
Melesat ke Bulan, IHSG Cetak Rekor Tertinggi Sepanjang Masa!

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah ancaman perang di Eropa timur, potensi kenaikan suku bunga yang lebih agresif dari The Fed serta peningkatan kasus Covid di dalam negeri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) malah tercatat melesat dan berhasil mencetak rekor penutupan tertinggi sepanjang masa (all time high).
Pada penutupan perdagangan Jumat (18/2), IHSG tercatat naik 0,84% ke level 6,892,82, dengan dua sempat terseret di zona merah. Dalam sepekan IHSG tercatat tumbuh 1,13%.
Penguatan IHSG diikuti oleh pembelian bersih (net sell) yang dilakukan investor asing sebesar Rp 3,79 triliun selama sepekan.
Meski indeks acuan menguat, total nilai transaksi sepekan bursa malah turun menjadi Rp 62,17 triliun dari pekan lalu sebesar Rp 67,99 triliun. Volume perdagangan mencapai 131,36 miliar dan ditransaksikan sebanyak 7,83 juta kali.
Kinerja fantastis IHSG terjadi di tengah kondisi eksternal yang masih belum stabil. Pekan ini memang sempat tersiar kabar bahwa Putin akan menarik pasukkannya dari Ukraina dan pejabat Rusia menyebut bahwa "latihan militer" yang dilakukan di perbatasan Ukraina telah selesai. Akan tetapi kondisi kembali memburuk karena NATO dan AS tidak melihat adanya pengurangan pasukan yang signifikan, malah sebaliknya. Terbaru Presiden Amerika Serikat (AS) meyakini bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin telah membuat keputusan untuk menginvasi Ukraina.
Dari AS, risalah pertemuan tanggal 25-26 Januari menyebutkan Pejabat The Fed sepakat "jika inflasi tidak turun seperti yang mereka harapkan, akan tepat bagi komite untuk menghapus akomodasi kebijakan lebih cepat daripada yang mereka antisipasi saat ini."
Ketika The Fed menaikkan suku bunga antara tahun 2015 dan 2018, hal tersebut dilakukan secara bertahap-dan tidak pernah lebih dari sekali setiap kuartal. Jika kenaikan suku bunga dilakukan setiap pertemuan The Fed - kira-kira enam minggu sekali - ini merupakan kenaikan paling agresif sejak tahun 2006.
Risalah juga menunjukkan para pejabat melanjutkan pertimbangan mereka tentang seberapa agresif kebijakan untuk mengecilkan portofolio aset US$ 9 triliun mereka, tetapi tidak memberikan banyak petunjuk baru tentang bagaimana hal itu mungkin terjadi akhir tahun ini. Langkah tersebut merupakan cara lain bagi The Fed untuk memperketat kondisi keuangan guna mendinginkan perekonomian.
Kasus Covid juga masih sangat tinggi, yang mana pekan ini terdapat penambahan setidaknya 40 ribu kasus setiap harinya. Bahkan pada hari Rabu (16/2) sempat menyentuh rekor kasus harian tertinggi di angka 64.718 kasus baru.
Meski kondisi eksternal tidak mendukung, tetapi kabar baik datang dari dalam negeri. Bank Indonesia (BI) melaporkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatat surplus di tahun 2021 begitu juga dengan transaksi berjalan (current account) yang sebelumnya selalu defisit dalam satu dekade terakhir.
"Perkembangan NPI secara keseluruhan tahun 2021 mencatat surplus tinggi, sehingga ketahanan sektor eksternal tetap terjaga. Surplus NPI tahun 2021 tercatat sebesar 13,5 miliar dolar AS, jauh meningkat dibandingkan capaian surplus pada tahun sebelumnya sebesar 2,6 miliar dolar AS," tulis BI dalam keterangan resminya, Jumat (18/2).
Pos transaksi berjalan mencatat surplus US$ 3,3 miliar atau 0,3% dari produk domestik bruto (PDB) sepanjang 2021. Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.
Jika dilihat secara kuartalan, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 1,4 milar (0,4% dari PDB) di kuartal IV-2021, lebih dari dari kuartal sebelumnya US$ 5 miliar (1,7% dari PDB) di tiga bulan sebelumnya.
Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil ketimbang pos NPI lainnya, yakni Transaksi Modal dan Finansial.
Surplus transaksi berjalan bisa membuat pergerakan rupiah lebih stabil, yang tentunya berdampak bagus bagi perekonomian Indonesia.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000