
Akuisisi Pertagas, Dari Kemahalan Sampai Bahayakan Neraca PGN
Donald Banjarnahor, CNBC Indonesia
06 July 2018 07:23

Pandangan nilai kemahalan dari akuisisi Pertagas tidak menjadi masalah satu-satunya dari PGN. Masalah berikutnya adalah sumber dana untuk mengakuisisi Pertagas. Sebanyak 70% dari kebutuhan dana akan dipenuhi lewat pinjaman atau sekitar Rp 11 triliun.
Menurut riset UOB KayHian hal tersebut akan membuat rasio utang PGN lompat ke 0,85 kali pasca akusisi, dibandingkan akhir 2017 berada pada posisi 0,43 kali. Meski pasca akuisisi PGAS diprediksi akan menikmati kenaikan EBITDA sebesar 20%, namun dikhawatirkan tidak akan ditransmikan ke peningkatan laba bersih yang tinggi karena bunga tinggi dari pinjaman untuk akuisisi.
"Kami memprediksi laba bersih setelah akuisisi pada 2019 hanya tumbuh 8%," tulis UOB KayHian.
Sementara itu, Lembaga pemeringkat utang Standard and Poor's (S&P) menempatkan rating utang PGN di kategori creditwatch dengan implikasi negatif. Saat ini PGN memiliki rating BBB- atau merupakan posisi layak investasi (investment grade) paling bawah.
S&P mengatakan akuisisi yang diusulkan, jika didanai dengan uang tunai dan utang, akan menandakan bahwa manajemen mendukung kebijakan keuangan yang lebih agresif daripada yang diantisipasi sebelumnya. S&P memperkirakan, neraca PGN secara substansial akan melemah setelah akuisisi.
Apalagi Bank Indonesia (BI) baru saja menaikan suku bunga acuan sebanyak 1% dalam tiga bulan terakhir.
"Bunga pinjaman mungkin akan lebih tinggi dari rata-rata bunga kredit PGAS selama ini, yakni 6%," tulis CLSA.
Pada dasarnya Perjanjian Jual Beli Bersyarat antara Pertamina dan PGN mengenai akuisisi 51% saham Pertagas hanya berlaku selama 90 hari sejak 29 Juni 2018 lalu. Kurang dari tiga bulan, PGN harus mendapatkan pinjaman untuk akuisisi tersebut, waktu yang terbilang singkat untuk proses pengajuan kredit jumbo hingga Rp 11 triliun.
Maka kita tunggu saja apakah akuisisi ini akan berjalan sesuai rencana atau ada perubahan lain. (prm)
Menurut riset UOB KayHian hal tersebut akan membuat rasio utang PGN lompat ke 0,85 kali pasca akusisi, dibandingkan akhir 2017 berada pada posisi 0,43 kali. Meski pasca akuisisi PGAS diprediksi akan menikmati kenaikan EBITDA sebesar 20%, namun dikhawatirkan tidak akan ditransmikan ke peningkatan laba bersih yang tinggi karena bunga tinggi dari pinjaman untuk akuisisi.
"Kami memprediksi laba bersih setelah akuisisi pada 2019 hanya tumbuh 8%," tulis UOB KayHian.
S&P mengatakan akuisisi yang diusulkan, jika didanai dengan uang tunai dan utang, akan menandakan bahwa manajemen mendukung kebijakan keuangan yang lebih agresif daripada yang diantisipasi sebelumnya. S&P memperkirakan, neraca PGN secara substansial akan melemah setelah akuisisi.
Apalagi Bank Indonesia (BI) baru saja menaikan suku bunga acuan sebanyak 1% dalam tiga bulan terakhir.
"Bunga pinjaman mungkin akan lebih tinggi dari rata-rata bunga kredit PGAS selama ini, yakni 6%," tulis CLSA.
Pada dasarnya Perjanjian Jual Beli Bersyarat antara Pertamina dan PGN mengenai akuisisi 51% saham Pertagas hanya berlaku selama 90 hari sejak 29 Juni 2018 lalu. Kurang dari tiga bulan, PGN harus mendapatkan pinjaman untuk akuisisi tersebut, waktu yang terbilang singkat untuk proses pengajuan kredit jumbo hingga Rp 11 triliun.
Maka kita tunggu saja apakah akuisisi ini akan berjalan sesuai rencana atau ada perubahan lain. (prm)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular