dikutip dari Reuters. Hal ini lantas menimbulkan kekhawatiran bahwa produk pertanian dari Negeri Bollywood akan berkurang, karena minimnya irigasi.
Sebagai catatan, 260 juta petani di India bergantung pada curah hujan yang tinggi untuk menumbuhkan sejumlah komoditas seperti padi, jagung, kapas, hingga kedelai. Dengan panen domestik yang diramalkan terganggu, India diekspektasikan akan meningkatkan jumlah impor komoditas agrikultur dari negara lain, termasuk CPO.
Faktor lainnya yang mendukung penguatan harga CPO adalah pelemahan Ringgit Malaysia selama 3 hari berturut-turut. Hingga siang ini, mata uang Malaysia melemah hingga 0,15% ke MYR4,07/US$. Seperti diketahui, depresiasi ringgit akan membuat harga CPO relatif lebih murah bagi pemegang mata uang asing. Alhasil, permintaan CPO pun akan meningkat, dan mampu menyokong harga komoditas ini.
(RHG/gus) Next Article Ekspor Indonesia Diekspektasikan Naik 6%, Harga CPO Rebound
Harga komoditas agrikultur unggulan Indonesia dan Malaysia ini juga sudah menguat empat hari berturut-turut. Harga CPO nampak mulai pulih pasca tertekan hebat sebulan terakhir. Sebagai informasi, harga CPO terkoreksi hingga 5,84% di sepanjang bulan Juli 2018.
Padahal, ekspor minyak kelapa sawit Malaysia sudah anjlok 12% MtM pada bulan Juni 2018, melansir data dari Malaysian Palm Oil Board (MPOB). Penurunan itu jauh lebih kencang dari ekspektasi pasar yang meramalkan koreksi sebesar 7,8%.
Apabila ekspor minyak kelapa sawit Malaysia bulan Juli 2018 benar-benar turun, maka itu merupakan penurunan ekspor bulanan yang ke-4 secara berturut-turut. Alhasil, hal ini kembali mengindikasikan permintaan CPO global yang masih lesu, lantas menekan harga CPO.
Meski demikan, hari ini harga CPO mendapatkan sentimen positif dari kebijakan Indonesia. Pada hari Rabu (01/08/2018) sore, pemerintah Indonesia mewajibkan penggunaan solar bercampur minyak kelapa sawit 20% (B20), yang akan berlaku per 1 September 2018. Hal ini ditempuh untuk memangkas impor minyak diesel, dalam rangka mengurangi defisit transaksi berjalan (current account deficit).
Apabila kebijakan ini sudah terealisasi, maka konsumsi CPO domestik Indonesia akan meningkat pesat, dan kemungkinan besar akan mengurangi ekspor. Akibatnya, pasokan global akan terdisrupsi. Sebagai catatan, Indonesia adalah eksportir CPO terbesar di dunia. Pada tahun 2017 saja, RI mengekspor minyak kelapa sawit sebanyak 31,05 juta ton.
Terlebih, permintaan global justru diperkirakan akan meningkat seiring dengan India, yang merupakan importir terbesar CPO di dunia, diperkirakan akan mengalami musim hujan yang lebih kering dari biasanya, seperti dikutip dari Reuters. Hal ini lantas menimbulkan kekhawatiran bahwa produk pertanian dari Negeri Bollywood akan berkurang, karena minimnya irigasi.
Sebagai catatan, 260 juta petani di India bergantung pada curah hujan yang tinggi untuk menumbuhkan sejumlah komoditas seperti padi, jagung, kapas, hingga kedelai. Dengan panen domestik yang diramalkan terganggu, India diekspektasikan akan meningkatkan jumlah impor komoditas agrikultur dari negara lain, termasuk CPO.
Faktor lainnya yang mendukung penguatan harga CPO adalah pelemahan Ringgit Malaysia selama 3 hari berturut-turut. Hingga siang ini, mata uang Malaysia melemah hingga 0,15% ke MYR4,07/US$. Seperti diketahui, depresiasi ringgit akan membuat harga CPO relatif lebih murah bagi pemegang mata uang asing. Alhasil, permintaan CPO pun akan meningkat, dan mampu menyokong harga komoditas ini.
(RHG/gus) Next Article Ekspor Indonesia Diekspektasikan Naik 6%, Harga CPO Rebound
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular