
Sempat Tertekan, Harga Batu Bara Dekati US$120/ton Lagi
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
25 July 2018 12:42

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga batu bara ICE Newcastle kontrak acuan kembali melambung, dengan diperdagangkan menguat 0,55% ke US$119,30/ton pada perdagangan hari Selasa (24/07/2018). Dengan pergerakan itu, harga si batu hitam kembali mendekati rekor tertingginya dalam hampir 7 tahun terakhir.
Sebagai informasi, harga si batu hitam sempat menyentuh angka US$119,6/ton yang merupakan level terkuat sejak awal tahun 2012, pada perdagangan hari Rabu (18/07/2018).
Pergerakan batu bara kembali pulih pasca hanya ditutup mendatar di sepanjang pekan lalu, setelah sebelumnya menguat signifikan. Pasalnya, pada akhir pekan lalu, sentimen negatif datang dari usaha pemerintah China untuk memastikan pasokan yang cukup, dan mulai melambatnya konsumsi batu bara di Negeri Panda.
Stok batu bara di sejumlah pembangkit listrik bertenaga batu bara di pesisir China tercatat meningkat menjadi sebesar 15,43 juta ton pada 12 Juli 2018, atau yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir, seperti dikutip dari Reuters.
Selain itu, kembali memanasnya tensi perang antara Amerika Serikat (AS)-China juga turut membebani harga batu bara di akhir pekan lalu. Eskalasi tensi perdagangan di antara dua raksasa ekonomi terbesar di dunia itu lantas mengindikasikan bahwa perang dagang masih jauh dari kata usai. Situasi ini lantas memberikan kekhawatiran terganggunya arus perdagangan global, termasuk batu bara.
Meski demikian, pada awal pekan ini, harga batu bara mendapatkan sentimen positif dari pemerintah China yang berkomitmen untuk menerapkan kebijakan fiskal ekspansif untuk mendorong permintaan domestik. Langkah ini lantas mengindikasikan akan adanya permintaan energi yang kuat (termasuk batu bara) dalam rangka menggenjot perekonomian Negeri Tirai Bambu, meski ancaman perang dagang masih ada di permukaan.
Selain itu, angin segar juga datang dari perusahaan riset BMI yang menaikkan proyeksi harga batu bara ke US$100/ton pada tahun ini, dari sebelumnya sebesar US$85/ton. Alasannya adalah ketatnya pasokan dari negara eksportir, serta permintaan yang lebih tinggi dari negara importir.
BMI juga menyampaikan bahwa harga batu bara masih akan kuat di sisa tahun ini, seiring isu dari sisi pasokan masih akan terjadi.
"Kita memperkirakan harga tetap kuat hingga kuartal-III (2018) sebelum nantinya akan sedikit melemah pada kuartal-IV (2018), akibat proyeksi fundamental yang lebih baik seiring stabilnya permintaan dan peningkatan pasokan. Meski demikian, rendahnya stok batu bara di China akan mencegah harga jatuh terlalu dalam," ucap BMI dalam pernyataannya, seperti dikutip dari Reuters pada hari Selasa (24/07/2018).
Sejak Mei 2018, permintaan batu bara China memang melesat akibat musim semi yang lebih panas dari biasanya. Pembangkit listrik bertenaga batu bara mau tidak mau harus menggenjot produksi listriknya seiring naiknya tingkat penggunaan pendingin ruangan di kota-kota besar.
Jika musim semi saja sudah seperti itu, musim panas yang datang pada bulan Juli-Agustus tentunya akan memberikan temperatur yang amat panas di negeri berpenduduk terbanyak dunia tesebut. Konsumsi batu bara, khususnya untuk pembangkitan listrik, diperkirakan akan mencapai puncaknya.
Sementara itu, dari sisi pasokan, Indonesia dan Afrika Selatan justru mengalami disrupsi. Pasokan batu bara di Afrika Selatan kini sedang difokuskan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi fasilitas pembangkit listrik, sehingga berdampak pada menurunnya volume ekspor batu bara dari Cape Town.
Sementara itu, ekspor Indonesia juga terhambat oleh aturan pemerintah yang menerapkan volume Domestic Market Obligation (DMO) yang lebih besar, serta datangnya hujan deras yang sempat menganggu produksi batu bara tanah air.
Melewati 2019, BMI memperkirakan harga batu bara tetap menguat seiring defisit pasar batu bara global akan melebar dari 187 juta ton di 2019, ke 922 juta ton pada tahun 2027. Meski pertumbuhan produksi batu bara global tetap positif, dengan rata-rata pertumbuhan 0,9% secara tahunan (year-on-year/YoY), BMI mengestimasi pertumbuhan permintaan akan lebih cepat di kisaran 1,9% YoY.
(RHG/gus) Next Article Perang Dagang AS-China Reda, Batu Bara Dekati US$105/ton
Sebagai informasi, harga si batu hitam sempat menyentuh angka US$119,6/ton yang merupakan level terkuat sejak awal tahun 2012, pada perdagangan hari Rabu (18/07/2018).
Pergerakan batu bara kembali pulih pasca hanya ditutup mendatar di sepanjang pekan lalu, setelah sebelumnya menguat signifikan. Pasalnya, pada akhir pekan lalu, sentimen negatif datang dari usaha pemerintah China untuk memastikan pasokan yang cukup, dan mulai melambatnya konsumsi batu bara di Negeri Panda.
Selain itu, kembali memanasnya tensi perang antara Amerika Serikat (AS)-China juga turut membebani harga batu bara di akhir pekan lalu. Eskalasi tensi perdagangan di antara dua raksasa ekonomi terbesar di dunia itu lantas mengindikasikan bahwa perang dagang masih jauh dari kata usai. Situasi ini lantas memberikan kekhawatiran terganggunya arus perdagangan global, termasuk batu bara.
![]() |
Meski demikian, pada awal pekan ini, harga batu bara mendapatkan sentimen positif dari pemerintah China yang berkomitmen untuk menerapkan kebijakan fiskal ekspansif untuk mendorong permintaan domestik. Langkah ini lantas mengindikasikan akan adanya permintaan energi yang kuat (termasuk batu bara) dalam rangka menggenjot perekonomian Negeri Tirai Bambu, meski ancaman perang dagang masih ada di permukaan.
Selain itu, angin segar juga datang dari perusahaan riset BMI yang menaikkan proyeksi harga batu bara ke US$100/ton pada tahun ini, dari sebelumnya sebesar US$85/ton. Alasannya adalah ketatnya pasokan dari negara eksportir, serta permintaan yang lebih tinggi dari negara importir.
BMI juga menyampaikan bahwa harga batu bara masih akan kuat di sisa tahun ini, seiring isu dari sisi pasokan masih akan terjadi.
"Kita memperkirakan harga tetap kuat hingga kuartal-III (2018) sebelum nantinya akan sedikit melemah pada kuartal-IV (2018), akibat proyeksi fundamental yang lebih baik seiring stabilnya permintaan dan peningkatan pasokan. Meski demikian, rendahnya stok batu bara di China akan mencegah harga jatuh terlalu dalam," ucap BMI dalam pernyataannya, seperti dikutip dari Reuters pada hari Selasa (24/07/2018).
Sejak Mei 2018, permintaan batu bara China memang melesat akibat musim semi yang lebih panas dari biasanya. Pembangkit listrik bertenaga batu bara mau tidak mau harus menggenjot produksi listriknya seiring naiknya tingkat penggunaan pendingin ruangan di kota-kota besar.
Jika musim semi saja sudah seperti itu, musim panas yang datang pada bulan Juli-Agustus tentunya akan memberikan temperatur yang amat panas di negeri berpenduduk terbanyak dunia tesebut. Konsumsi batu bara, khususnya untuk pembangkitan listrik, diperkirakan akan mencapai puncaknya.
Sementara itu, dari sisi pasokan, Indonesia dan Afrika Selatan justru mengalami disrupsi. Pasokan batu bara di Afrika Selatan kini sedang difokuskan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi fasilitas pembangkit listrik, sehingga berdampak pada menurunnya volume ekspor batu bara dari Cape Town.
Sementara itu, ekspor Indonesia juga terhambat oleh aturan pemerintah yang menerapkan volume Domestic Market Obligation (DMO) yang lebih besar, serta datangnya hujan deras yang sempat menganggu produksi batu bara tanah air.
Melewati 2019, BMI memperkirakan harga batu bara tetap menguat seiring defisit pasar batu bara global akan melebar dari 187 juta ton di 2019, ke 922 juta ton pada tahun 2027. Meski pertumbuhan produksi batu bara global tetap positif, dengan rata-rata pertumbuhan 0,9% secara tahunan (year-on-year/YoY), BMI mengestimasi pertumbuhan permintaan akan lebih cepat di kisaran 1,9% YoY.
(RHG/gus) Next Article Perang Dagang AS-China Reda, Batu Bara Dekati US$105/ton
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular