
Pasokan China Membaik, Harga Batu Bara Melandai
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
07 June 2018 11:09

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara ICE Newcastle kontrak berjangka ditutup melemah 0,18% ke US$112,8/ton pada perdagangan hari Rabu (06/06/2018). Pelemahan ini menjadi yang kedua kali berturut-turut setelah kemarin lusa harga sang batu hitam juga terkoreksi sebesar 0,26%.
Meski demikian, harga batu bara masih belum jauh dari rekor tertingginya sejak awal November 2016, di angka 113,3/ton, yang dicapai pada perdagangan hari Senin (04/06/2018).
Penurunan harga batu bara dipicu oleh stok batu bara per 1 Juni 2018 di 6 pembangkit listrik utama China mampu naik sebesar 1,3% ke 12,56 juta ton, atau 17 hari konsumsi, mengutip data dari China Coal Resource. Pekan sebelumnya, stok batu bara sempat anjlok ke kepasitas 16 hari penggunaan, atau setara dengan 12,41 juta ton, yang merupakan level terendah sejak 9 Februari lalu.
Perbaikan pasokan ini nampaknya merupakan andil dari pemerintah China untuk untuk menstabilkan harga batu bara domestik dan memperkuat pasokan. Pada dua pekan lalu, lembaga perencanaan China telah mengadakan pertemuan dengan para penambang, produsen listrik, dan industri di China, untuk mendiskusikan kondisi dan pasokan batu bara, sekaligus rencana untuk memangkas harga.
Meski demikian, ikhtiar Pemerintah Negeri Tirai Bambu tersebut masih akan menemui kendala ke depannya, seiring dengan permintaan batu bara di pembangkit listrik utama yang meningkat drastis. Pasalnya, periode heatwave (cuaca panas) yang lebih panas dari biasanya sedang melanda dataran China, sehingga meningkatkan intensitas penggunaan listrik untuk alat pendingin ruangan.
Terlebih pembangkit listrik bersumber energi alternatif, seperti pembangkit listrik tenaga air dan surya, masih belum mampu tumbuh secara signifikan. Faktor-faktor ini lantas mendorong sejumlah analis juga mengkhawatirkan langkanya pasokan batu bara akan bertahan lama di China.
"Kita meragukan intervensi pemerintah (China) akan efektif, karena bagaimanapun caranya mereka meregulasi pasokan, akan sulit untuk menekan permintaan," menurut analis dari Argonaut, seperti dilansir dari Reuters (29/05/2018).
Tidak hanya dari China, disrupsi pasokan juga terjadi dari sejumlah sentra produksi batu bara di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, Kegiatan ship to ship (STS) 28 vessel batu bara di Pelabuhan Muara Berau terhenti sejak 13 Mei 2018 lalu. Terhentinya aktivitas pemuatan batu bara dikarenakan aksi unjuk rasa yang dilakukan kelompok nelayan sekitar.
"Penundaan kegiatan bongkar muat di Muara Berau telah menghambat kegiatan penjualan batubara untuk keperluan domestik dan ekspor yang dapat menimbulkan potensi biaya demurrage dan tidak terpenuhinya kebutuhan batubara domestik dan ekspor. Khususnya kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik," kata Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) dalam keterangan resminya, Rabu (16/5/2018).
Selain itu, faktor cuaca ekstrim juga menghambat aktivitas pengiriman batu bara di Kolombia. Sejumlah sentimen positif di atas lantas mampu menahan pelemahan harga batu bara 2 hari ke belakang. Bahkan, peluang penguatan harga batu bara yang lebih lanjut masih terbuka lebar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/roy) Next Article China Serap Batu Bara Australia, Harga Berangsur Naik
Meski demikian, harga batu bara masih belum jauh dari rekor tertingginya sejak awal November 2016, di angka 113,3/ton, yang dicapai pada perdagangan hari Senin (04/06/2018).
![]() |
Penurunan harga batu bara dipicu oleh stok batu bara per 1 Juni 2018 di 6 pembangkit listrik utama China mampu naik sebesar 1,3% ke 12,56 juta ton, atau 17 hari konsumsi, mengutip data dari China Coal Resource. Pekan sebelumnya, stok batu bara sempat anjlok ke kepasitas 16 hari penggunaan, atau setara dengan 12,41 juta ton, yang merupakan level terendah sejak 9 Februari lalu.
Meski demikian, ikhtiar Pemerintah Negeri Tirai Bambu tersebut masih akan menemui kendala ke depannya, seiring dengan permintaan batu bara di pembangkit listrik utama yang meningkat drastis. Pasalnya, periode heatwave (cuaca panas) yang lebih panas dari biasanya sedang melanda dataran China, sehingga meningkatkan intensitas penggunaan listrik untuk alat pendingin ruangan.
Terlebih pembangkit listrik bersumber energi alternatif, seperti pembangkit listrik tenaga air dan surya, masih belum mampu tumbuh secara signifikan. Faktor-faktor ini lantas mendorong sejumlah analis juga mengkhawatirkan langkanya pasokan batu bara akan bertahan lama di China.
"Kita meragukan intervensi pemerintah (China) akan efektif, karena bagaimanapun caranya mereka meregulasi pasokan, akan sulit untuk menekan permintaan," menurut analis dari Argonaut, seperti dilansir dari Reuters (29/05/2018).
Tidak hanya dari China, disrupsi pasokan juga terjadi dari sejumlah sentra produksi batu bara di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, Kegiatan ship to ship (STS) 28 vessel batu bara di Pelabuhan Muara Berau terhenti sejak 13 Mei 2018 lalu. Terhentinya aktivitas pemuatan batu bara dikarenakan aksi unjuk rasa yang dilakukan kelompok nelayan sekitar.
"Penundaan kegiatan bongkar muat di Muara Berau telah menghambat kegiatan penjualan batubara untuk keperluan domestik dan ekspor yang dapat menimbulkan potensi biaya demurrage dan tidak terpenuhinya kebutuhan batubara domestik dan ekspor. Khususnya kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik," kata Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) dalam keterangan resminya, Rabu (16/5/2018).
Selain itu, faktor cuaca ekstrim juga menghambat aktivitas pengiriman batu bara di Kolombia. Sejumlah sentimen positif di atas lantas mampu menahan pelemahan harga batu bara 2 hari ke belakang. Bahkan, peluang penguatan harga batu bara yang lebih lanjut masih terbuka lebar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/roy) Next Article China Serap Batu Bara Australia, Harga Berangsur Naik
Most Popular