Harga Emas Menuju Pelemahan 4 Hari Berturut-turut

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
05 June 2018 11:37
Sentimen harga sang logam mulia datang dari ekspektasi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) lebih agresif, dan meredanya kisruh politik di Italia.
Foto: Dok ANTAM
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga emas COMEX kontrak pengiriman Agustus 2018 bergerak melemah sebesar 0,12% ke US$1.295,80/troy ounce, hingga pukul 10.45 WIB hari ini. Sentimen negatif bagi pergerakan harga sang logam mulia datang dari ekspektasi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) yang lebih agresif, serta meredanya kisruh politik di Italia.

Dengan capaian tersebut, harga emas menuju pelemahan selama 4 hari berturut-turut. Sebagai informasi, di sepanjang pekan lalu harga emas sudah ditutup melemah sebesar 0,68%, dan dipaksa meninggalkan level US$1.300/troy ounce.

Harga Emas Menuju Pelemahan 4 Hari Berturut-turutFoto: CNBC Indonesia/Raditya Hanung


Indeks dolar AS yang mengukur posisi greenback terhadap 6 mata uang dunia, mampu menguat sebesar 0,05% pada pagi ini. Seperti diketahui, aset berdenominasi dolar AS seperti emas akan sensitif terhadap pergerakan mata uang tersebut. Terapresiasinya dolar AS akan membuat emas relatif lebih mahal untuk pemegang mata uang asing selain dolar AS.

Penguatan mata uang Negeri Paman Sam dipicu oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Saat ini, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 2,9387%. Naik tipis dibandingkan kemarin yang sebesar 2,937%.

Kenaikan yield merupakan salah satu pertanda ekspektasi inflasi. Ada kekhawatiran inflasi di Negeri Paman Sam naik karena perang dagang.

Akibat aksi saling balas menaikkan bea masuk antara AS dan negara-negara lain, harga barang impor menjadi lebih mahal. Alih-alih melindungi produksi dalam negeri, pengusaha justru tertekan karena kenaikan harga bahan baku seperti baja. Mereka pun terpaksa mentransmisikan kenaikan biaya produksi menjadi kenaikan harga di tingkat konsumen.

Hal ini sudah tercermin dalam rilis data pemesanan pabrik manufaktur pada April turun 0,8% secara month-to-month (MtM). Jauh memburuk dibandingkan Maret yang naik 1,7%. Data April juga lebih rendah dari konsensus yang memperkirakan penurunan 0,5%.

Penyebab penurunan ini adalah pemesanan untuk alat-alat transportasi dan mesin. Pemesanan alat transportasi turun 6% sementara untuk mesin turun 0,7%. 

Pelaku industri mengeluhkan kebijakan Presiden Trump yang mengenakan bea masuk untuk baja yang membuat harga bahan baku semakin mahal. Kebijakan ini seolah menutup pemotongan tarif pajak penghasilan badan dari 35% menjadi 21%.

Percepatan laju inflasi (lagi-lagi) memunculkan persepsi bahwa The Federal Reserve/The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Bukan tidak mungkin The Fed akan menaikkan suku bunga empat kali sepanjang tahun ini, lebih dari yang diperkirakan yaitu tiga kali.

Terlebih, data ekonomi AS juga juga solid. Sepanjang Mei 2018, perekonomian AS menciptakan 223.000 lapangan kerja, naik signifikan 40,25% dibandingkan bulan sebelumnya dan 43,87% dari periode yang sama pada 2017. Alhasil, angka pengangguran AS Bulan Mei 2018 tercatat 3,8% atau terendah dalam 18 tahun terakhir.

Kemudian, meredanya ketegangan politik di Italia setelah Giuseppe Conte dilantik sebagai Perdana Menteri membuat pelaku pasar lega. Setidaknya ketidakpastian politik di Italia sudah selesai. Hal ini menjadi salah satu alasan kembali menguatnya risk appetite investor. Instrumen safe haven seperti emas dan Jepang Yen pun ditinggalkan.

Sebagai informasi, Jepang Yen pun tercatat melemah sebesar 0,06% terhadap dolar AS, hingga pukul 11.18 WIB hari ini.

Meski demikian, pelemahan harga sang logam mulia masih terbatas oleh beberapa sentimen positif.

Pertama, perkembangan proses negosiasi perdagangan AS-China nampaknya tidak cukup memuaskan. Pertemuan antara Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross di Beijing yang selesai pada hari Minggu (04/06/2018) belum menelurkan hasil yang signifikan.

Seusai pertemuan tersebut, Negeri Tirai Bambu malah memperingatkan AS bahwa kesepakatan perdagangan dan bisnis yang telah dicapai antara kedua negara sejauh ini, dapat menjadi tidak berlaku, apabila Washington tetap mengimplementasikan tarif dan biaya perdagangan lainnya, seperti dikutip dari Reuters.

Frase "kesepakatan perdagangan dan bisnis" yang disinggung oleh pemerintah China tersebut nampaknya mengacu pada konsensus yang dicapai kedua negara pada bulan lalu di AS, di mana China setuju untuk meningkatkan pembelian barang dan jasa dari AS secara signifikan.

Kedua, Italia memang sudah memiliki pemerintahan baru sehingga kemungkinan pemilu ulang bisa terhindarkan. Namun pemerintahan ini berhaluan sayap kanan (ultra nasionalis) yang ingin menerapkan kebijakan populis seperti pemotongan tarif pajak dan kenaikan belanja subsidi. Pemerintahan ini juga agak berseberangan dengan Uni Eropa sehingga peluang Roma bercerai dari Brussels masih terbuka.

Ketiga, keputusan AS yang tetap menerapkan bea masuk untuk impor baja dan aluminium terhadap Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa, memantik aksi balas dendam.

Kanada memutuskan untuk balik mengenakan bea masuk bagi produk-produk AS seperti whiski, jus jeruk, baja, aluminium, dan sebagainya. Sementara Meksiko juga menerapkan bea masuk untuk daging babi, apel, anggur, keju, dan sebagainya yang berasal dari sang tetangga.

"AS bisa dibilang sendirian melawan dunia, bahkan melawan sekutu mereka sendiri," tegas Bruno La Maire, Menteri Keuangan Prancis, seperti dikutip dari Reuters.

Pelaku pasar akan mewaspadai perkembangan isu ini, yang kemungkinan besar akan diangkat saat Trump bertemu sejumlah pemimpin negara-negara anggota G7 (termasuk Kanada dan Uni Eropa), pada pertemuan G7 ke-44 yang akan diselenggarakan di Quebec, Kanada pada 8-9 Juni 2018. 


(hps) Next Article Dolar AS Melunak, Harga Emas Naik Tipis

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular