Tragedi Beras AISA dan Awal Perseteruan Joko VS Jaka
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
29 July 2018 21:10
Pada 20 Juli tahun lalu, Tiga Pilar mendapatkan kejutan tidak menyenangkan menyusul keputusan pemerintah menggerebek PT Indo Beras Unggul (IBU) dengan tuduhan mengepul beras petani yang menikmati subsidi pemerintah untuk diproses dan dikemas ulang menjadi beras premium.
Sejak itu, bisnis beras yang sebelumnya menyumbang 50% pendapatan Tiga Pilar tidak lagi beroperasi sehingga perseroan kehilangan potensi pendapatan Rp 2 triliun per tahun. Perseroan memecat 1.700 karyawannya dan menyatakan akan menjual IBU. Kini, kabar penjualan itu sudah tidak jelas rimbanya.
Jejak kerusakan dari penggerebekan itu masih terlihat dari laporan keuangan 2017. Perseroan mencatatkan kerugian penghapusan persediaan yang nilainya mencapai Rp 112,3 miliar. Pendapatan terpangkas Rp 1,6 triliun menjadi Rp 4,9 triliun (2017), sehingga berujung pada rugi bersih setengah triliun rupiah.
Di tengah penurunan penjualan, semua beban usaha perseroan justru melonjak: beban penjualan, beban umum, dan beban lainnya. Biasanya perseroan yang menghadapi penurunan penjualan akan mengedepankan efisiensi biaya, kecuali untuk kewajiban tambahan bagi karyawan--misalnya: pesangon.
Beban usaha penjualan Tiga Pilar tahun lalu justru naik terutama di pos promosi (sebesar 62% menjadi Rp 376 miliar), disusul pos 'gaji dan kesejahteraan karyawan' (naik 48,6% menjadi Rp 43 miliar). Total, beban penjualan naik 38,2% menjadi Rp 584,95 miliar).
Lalu, beban umum mencatatkan kenaikan terbesar dari pos 'gaji dan kesejahteraan' sebesar 20,67% (setara Rp 27 miliar) menjadi Rp 158,7 miliar. Lalu, ada pos 'profesional dan konsultan' yang naik hampir 6 kali lipat (setara Rp 48 miliar) menjadi Rp 58 miliar. Untuk apa? Sejauh ini belum ada penjelasan.
Beban lainnya meningkat dari Rp 29 miliar menjadi Rp 314,5 miliar, alias naik nyaris 1.000%. Pemicunya adalah penyisihan penurunan nilai piutang sebesar Rp 127,6 miliar dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 18,5 miliar.
AISA tahun lalu mencatatkan piutang atas pelepasan saham di anak usahanya yakni PT Golden Plantation Tbk (GOLL) senilai Rp 521,4 miliar. Siapa pembeli yang masih berutang itu? Tak lain adalah PT JOM Prawarsa Indonesia (JOM) yang dimiliki oleh Joko.
Berdasarkan perjanjian jual-beli saham pada 11 Mei 2016, Joko harus melunasi pembayaran akuisisi 78,17% saham milik AISA ini pada September 2016. Karena tak melunasi, JOM didenda 10,25% per tahun. Pada 2017, Joko memilih menyetor dendanya, senilai Rp 53,4 miliar.
Karenanya, tidak heran jika Jaka meragukan komitmen Joko dalam menjaga profitabilitas perseroan karena di tengah kondisi sulit seperti itu, penjualan aset (seperti saham GOLL dan IBU) dan efisiensi semestinya menjadi kunci untuk direalisasikan.
"Dalam RUPS Tahunan tersebut, para pemegang saham publik dan KKR mengajukan beberapa pertanyaan terkait corporate governance dari Perusahaan serta terkait berbagai transaksi yang terlihat mengandung konflik/benturan kepentingan dengan Direktur tertentu dari Perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan cukup sehingga perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut," ujar KKR.
(ags/ags)
Sejak itu, bisnis beras yang sebelumnya menyumbang 50% pendapatan Tiga Pilar tidak lagi beroperasi sehingga perseroan kehilangan potensi pendapatan Rp 2 triliun per tahun. Perseroan memecat 1.700 karyawannya dan menyatakan akan menjual IBU. Kini, kabar penjualan itu sudah tidak jelas rimbanya.
Jejak kerusakan dari penggerebekan itu masih terlihat dari laporan keuangan 2017. Perseroan mencatatkan kerugian penghapusan persediaan yang nilainya mencapai Rp 112,3 miliar. Pendapatan terpangkas Rp 1,6 triliun menjadi Rp 4,9 triliun (2017), sehingga berujung pada rugi bersih setengah triliun rupiah.
Di tengah penurunan penjualan, semua beban usaha perseroan justru melonjak: beban penjualan, beban umum, dan beban lainnya. Biasanya perseroan yang menghadapi penurunan penjualan akan mengedepankan efisiensi biaya, kecuali untuk kewajiban tambahan bagi karyawan--misalnya: pesangon.
Lalu, beban umum mencatatkan kenaikan terbesar dari pos 'gaji dan kesejahteraan' sebesar 20,67% (setara Rp 27 miliar) menjadi Rp 158,7 miliar. Lalu, ada pos 'profesional dan konsultan' yang naik hampir 6 kali lipat (setara Rp 48 miliar) menjadi Rp 58 miliar. Untuk apa? Sejauh ini belum ada penjelasan.
Beban lainnya meningkat dari Rp 29 miliar menjadi Rp 314,5 miliar, alias naik nyaris 1.000%. Pemicunya adalah penyisihan penurunan nilai piutang sebesar Rp 127,6 miliar dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 18,5 miliar.
AISA tahun lalu mencatatkan piutang atas pelepasan saham di anak usahanya yakni PT Golden Plantation Tbk (GOLL) senilai Rp 521,4 miliar. Siapa pembeli yang masih berutang itu? Tak lain adalah PT JOM Prawarsa Indonesia (JOM) yang dimiliki oleh Joko.
Berdasarkan perjanjian jual-beli saham pada 11 Mei 2016, Joko harus melunasi pembayaran akuisisi 78,17% saham milik AISA ini pada September 2016. Karena tak melunasi, JOM didenda 10,25% per tahun. Pada 2017, Joko memilih menyetor dendanya, senilai Rp 53,4 miliar.
Secara bersamaan, saham GOLL yang masih berstatus 'utang' ini justru dijual oleh Joko. Pada periode 11 Mei hingga 25 Juni, JOM menjual 59,5 juta saham GOLL sehingga kepemilikannya berkurang menjadi 76,55% (per 25 Juni).
Karenanya, tidak heran jika Jaka meragukan komitmen Joko dalam menjaga profitabilitas perseroan karena di tengah kondisi sulit seperti itu, penjualan aset (seperti saham GOLL dan IBU) dan efisiensi semestinya menjadi kunci untuk direalisasikan.
"Dalam RUPS Tahunan tersebut, para pemegang saham publik dan KKR mengajukan beberapa pertanyaan terkait corporate governance dari Perusahaan serta terkait berbagai transaksi yang terlihat mengandung konflik/benturan kepentingan dengan Direktur tertentu dari Perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan cukup sehingga perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut," ujar KKR.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular