
Sentimen Serba Netral, Harga Emas Stabil di US$1.301/Oz
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
07 June 2018 12:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas COMEX kontrak pengiriman Agustus 2018 bergerak stagnan cenderung melemah sebesar 0,02% ke US$1.301,1/troy ounce, hingga pukul 11.30 WIB hari ini. Sentimen yang ada memang cenderung netral, di mana melemahnya dolar AS saat ini mampu dikompensasi oleh ekspektasi kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed.
Sementara itu, perkembangan perang dagang juga cenderung netral. Di satu sisi, ada harapan perdamaian antara AS-China, tapi di sisi lain tensi perdagangan antara AS dan Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko masih cenderung panas.
Dengan pergerakan tersebut, harga emas masih bergerak dalam tren mendatar, pasca pada perdagangan kemarin juga ditutup melemah tipis sebesar 0,03%.
Indeks dolar AS yang mengukur posisi greenback terhadap 6 mata uang dunia, sebenarnya bergerak melemah sebesar 0,18% pada pagi ini.
Pelemahan mata uang Negeri Paman Sam dipicu oleh euro yang menguat tajam menyusul rencana Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) untuk mengurangi kadar stimulus moneternya. Michael Praet, Kepala Ekonom ECB, menyatakan perkembangan inflasi di Benua Biru mungkin sudah memungkinkan bagi ECB untuk mulai mengurangi dosis stimulus alias tapering off.
Inflasi di zona euro melompat ke 1,9% pada Mei dibandingkan 1,2% bulan sebelumnya. Kemudian, angka pengangguran juga turun dari 8,6% menjadi 8,5%, yang merupakan level terendah dalam sembilan tahun.
Meski demikian, pelemahan dolar yang seharusnya dapat mendongkrak permintaan sang logam mulia dinetralkan oleh persepsi bahwa The Federal Reserve/The Fed kemungkinan akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Bisa saja The Fed menaikkan suku bunga empat kali sepanjang 2018, bukan tiga kali seperti yang sudah diperkirakan.
Hal ini terlihat dari kenaikan ekspektasi inflasi yang disebabkan oleh data-data ekonomi AS yang positif. Terakhir, Institute of Supply Management (ISM) melaporkan indeks Non-Manufacturing Employment periode Mei tercatat di 54,1, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 53,6. Sementara Non-Manufacturing Paid Index juga naik ke 64,3 dari sebelumnya 61,8.
Kemudian, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan permintaan tenaga kerja pada April mencapai 6,7 juta, naik 65.000 dibandingkan bulan sebelumnya. Angka permintaan tenaga kerja ini merupakan yang tertinggi sejak Desember 2000.
Ada satu lagi, yaitu neraca perdagangan AS yang membaik. Pada April, neraca perdagangan AS mencatat defisit US$ 46,2 miliar. Ini lebih baik dibandingkan ekspektasi pasar yaitu minus US$ 49 miliar. Juga lebih baik dibandingkan neraca perdagangan Maret, yang membukukan defisit US$ 47,2 miliar.
Pemulihan ekonomi AS kian yang kian nyata ini mendorong ISM memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2018 bisa mencapai 4,8%. Melonjak dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,2%.
Laju pertumbuhan ekonomi yang kencang akan menciptakan efek inflatoir. Untuk meredam inflasi, obat paling mujarab adalah menaikkan suku bunga. Persepsi ini timbul-tenggelam di Negeri Adidaya, dan kebetulan sekarang sedang timbul lagi.
Sebagai informasi, The Fed akan menggelar rapat untuk menentukan suku bunga acuan pada 13 Juni alias pekan depan. Mengutip CME Fedwatch hari ini, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dalam pertemuan tersebut mencapai 93,8%.
Sementara itu, perkembangan perang dagang juga cenderung netral. Friksi perdagangan AS-China mulai mereda. China dikabarkan telah menawarkan tambahan pembelian barang-barang asal AS senilai hampir US$ 70 miliar pada tahun depan, jika AS membatalkan bea masuk bagi produk-produk asal Negeri Panda.
AS pun bergerak cepat dalam membebaskan ZTE dari sanksi. Reuters melaporkan bahwa ZTE telah menandatangani kesepakatan awal yang bisa mencabut larangan untuk membeli komponen-komponen asal pabrikan AS.
Selain itu, Presiden Trump dikabarkan telah bertemu dengan penasihat perdagangan Gedung Putih untuk membahas penawaran China yang ingin lebih banyak mengimpor produk Negeri Paman Sam. Meski belum ada jawaban resmi dari Gedung Putih, tetapi kabar bahwa Trump mulai mempertimbangkan tawaran dari China sudah cukup untuk memantik optimisme.
Investor berharap hubungan AS-China membaik sehingga mendukung pemulihan arus perdagangan dan pemulihan ekonomi global. Sentimen yang sejatinya akan mengurangi permintaan emas sebagai instrumen safe haven pun lagi-lagi dinetralkan oleh masih panasnya tensi perdagangan AS dan sekutu-sekutu utamanya.
Pekan lalu, pemerintahan Donald Trump menetapkan tarif impor alumunium pada Kanada, Uni Eropa, dan Meksiko. Tidak hanya kritikan, ketiga negara yang sebenarnya merupakan sekutu AS tersebut lantas sudah menyiapkan aksi balasan terhadap manuver Negeri Paman Sam, dengan menerapkan bea masuk terhadap sejumlah produk ekspor AS.
"AS bisa dibilang sendirian melawan dunia, bahkan melawan sekutu mereka sendiri," tegas Bruno La Maire, Menteri Keuangan Prancis, seperti dikutip dari Reuters, beberapa waktu lalu.
Tidak cukup sampai di situ, Trump kali ini dikabarkan berniat untuk menggantikan skema Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) dengan kesepakatan bilateral. "Presiden tengah mencari jalan terbaik untuk mendapatkan keuntungan terbesar bagi AS. Apakah itu melalui NAFTA atau jalan lain, pilihan-pilihan itu ada," kata Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih, seperti dikutip dari Reuters.
Namun upaya membuat kesepakatan bilateral sepertinya tidak akan mulus karena Meksiko dan Kanada secara terang-terangan menolak ide Trump tersebut. "Saya masih percaya dengan NAFTA. Kami akan terus bekerja dan melindungi kepentingan Kanada," tegas Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada.
Respon negara tetangga AS tersebut lantas memberikan sentimen negosiasi NAFTA yang akan semakin berlarut-larut, dan malah semakin memperkuat risiko terjadinya perang tarif perdagangan.
Pelaku pasar akan mewaspadai perkembangan isu perdagangan ini, yang kemungkinan besar akan diangkat saat Trump akan bertemu sejumlah pemimpin negara-negara anggota G7 (termasuk Uni Eropa dan Kanada), pada pertemuan G7 ke-44 yang akan diselenggarakan di Quebec, Kanada pada 8-9 Juni 2018 mendatang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/roy) Next Article Dolar AS Melunak, Harga Emas Naik Tipis
Sementara itu, perkembangan perang dagang juga cenderung netral. Di satu sisi, ada harapan perdamaian antara AS-China, tapi di sisi lain tensi perdagangan antara AS dan Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko masih cenderung panas.
Dengan pergerakan tersebut, harga emas masih bergerak dalam tren mendatar, pasca pada perdagangan kemarin juga ditutup melemah tipis sebesar 0,03%.
![]() |
Indeks dolar AS yang mengukur posisi greenback terhadap 6 mata uang dunia, sebenarnya bergerak melemah sebesar 0,18% pada pagi ini.
Pelemahan mata uang Negeri Paman Sam dipicu oleh euro yang menguat tajam menyusul rencana Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) untuk mengurangi kadar stimulus moneternya. Michael Praet, Kepala Ekonom ECB, menyatakan perkembangan inflasi di Benua Biru mungkin sudah memungkinkan bagi ECB untuk mulai mengurangi dosis stimulus alias tapering off.
Inflasi di zona euro melompat ke 1,9% pada Mei dibandingkan 1,2% bulan sebelumnya. Kemudian, angka pengangguran juga turun dari 8,6% menjadi 8,5%, yang merupakan level terendah dalam sembilan tahun.
Meski demikian, pelemahan dolar yang seharusnya dapat mendongkrak permintaan sang logam mulia dinetralkan oleh persepsi bahwa The Federal Reserve/The Fed kemungkinan akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Bisa saja The Fed menaikkan suku bunga empat kali sepanjang 2018, bukan tiga kali seperti yang sudah diperkirakan.
Hal ini terlihat dari kenaikan ekspektasi inflasi yang disebabkan oleh data-data ekonomi AS yang positif. Terakhir, Institute of Supply Management (ISM) melaporkan indeks Non-Manufacturing Employment periode Mei tercatat di 54,1, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 53,6. Sementara Non-Manufacturing Paid Index juga naik ke 64,3 dari sebelumnya 61,8.
Kemudian, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan permintaan tenaga kerja pada April mencapai 6,7 juta, naik 65.000 dibandingkan bulan sebelumnya. Angka permintaan tenaga kerja ini merupakan yang tertinggi sejak Desember 2000.
Ada satu lagi, yaitu neraca perdagangan AS yang membaik. Pada April, neraca perdagangan AS mencatat defisit US$ 46,2 miliar. Ini lebih baik dibandingkan ekspektasi pasar yaitu minus US$ 49 miliar. Juga lebih baik dibandingkan neraca perdagangan Maret, yang membukukan defisit US$ 47,2 miliar.
Pemulihan ekonomi AS kian yang kian nyata ini mendorong ISM memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2018 bisa mencapai 4,8%. Melonjak dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,2%.
Laju pertumbuhan ekonomi yang kencang akan menciptakan efek inflatoir. Untuk meredam inflasi, obat paling mujarab adalah menaikkan suku bunga. Persepsi ini timbul-tenggelam di Negeri Adidaya, dan kebetulan sekarang sedang timbul lagi.
Sebagai informasi, The Fed akan menggelar rapat untuk menentukan suku bunga acuan pada 13 Juni alias pekan depan. Mengutip CME Fedwatch hari ini, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dalam pertemuan tersebut mencapai 93,8%.
Sementara itu, perkembangan perang dagang juga cenderung netral. Friksi perdagangan AS-China mulai mereda. China dikabarkan telah menawarkan tambahan pembelian barang-barang asal AS senilai hampir US$ 70 miliar pada tahun depan, jika AS membatalkan bea masuk bagi produk-produk asal Negeri Panda.
AS pun bergerak cepat dalam membebaskan ZTE dari sanksi. Reuters melaporkan bahwa ZTE telah menandatangani kesepakatan awal yang bisa mencabut larangan untuk membeli komponen-komponen asal pabrikan AS.
Selain itu, Presiden Trump dikabarkan telah bertemu dengan penasihat perdagangan Gedung Putih untuk membahas penawaran China yang ingin lebih banyak mengimpor produk Negeri Paman Sam. Meski belum ada jawaban resmi dari Gedung Putih, tetapi kabar bahwa Trump mulai mempertimbangkan tawaran dari China sudah cukup untuk memantik optimisme.
Investor berharap hubungan AS-China membaik sehingga mendukung pemulihan arus perdagangan dan pemulihan ekonomi global. Sentimen yang sejatinya akan mengurangi permintaan emas sebagai instrumen safe haven pun lagi-lagi dinetralkan oleh masih panasnya tensi perdagangan AS dan sekutu-sekutu utamanya.
Pekan lalu, pemerintahan Donald Trump menetapkan tarif impor alumunium pada Kanada, Uni Eropa, dan Meksiko. Tidak hanya kritikan, ketiga negara yang sebenarnya merupakan sekutu AS tersebut lantas sudah menyiapkan aksi balasan terhadap manuver Negeri Paman Sam, dengan menerapkan bea masuk terhadap sejumlah produk ekspor AS.
"AS bisa dibilang sendirian melawan dunia, bahkan melawan sekutu mereka sendiri," tegas Bruno La Maire, Menteri Keuangan Prancis, seperti dikutip dari Reuters, beberapa waktu lalu.
Tidak cukup sampai di situ, Trump kali ini dikabarkan berniat untuk menggantikan skema Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) dengan kesepakatan bilateral. "Presiden tengah mencari jalan terbaik untuk mendapatkan keuntungan terbesar bagi AS. Apakah itu melalui NAFTA atau jalan lain, pilihan-pilihan itu ada," kata Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih, seperti dikutip dari Reuters.
Namun upaya membuat kesepakatan bilateral sepertinya tidak akan mulus karena Meksiko dan Kanada secara terang-terangan menolak ide Trump tersebut. "Saya masih percaya dengan NAFTA. Kami akan terus bekerja dan melindungi kepentingan Kanada," tegas Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada.
Respon negara tetangga AS tersebut lantas memberikan sentimen negosiasi NAFTA yang akan semakin berlarut-larut, dan malah semakin memperkuat risiko terjadinya perang tarif perdagangan.
Pelaku pasar akan mewaspadai perkembangan isu perdagangan ini, yang kemungkinan besar akan diangkat saat Trump akan bertemu sejumlah pemimpin negara-negara anggota G7 (termasuk Uni Eropa dan Kanada), pada pertemuan G7 ke-44 yang akan diselenggarakan di Quebec, Kanada pada 8-9 Juni 2018 mendatang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/roy) Next Article Dolar AS Melunak, Harga Emas Naik Tipis
Most Popular