Ekonomi Lagi Sulit, Merananya PGN Cari Utang Rp 11 T

Donald Banjarnahor, CNBC Indonesia
06 July 2018 12:45
PGN belum mengungkapkan secara rinci mengenai proses pencarian pinjaman.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah kenaikan suku bunga dan ancaman pelambatan ekonomi, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) harus mencari utang sekitar Rp 11 triliun untuk mewujudkan mimpi Presiden Joko Widodo membentuk Holding BUMN Migas.

Dana Rp 11 triliun diperlukan PGN untuk mengakuisisi PT Pertagas, anak usaha PT Pertamina, sebagai bagian upaya integrasi subholding migas. Nilai transaksi untuk akuisisi 51% saham Pertagas mencapai US$1,22 miliar atau setara dengan Rp 16,5 triliun.

Valuasi itu merupakan penilaian Kantor Jasa Penilai Publik Ruky, Safrudin, dan Rekan dengan menggunakan dua metode penilaian pembobotan, yakni pendekatan pendapatan (discounted cash flow) dengan porsi 70% dan pendekatan pasar sebesar 30% pembobotan penilaian.

Akuisisi Pertagas akan mengandalkan dana internal PGN sebesar 30% dan sisanya yakni 70% mengandalkan pinjaman. Pinjaman tersebut pun harus didapatkan dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan, atau sebelum Perjanjian Jual Beli Saham Bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement /CSPA) jatuh tempo pada September 2018 mendatang.

Namun, PGN belum mengungkapkan secara rinci mengenai proses pencarian pinjaman tersebut, baik kepada media massa maupun dalam analyst meeting yang digelar pada Rabu (4/7/2018). "Tidak ada rincian pembiayaan selain dari rencana tentative, yakni tunai 30% dan utang 70%," tulis riset CLSA yang menghadiri analys meeting PGAS.

Rencana pinjaman PGN pun mendapatkan respons negatif dari Standard and Poor's (S&P) menempatkan rating utang PGN di kategori creditwatch dengan implikasi negatif. Saat ini PGN memiliki rating BBB- atau merupakan posisi layak investasi (investment grade) paling bawah.

S&P mengatakan akuisisi yang diusulkan, jika didanai dengan uang tunai dan utang, akan menandakan bahwa manajemen mendukung kebijakan keuangan yang lebih agresif daripada yang diantisipasi sebelumnya. S&P memperkirakan, neraca PGN secara substansial akan melemah setelah akuisisi.

Menurut riset UOB KayHian hal tersebut akan membuat rasio utang PGN lompat ke 0,85 kali pasca akusisi, dibandingkan akhir 2017 berada pada posisi 0,43 kali. Meski pasca akuisisi PGAS diprediksi akan menikmati kenaikan EBITDA sebesar 20%, namun dikhawatirkan tidak akan ditransmikan ke peningkatan laba bersih yang tinggi karena bunga tinggi dari pinjaman untuk akuisisi.

"Kami memprediksi laba bersih PGN setelah akuisisi pada 2019 hanya tumbuh 8%," tulis UOB KayHian.

Apalagi Bank Indonesia (BI) baru saja menaikan suku bunga acuan sebanyak 1% dalam tiga bulan terakhir. "Bunga pinjaman mungkin akan lebih tinggi dari rata-rata bunga kredit PGAS selama ini, yakni 6%," tulis CLSA.

Tidak mencari pinjaman Rp 11 triliun dalam waktu 3 bulan, di tengah kenaikan bunga dan ancaman ekonomi yang melambat.
Bahkan kemarin pun Presiden Joko Widodo pertama kali jujur soal kondisi ekonomi Indonesia saat ini.

"Kita harus bicara apa adanya bahwa situasi ekonomi dunia sekarang ini masih betul-betul pada posisi yang sangat sulit. Saya kira bapak-ibu semuanya, bupati juga merasakan betapa ketidakpastian ekonomi dunia itu betul-betul sulit dikalkulasi dan sulit dihitung," ujar Jokowi di hadapan seluruh Bupati, di Istana Bogor, Kamis (5/7/2018).
(dob/dob) Next Article Akhir September, Pertagas Bakal Resmi Masuk PGN

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular