
Begini Cerita Pemilik Sevel Terlilit Utang Hingga Rp 238 M
Monica Wareza, CNBC Indonesia
18 July 2018 14:36

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Modern Internasional Tbk (MDRN) pada awalnya merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bisnis distributor peralatan kesehatan medis peralatan percetakan. Distributor peralatan kesehatan medis dengan merek Shimadzu dan Sirona Dental Imaging sedangkan lini usaha distribusi document management solution merk Ricoh dan Fujifilm dijalankan oleh entitas anak MDRN PT Modern Data Solusi.
Pada 2008 perusahaan memutuskan untuk membeli hak kepemilikan waralaba Seven Eleven (Sevel) seharga US$ 1,5 juta dari Master Franchisor Seven Eleven Inc (SEI) di Dallas, Texas, Amerika. Dengan harga tersebut perusahaan memperoleh hak untuk menggunakan merk tersebut hingga 20 tahun yang artinya akan berakhir 2028 mendatang.
Perusahaan merasa sangat percaya diri dengan bisnis tersebut, setelah gerai Sevel pertama didirikan di Bulungan, Jakarta Selatan pada 7 November 2009. Melihat bisnisnya sangat diminati di Indonesia, perusahaan gencar menambah gerai-gerai baru hingga diperkirakan memiliki sampai 200 gerai di wilayah Jabodetabek.
Untuk membuka satu gerai saja diperkirakan membutuhkan dana mencapai Rp 1 miliar-Rp 2 miliar yang tentunya dana ini berasal dari pinjaman induk usahanya dari sejumlah bank dan perusahaan pembiayaan. Utang pengembangan Sevel inilah yang menjadi cikal bakal menunmpuknya utang Modern Internasional yang hingga saat ini direstrukturisasi.
Beberapa waktu lalu, Corporate Secretary perusahaan Johannis sempat mengatakan bahwa biaya pembangunan satu gerai menjadi sangat besar dikarenakan standar tinggi yang diberikan oleh pemiliki lisensi Sevel sangat tinggi. PT Modern Sevel Internasional sebagai operator Sevel di Indonesia diharuskan menggunakan perlatan yang sesuai dengan standar Internasional, artinya peralatan tersebut harus didatangkan jauh dari Negeri Paman Sam.
Ternyata bisnis Sevel tak berjalan baik namun justru malah menggerogoti induk usahanya. Perusahaan bahkan belum bisa menutupi utang atas pembayaran lisensi, namun perusahaan harus menutup seluruh gerainya karena bisnis tak berjalan baik.
Ibarat besar pasak dari pada tiang, perusahaan memutuskan harus mengembalikan lisensi tersebut ke negeri asalnya namun tak kembali menerima uang yang sah disetorkan meski lisensi hanya digunakan selama delapan tahun dan masih tersisa 12 tahun lagi.
Utang terus menumpuk karena perusahaan harus tetap membayar bunga sementara pokok utang. Dimana per kuartal I-2018, nilai utang jangka panjang Modern International tercatat mencapai Rp 238,77 miliar.
Sekarang perusahaan terpaksa harus membayar utang-utangnya secara berkala. Tak mampu bayar tepat waktu, perusahaan terus mengusahakan restrukturisasi untuk mengulur waktu pembayaran hingga 10 tahun ke depan, ditambah dengan menerbitkan saham baru yang nantinya akan dikonversikan dengan nilai utangnya.
Hari ini, bisnis peralatan percetakan Ricoh yang dianak tirikan selama ini menjadi satu-satunya tumpuan bisnis perusahaan saat ini. Usaha satu-satunya ini diharapkan akan mendatangkan pemasukan yang akan membayarkan setumpuk utang yang tak mampu dibayarkan oleh ratusan peralatan Sevel impor.
(hps) Next Article Utang Menumpuk, Pemilik Sevel Konversi Utang Jadi Saham
Pada 2008 perusahaan memutuskan untuk membeli hak kepemilikan waralaba Seven Eleven (Sevel) seharga US$ 1,5 juta dari Master Franchisor Seven Eleven Inc (SEI) di Dallas, Texas, Amerika. Dengan harga tersebut perusahaan memperoleh hak untuk menggunakan merk tersebut hingga 20 tahun yang artinya akan berakhir 2028 mendatang.
Perusahaan merasa sangat percaya diri dengan bisnis tersebut, setelah gerai Sevel pertama didirikan di Bulungan, Jakarta Selatan pada 7 November 2009. Melihat bisnisnya sangat diminati di Indonesia, perusahaan gencar menambah gerai-gerai baru hingga diperkirakan memiliki sampai 200 gerai di wilayah Jabodetabek.
Beberapa waktu lalu, Corporate Secretary perusahaan Johannis sempat mengatakan bahwa biaya pembangunan satu gerai menjadi sangat besar dikarenakan standar tinggi yang diberikan oleh pemiliki lisensi Sevel sangat tinggi. PT Modern Sevel Internasional sebagai operator Sevel di Indonesia diharuskan menggunakan perlatan yang sesuai dengan standar Internasional, artinya peralatan tersebut harus didatangkan jauh dari Negeri Paman Sam.
Ternyata bisnis Sevel tak berjalan baik namun justru malah menggerogoti induk usahanya. Perusahaan bahkan belum bisa menutupi utang atas pembayaran lisensi, namun perusahaan harus menutup seluruh gerainya karena bisnis tak berjalan baik.
Ibarat besar pasak dari pada tiang, perusahaan memutuskan harus mengembalikan lisensi tersebut ke negeri asalnya namun tak kembali menerima uang yang sah disetorkan meski lisensi hanya digunakan selama delapan tahun dan masih tersisa 12 tahun lagi.
Utang terus menumpuk karena perusahaan harus tetap membayar bunga sementara pokok utang. Dimana per kuartal I-2018, nilai utang jangka panjang Modern International tercatat mencapai Rp 238,77 miliar.
Ditambah lagi perusahaan juga harus merumahkan ratusan karyawan Sevel dan keharusannya untuk membayar pesangon yang hingga saat ini masih dicicil yang secara total nilainya mencapai Rp 17,5 miliar yang saat ini masih dibayarkan separuhnya.
Sekarang perusahaan terpaksa harus membayar utang-utangnya secara berkala. Tak mampu bayar tepat waktu, perusahaan terus mengusahakan restrukturisasi untuk mengulur waktu pembayaran hingga 10 tahun ke depan, ditambah dengan menerbitkan saham baru yang nantinya akan dikonversikan dengan nilai utangnya.
Hari ini, bisnis peralatan percetakan Ricoh yang dianak tirikan selama ini menjadi satu-satunya tumpuan bisnis perusahaan saat ini. Usaha satu-satunya ini diharapkan akan mendatangkan pemasukan yang akan membayarkan setumpuk utang yang tak mampu dibayarkan oleh ratusan peralatan Sevel impor.
(hps) Next Article Utang Menumpuk, Pemilik Sevel Konversi Utang Jadi Saham
Most Popular