
BI Rela Aktifkan SBI Lagi Demi Dana Asing, Efektifkah?
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
20 July 2018 09:19

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini memutuskan untuk tetap mempertahankan tingkat bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,25%.
Namun, BI seperti memberikan 'kejutan' lainnya yang diharapkan bisa membantu nilai tukar rupiah. Meskipun mempertahankan tingkat suku bunga, namun BI menyiapkan kebijakan lain untuk perkuat nilai tukar.
Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan akan mengkaji untuk mengaktifkan kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tenor 9 bulan dan 12 bulan, untuk tetap mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik.
"Keputusan ini konsisten dengan upaya BI mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi," kata Perry.
BI merasa, pasar keuangan domestik memerlukan 'kejutan' untuk menarik arus portofolio investor, di tengah pembalikan arus modal asing dari negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Persoalan devisa dalam beberapa bulan terakhir menjadi momok yang membuat rupiah cukup rentan terhadap sentimen eksternal. Cerita ini, bermula dari devisa sektor perdagangan yang tak bisa diharapkan.
Ekspor tidak sebaik yang diharapkan, di sisi lain ada lonjakan impor yang cukup signifikan. BI dan pemerintah, pun berupaya memperbaiki kondisi ini dengan menggenjot ekspor nasional.
Namun, keinginan terkadang tak sesuai dengan harapan. Upaya membangkitkan industri nasional untuk meningkatkan kinerja ekspor tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek, dan lebih bersifat jangka panjang.
Diperlukan instrumen lain, untuk setidaknya dapat memasok devisa agar rupiah mendapatkan pijakan untuk menguat. Artinya, mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia saat ini butuh pasokan portofolio asing.
"Kebijakan ini terkait dengan bagaimana kita menarik aliran modal dari luar negeri," kata Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara.
Benarkah SBI Jadi Solusi?
Apa kata pelaku pasar mengenai rencana tersebut?
Kalangan analis memandang, rencana BI mengaktifkan kembali instrumen SBI memang menjadi cara paling ampuh untuk mengundang aliran modal asing masuk ke Indonesia.
Pengamat Pasar Uang Farial Anwar memandang, tersedianya fasilitas tersebut bukan tidak mungkin akan membuat aliran modal asing kembali membanjiri pasar keuangan Indonesia. Apalagi, investor asing merasa berinvestasi di instrumen ini lebih aman.
"Kita yang selama ini dibuat panas dingin oleh gonjang ganjing global. sudah tidak perlu merasa khawatir," kata Farial saat berbincang dengan CNBC Indonesia.
Berdasarkan data bank sentral, rupiah secara year to date (ytd) sudah melemah 5,81%. Sesuai dengan prioritas BI, Farial menganggap tidak ada cara lain selain mengaktifkan kembali instrumen SBI untuk mengundang aliran modal asing sebanyak-banyaknya.
"Kalau kondisi sedang normal, memang tidak perlu. Tapi dinamika ekonomi global sudah membuat rupiah bergejolak. Ini memang risiko kita sebagai negara yang memiliki rezim devisa bebas," jelasnya.
"BI selama ini sudah melakukan berbagai upaya untuk menstabilisasi. Mengetatkan kebijakan moneter, intervensi ganda, tetapi rupiah masih bergejolak. Konsekuensinya, memang harus melalui terobosan seperti ini," jelasnya.
Seperti diketahui, ada beberapa alasan yang menjadi dasar BI menonaktifkan SBI. Pertama, sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi bank di pasar uang, dengan mengganti SBI dengan SBN sebagai instrumen moneter.
Sementara yang kedua, adalah mengurangi volatilitas akibat banyaknya investor asing masuk di instrumen jangka pendek BI. Artinya, meskipun kebijakan ini bisa mengundang arus portofolio masuk, bukan tidak mungkin tidak ada dampaknya.
"Dengan current volatility [diaktifkannya kembali SBI] memang bisa meningkatkan risiko," kata Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro.
Apakah kebijakan tersebut nantinya bisa mengundang arus modal asing ke pasar keuangan Indonesia? Kita lihat saja.
(dru) Next Article SBI 9 Bulan Diaktifkan, Bank Bakal Malas Salurkan Kredit?
Namun, BI seperti memberikan 'kejutan' lainnya yang diharapkan bisa membantu nilai tukar rupiah. Meskipun mempertahankan tingkat suku bunga, namun BI menyiapkan kebijakan lain untuk perkuat nilai tukar.
Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan akan mengkaji untuk mengaktifkan kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tenor 9 bulan dan 12 bulan, untuk tetap mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik.
BI merasa, pasar keuangan domestik memerlukan 'kejutan' untuk menarik arus portofolio investor, di tengah pembalikan arus modal asing dari negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Persoalan devisa dalam beberapa bulan terakhir menjadi momok yang membuat rupiah cukup rentan terhadap sentimen eksternal. Cerita ini, bermula dari devisa sektor perdagangan yang tak bisa diharapkan.
Ekspor tidak sebaik yang diharapkan, di sisi lain ada lonjakan impor yang cukup signifikan. BI dan pemerintah, pun berupaya memperbaiki kondisi ini dengan menggenjot ekspor nasional.
Namun, keinginan terkadang tak sesuai dengan harapan. Upaya membangkitkan industri nasional untuk meningkatkan kinerja ekspor tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek, dan lebih bersifat jangka panjang.
Diperlukan instrumen lain, untuk setidaknya dapat memasok devisa agar rupiah mendapatkan pijakan untuk menguat. Artinya, mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia saat ini butuh pasokan portofolio asing.
"Kebijakan ini terkait dengan bagaimana kita menarik aliran modal dari luar negeri," kata Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara.
Benarkah SBI Jadi Solusi?
Apa kata pelaku pasar mengenai rencana tersebut?
Kalangan analis memandang, rencana BI mengaktifkan kembali instrumen SBI memang menjadi cara paling ampuh untuk mengundang aliran modal asing masuk ke Indonesia.
Pengamat Pasar Uang Farial Anwar memandang, tersedianya fasilitas tersebut bukan tidak mungkin akan membuat aliran modal asing kembali membanjiri pasar keuangan Indonesia. Apalagi, investor asing merasa berinvestasi di instrumen ini lebih aman.
"Kita yang selama ini dibuat panas dingin oleh gonjang ganjing global. sudah tidak perlu merasa khawatir," kata Farial saat berbincang dengan CNBC Indonesia.
Berdasarkan data bank sentral, rupiah secara year to date (ytd) sudah melemah 5,81%. Sesuai dengan prioritas BI, Farial menganggap tidak ada cara lain selain mengaktifkan kembali instrumen SBI untuk mengundang aliran modal asing sebanyak-banyaknya.
"Kalau kondisi sedang normal, memang tidak perlu. Tapi dinamika ekonomi global sudah membuat rupiah bergejolak. Ini memang risiko kita sebagai negara yang memiliki rezim devisa bebas," jelasnya.
"BI selama ini sudah melakukan berbagai upaya untuk menstabilisasi. Mengetatkan kebijakan moneter, intervensi ganda, tetapi rupiah masih bergejolak. Konsekuensinya, memang harus melalui terobosan seperti ini," jelasnya.
Seperti diketahui, ada beberapa alasan yang menjadi dasar BI menonaktifkan SBI. Pertama, sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi bank di pasar uang, dengan mengganti SBI dengan SBN sebagai instrumen moneter.
Sementara yang kedua, adalah mengurangi volatilitas akibat banyaknya investor asing masuk di instrumen jangka pendek BI. Artinya, meskipun kebijakan ini bisa mengundang arus portofolio masuk, bukan tidak mungkin tidak ada dampaknya.
"Dengan current volatility [diaktifkannya kembali SBI] memang bisa meningkatkan risiko," kata Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro.
Apakah kebijakan tersebut nantinya bisa mengundang arus modal asing ke pasar keuangan Indonesia? Kita lihat saja.
(dru) Next Article SBI 9 Bulan Diaktifkan, Bank Bakal Malas Salurkan Kredit?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular