Dari AS Wall Street, tiga indeks utama ditutup merah pada akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,3%, S&P 500 terkoreksi 0,66%, dan Nasdaq Composite anjlok 1,46%. Penyebabnya adalah saham-saham sektor teknologi yang berguguran.
Saham Twitter amblas 20,5% setelah perusahaan media sosial ini melaporkan penurunan pengguna aktif bulanan, padahal analisis memprediksikan kenaikan pengguna aktif. Kemudian, saham Intel juga mengalami koreksi 8,6%, setelah melaporkan penundaan peluncuran chip generasi terbarunya.
Indeks teknologi S&P 500 anjlok 2% di mana koreksi ini menjadi yang terdalam di antara sektor lainnya. Saham Apple turun 1,7% sementara Microsoft dan Alphabet (induk usaha Google) juga terkoreksi masing-masing 1,8% dan 2,5%.
Tekanan pada saham-saham sektor teknologi sudah terjadi sejak perdagangan Kamis (26/07/2018). Tekanan ini diawali dengan anjloknya saham Facebook yang kinerjanya di bawah ekspektasi.
Pada kuartal II-2018, pendapatan Facebook memang tumbuh 41,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun itu adalah laju pertumbuhan paling lambat dalam hampir 3 tahun terakhir.
Jumlah pengguna Facebook juga tidak setinggi ekspektasi pasar. Rata-rata pengguna aktif dalam sebulan adalah 2,2 miliar, di bawah ekspektasi pasar yaitu 2,3 miliar.
Sementara selama sepekan, indeks DJIA melesat 1,57% dan S&P naik 0,61%. Sementara Nasdaq yang didominasi saham-saham teknologi anjlok 1,06% karena sektor ini dihajar habis-habisan pekan lalu.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya dari Wall Street, yang terkoreksi pada perdagangan akhir pekan lalu. Biasanya dinamika Wall Street akan memberikan warna yang signifikan kepada bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Kedua, masih dari AS, yaitu data pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam pada kuartal II-2018. Kementerian Perdagangan mencatat ekonomi AS tumbuh mengesankan di 4,1%
year-on-year (YoY) pada pembacaan pertama. Pencapaian ini mnjadi yang tercepat sejak kuartal II-2014 yang sebesar 4,6% YoY, dan menjadi pertumbuhan ekonomi kuartalan tertinggi ketiga sejak krisis krisis keuangan global.
Pasar AS belum terlalu merespons data ini, bahkan Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama) melemah 0,06% pada perdagangan akhir pekan lalu. Ada kemungkinan data ini sudah dikalkulasikan (
priced in) karena angkanya sama dengan konsensus pasar yang dihimpun Reuters.
Pameo
buy the rumour and sell the news juga sepertinya berlaku di sini. Saat sesuatu belum terjadi tetapi ekspektasi sudah beredar, lakukan akumulasi beli. Sementara saat sudah terjadi, apalagi sesuai dengan ekspektasi, segera jual.
Meski begitu, ada kemungkinan pasar Asia merespons berbeda. Bisa jadi yang muncul adalah persepsi laju perekonomian AS yang semakin cepat akan meyakinkan The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan lebih agresif.
Kini kemungkinan kenaikan suku bunga acuan empat kali menjadi kian terbuka. Lebih banyak dibandingkan proyeksi pasar sebelumnya yaitu tiga kali.
Rilis data ini membuat pelaku pasar kian percaya memegang
greenback. Mengutip Reuters, investor menaikkan posisi kepemilikan dolar AS jangka panjang menjadi US$ 21,85 miliar pada akhir pekan lalu dari pekan sebelumnya yang sebesar US$ 19,74 miliar. Angka itu menjadi posisi tertinggi sejak Januari 2017.
Saat memegang untuk jangka panjang, investor percaya bahwa sebuah mata uang punya potensi menguat pada masa mendatang. Situasi ini tentunya semakin menekan mata uang global, termasuk rupiah.
"Perbedaan suku bunga akan tetap mendukung penguatan dolar AS. Kita melihat pertumbuhan ekonomi AS mencapai 4,1%, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju lainnya. Fundamental ekonomi yang kuat ini akan membuat dolar AS tetap mahal dibandingkan para pesaingnya," tutur Greg Michalowski, Director of Technical Analysis diForexLive.com yang berbasis di Scottsdale, Arizona, seperti dikutip dari Reuters.
Perkembangan ini bisa menjadi risiko bagi IHSG. Jika dolar AS menguat, maka rupiah berpotensi tertekan. Pelemahan rupiah membuat berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena nilainya berpotensi turun.
IHSG menjadi terancam karena investor asing bisa keluar sebelum keuntungannya semakin tergerus karena depresiasi rupiah. Ini tentu bukan kabar gembira.
Ketiga adalah dari dalam negeri, yaitu keputusan pemerintah yang membatalkan kewajiban pasokan batu bara untuk pasar domestik dalam jumlah tertentu atau
Domestic Market Obligation (DMO). Keputusan ini diambil seiring prioritas pemerintah dan BI dalam jangka pendek adalah menjaga stabilitas rupiah.
Dengan penghapusan DMO, tentu ekspor batu bara akan meningkat sehingga dapat membuat neraca perdagangan dan transaksi berjalan (
current account) membaik. Devisa yang datang dari ekspor juga bisa menjadi penopang bagi rupiah untuk menguat.
Merespons kabar ini, saham-saham emiten pertambangan batu bara berpotensi mendapatkan sentimen positif. Ekspor mereka bisa meningkat, laba tumbuh, dan ini akan diapresiasi oleh investor.
Namun, ada beberapa risiko dari kebijakan ini. Pertama adalah kenaikan pasokan batu bara Indonesia di pasar global berpotensi membuat harga komoditas ini turun. Sebab, Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar kedua di dunia setelah Australia.
Tahun lalu, ekspor batu bara Indonesia mencapai US$ 17,9 miliar atau 16,1% dari total ekspor dunia. Hanya kalah dari Australia yaitu US$ 40,6 milar (36,6%).
Investor global sepertinya sudah agak merespons perkembangan di Indonesia. Akhir pekan lalu, harga batu bara dunia turun 0,21% karena kekhawatiran membanjirnya pasokan.
Penurunan harga batu bara bukan kabar yang baik. Jika volume ekspor meningkat tetapi harganya turun, maka hasilnya akan sama saja alias impas. Tidak akan ada peningkatan penerimaan ekspor yang mendukung kinerja emiten maupun menyokong rupiah.
Risiko kedua adalah Indonesia menjadi masih bergantung kepada menjual komoditas dan seakan tidak serius membangun industri pengolahan. Kebijakan DMO mulai berlaku pada 2009, seiring penerapan UU Mineral dan Batu Bara (Minerba). Tujuannya adalah memastikan kebutuhan dalam negeri tercukupi. Tujuan lainnya adalah untuk membatasi ekspor komoditas, agar Indonesia tidak lagi bergantung kepada menjual barang mentah.
Tujuan kedua itu yang sebenarnya sangat mulia. Indonesia memang sudah saatnya jangan lagi tergantung pada ekspor barang mentah. Sudah bukan saatnya Indonesia menjual 'tanah air', menggali tanah untuk mendapatkan komoditas dan menjualnya begitu saja tanpa proses lanjutan.
Hilirisasi dan industrialisasi adalah tujuan besar dari UU Minerba. Melalui UU ini, pemerintah mendapat amanat untuk membangun industri pengolahan berbasis sumber daya alam agar Indonesia bisa menikmati nilai tambahnya.
Harga barang yang dijual akan lebih mahal bila diolah, dan tentunya menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Ekonomi Indonesia akan lebih berkualitas.
Kita tentu berharap agar kebijakan pencabutan DMO ini hanya sementara. Sebab jika terlalu lama, Indonesia akan kembali terlena dengan terus menjual 'tanah air' tanpa membangun industri pengolahan.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data penjualan ritel Jepang periode Juni 2018 (06:50 WIB).
- Rilis data keyakinan konsumen dan dunia usaha Uni Eropa periode Juli 2018 (16:00 WIB).
- Rilis data pendahuluan inflasi Jerman periode Juli 2018 (19:00 WIB).
- Rilis data indeks manufaktur AS versi The Fed Dallas (21:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
| Indikator | Tingkat |
| Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY) | 5.06% |
| Inflasi (Juni 2018 YoY) | 3.12% |
| Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
| Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
| Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
| Cadangan devisa (Juni 2018) | US$ 119.8 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di
sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA