
Semester I-2018, IHSG Jadi Salah Satu yang Terburuk di Asia
Anthony Kevin & dob, CNBC Indonesia
02 July 2018 14:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh sebesar 8,75% sepanjang paruh pertama tahun 2018. Jika dibandingkan dengan bursa saham lainnya di kawasan Asia, pelemahan IHSG merupakan salah satu yang terparah: indeks Shanghai anjlok 13,9%, indeks SET (Thailand) anjlok 9,02%, indeks KLCI (Malaysia) turun 5,86%, indeks Kospi turun 5,73%, indeks Strait Times turun 3,94%, indeks Hang Seng turun 2,22%, dan indeks Nikkei turun 2,02%.
Faktor eksternal dan domestik menekan laju IHSG sepanjang 6 bulan pertama tahun ini. Dari sisi eksternal, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif oleh the Federal Reserve selaku bank sentral Amerika Serikat (AS) membuat pelaku pasar melepas instrumen berisiko seperti saham.
Pada pertemuan bulan Mei, median dari dot plot berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 4 kali pada tahun ini. Padahal pada pertemuan bulan Maret, posisinya masih sebesar 2-2,25%, menandakan kenaikan sebanyak 3 kali saja.
Sebagai catatan, dot plot merupakan sebuah survei yang berisikan 12 anggota FOMC (Federal Open Market Committee) selaku pengambil keputusan terkait proyeksi mereka atas tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun.
Kuatnya data ekonomi negeri Paman Sam telah membuat the Fed semakin yakin untuk terus melakukan normalisasi atas kebijakan suku bunga rendah yang mulai diadopsi pada krisis keuangan global tahun 2008 silam. Tingkat pengangguran misalnya, kini berada di level 3,8%, level terendah sejak tahun 2000.
Kebijakan pemotongan tingkat pajak yang digolkan pada Desember 2017 oleh pemerintahan Presiden Donald Trump telah berhasil membawa angin segar bagi perekonomian AS. Akibatnya, kebijakan suku bunga rendah perlu ditinggalkan guna menghindari overheating yang pada akhirnya akan berujung kepada krisis.
Masalahnya, jika the Fed kelewat agresif menaikkan suku bunga acuan, bukan tak mungkin hal tersebut mungkin akan 'mematikan' ekonomi Negeri Paman Sam. Apalagi, risiko perang dagang masih terus mengintai.
Ya, sepanjang 2018 pasar keuangan dunia dibuat kotar-katir oleh aksi balas-membalas tarif antara AS dengan mitra dagangnya. Dimulai dengan kebijakan AS yang menerapkan bea masuk untuk baja dan alumunium sebesar masing-masing 25% dan 10% pada Maret lalu, negara-negara lainnya telah mengeluarkan kebijakan balasan.
Uni Eropa misalnya, telah menaikkan bea masuk untuk sejumlah produk AS seperti baja, pakaian, kosmetik, alat transportasi, dan makanan. Dampak dari kebijakan balasan ini sudah mulai terasa bagi sektor riil.
Pabrikan motor asal AS Harley-Davidson belum lama ini mengumumkan rencananya untuk memindahkan produksi motor yang diekspor ke Uni Eropa, dari AS ke pabriknya di luar negeri. Pabrikan motor besar tersebut memproyeksikan tarif balasan yang diterapkan oleh Uni Eropa akan meningkatkan biaya perusahaan sebesar US$ 90-100 juta per tahunnya.
Dalam suratnya kepada regulator, perusahaan yang bermarkas di Wisconsin ini mengatakan bahwa tarif tersebut akan mengerek naik bea masuk atas motor asal AS menjadi 31%, dari yang sebelumnya 6% saja.
Dengan China, kondisinya lebih rumit lagi. Pasalnya, AS menuduh China telah menerapkan praktek perdagangan yang tidak adil dengan mencuri teknologi dan kekayaan intelektual milik perusahaan asal AS yang berinvestasi disana.
Guna menghukum China akan hal tersebut, pada pertengahan bulan lalu pemerintahan AS mengumumkan bea masuk sebesar 25% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 50 miliar. Produk yang disasar adalah produk yang mengandung teknologi penting bagi sektor industri.
Seperti dikutip dari CNBC International, United States Trade Representative mengatakan bahwa tarif bagi produk impor China senilai US$ 34 miliar akan mulai diberlakukan pada 6 Juli mendatang, sementara tarif bagi produk senilai US$ 16 miliar dapat berlaku setelah peninjauan dan dengar pendapat.
China pun meluncurkan serangan balasan. Bea masuk baru bagi senilai US$ 34 miliar produk impor asal AS akan mulai diberlakukan mulai 6 Juli. Produk agrikultur dan mobil termasuk dalam daftar barang disasar oleh China. Secara keseluruhan, kebijakan China akan menyasar US$ 50 miliar produk impor asal AS, jumlah yang sama persis dengan yang diumumkan AS.
Belakangan, perang dagang sudah melebar menjadi perang investasi. Pemerintah AS pada minggu lalu memutuskan untuk memperkuat Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS) guna melindungi teknologi sensitif yang dimiliki perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam dengan dasar keamanan nasional.
Menggunakan kerangka baru yang diperkuat, kini komite tersebut bisa memblokir joint venture antara perusahaan asal China dengan AS jika menyangkut teknologi yang dianggap penting. Sebelumnya, komite bisa memblokir rencana akuisisi oleh pihak China namun tak bisa memblokir joint venture antar keduanya.
Kebijakan ini tak direspon enteng oleh pihak China. Kementerian Perdagangan China mengungkapkan bahwa pihaknya tidak setuju terhadap penggunaan alasan keamanan nasional untuk membatasi investasi asing.
"China akan memonitor secara ketat proses legislasi dan mengevaluasi dampaknya bagi perusahaan-perusahaan asal China," papar Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng, seperti dikutip dari Reuters.
"China tak setuju dengan (AS) membatasi investasi asing menggunakan keamanan nasional sebagai alasannya,".
Ketidaksetujuan dari China sangat mungkin berbuah kebijakan balasan dalam waktu dekat.
Laju Ekonomi Masih Lambat
Dari dalam negeri, masih lambatnya laju ekonomi ikut membebani pergerakan IHSG. Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 diumumkan di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY.
Capaian sepanjang kuartal I-2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal I-2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY. Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit.
Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94% YoY. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.
Lemahnya konsumsi masyarakat terlihat dari lesunya penjualan barang-barang ritel: pertumbuhan penjualan ritel sepanjang 4 bulan pertama tahun ini selalu lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sepanjang April, Bank Indonesia (BI) mencatat penjualan ritel hanya tumbuh sebesar 4,1% YoY, lebih rendah jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu yakni sebesar 4,2% YoY.
Kemudian, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan ritel bulan Mei 2018 tercatat sebesar 4,4% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian Mei 2017 yang sebesar 4,3% YoY. Padahal, bulan puasa tahun ini sudah dimulai sejak pertengahan Mei, sementara bulan puasa tahun lalu baru dimulai pada akhir Mei.
(ank) Next Article IHSG Menguat Terbatas, Pasar Menanti Sentimen Suku Bunga
Faktor eksternal dan domestik menekan laju IHSG sepanjang 6 bulan pertama tahun ini. Dari sisi eksternal, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif oleh the Federal Reserve selaku bank sentral Amerika Serikat (AS) membuat pelaku pasar melepas instrumen berisiko seperti saham.
Pada pertemuan bulan Mei, median dari dot plot berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 4 kali pada tahun ini. Padahal pada pertemuan bulan Maret, posisinya masih sebesar 2-2,25%, menandakan kenaikan sebanyak 3 kali saja.
Kuatnya data ekonomi negeri Paman Sam telah membuat the Fed semakin yakin untuk terus melakukan normalisasi atas kebijakan suku bunga rendah yang mulai diadopsi pada krisis keuangan global tahun 2008 silam. Tingkat pengangguran misalnya, kini berada di level 3,8%, level terendah sejak tahun 2000.
Masalahnya, jika the Fed kelewat agresif menaikkan suku bunga acuan, bukan tak mungkin hal tersebut mungkin akan 'mematikan' ekonomi Negeri Paman Sam. Apalagi, risiko perang dagang masih terus mengintai.
Ya, sepanjang 2018 pasar keuangan dunia dibuat kotar-katir oleh aksi balas-membalas tarif antara AS dengan mitra dagangnya. Dimulai dengan kebijakan AS yang menerapkan bea masuk untuk baja dan alumunium sebesar masing-masing 25% dan 10% pada Maret lalu, negara-negara lainnya telah mengeluarkan kebijakan balasan.
Uni Eropa misalnya, telah menaikkan bea masuk untuk sejumlah produk AS seperti baja, pakaian, kosmetik, alat transportasi, dan makanan. Dampak dari kebijakan balasan ini sudah mulai terasa bagi sektor riil.
Pabrikan motor asal AS Harley-Davidson belum lama ini mengumumkan rencananya untuk memindahkan produksi motor yang diekspor ke Uni Eropa, dari AS ke pabriknya di luar negeri. Pabrikan motor besar tersebut memproyeksikan tarif balasan yang diterapkan oleh Uni Eropa akan meningkatkan biaya perusahaan sebesar US$ 90-100 juta per tahunnya.
Dalam suratnya kepada regulator, perusahaan yang bermarkas di Wisconsin ini mengatakan bahwa tarif tersebut akan mengerek naik bea masuk atas motor asal AS menjadi 31%, dari yang sebelumnya 6% saja.
Dengan China, kondisinya lebih rumit lagi. Pasalnya, AS menuduh China telah menerapkan praktek perdagangan yang tidak adil dengan mencuri teknologi dan kekayaan intelektual milik perusahaan asal AS yang berinvestasi disana.
Guna menghukum China akan hal tersebut, pada pertengahan bulan lalu pemerintahan AS mengumumkan bea masuk sebesar 25% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 50 miliar. Produk yang disasar adalah produk yang mengandung teknologi penting bagi sektor industri.
Seperti dikutip dari CNBC International, United States Trade Representative mengatakan bahwa tarif bagi produk impor China senilai US$ 34 miliar akan mulai diberlakukan pada 6 Juli mendatang, sementara tarif bagi produk senilai US$ 16 miliar dapat berlaku setelah peninjauan dan dengar pendapat.
China pun meluncurkan serangan balasan. Bea masuk baru bagi senilai US$ 34 miliar produk impor asal AS akan mulai diberlakukan mulai 6 Juli. Produk agrikultur dan mobil termasuk dalam daftar barang disasar oleh China. Secara keseluruhan, kebijakan China akan menyasar US$ 50 miliar produk impor asal AS, jumlah yang sama persis dengan yang diumumkan AS.
Belakangan, perang dagang sudah melebar menjadi perang investasi. Pemerintah AS pada minggu lalu memutuskan untuk memperkuat Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS) guna melindungi teknologi sensitif yang dimiliki perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam dengan dasar keamanan nasional.
Menggunakan kerangka baru yang diperkuat, kini komite tersebut bisa memblokir joint venture antara perusahaan asal China dengan AS jika menyangkut teknologi yang dianggap penting. Sebelumnya, komite bisa memblokir rencana akuisisi oleh pihak China namun tak bisa memblokir joint venture antar keduanya.
Kebijakan ini tak direspon enteng oleh pihak China. Kementerian Perdagangan China mengungkapkan bahwa pihaknya tidak setuju terhadap penggunaan alasan keamanan nasional untuk membatasi investasi asing.
"China akan memonitor secara ketat proses legislasi dan mengevaluasi dampaknya bagi perusahaan-perusahaan asal China," papar Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng, seperti dikutip dari Reuters.
"China tak setuju dengan (AS) membatasi investasi asing menggunakan keamanan nasional sebagai alasannya,".
Ketidaksetujuan dari China sangat mungkin berbuah kebijakan balasan dalam waktu dekat.
Laju Ekonomi Masih Lambat
Dari dalam negeri, masih lambatnya laju ekonomi ikut membebani pergerakan IHSG. Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 diumumkan di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY.
Capaian sepanjang kuartal I-2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal I-2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY. Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit.
Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94% YoY. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.
Lemahnya konsumsi masyarakat terlihat dari lesunya penjualan barang-barang ritel: pertumbuhan penjualan ritel sepanjang 4 bulan pertama tahun ini selalu lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sepanjang April, Bank Indonesia (BI) mencatat penjualan ritel hanya tumbuh sebesar 4,1% YoY, lebih rendah jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu yakni sebesar 4,2% YoY.
Kemudian, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan ritel bulan Mei 2018 tercatat sebesar 4,4% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian Mei 2017 yang sebesar 4,3% YoY. Padahal, bulan puasa tahun ini sudah dimulai sejak pertengahan Mei, sementara bulan puasa tahun lalu baru dimulai pada akhir Mei.
(ank) Next Article IHSG Menguat Terbatas, Pasar Menanti Sentimen Suku Bunga
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular