Pasar Obligasi Selama Mei Bergerak Bak Roller Coaster

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 June 2018 11:02
Pasar Obligasi Selama Mei Bergerak Bak Roller Coaster
Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jakarta, CNBC Indonesia - Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia selama Mei cenderung bergerak naik. Namun jelang akhir Mei, yield Surat Berharga Negara (SBN) turun cukup drastis. Pergerakan yield SBN sepanjang Mei memang layaknya wahana roller coaster, naik-turun berlangsung dengan cepat dan tajam. 

Pada akhir April, yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun berada di 6,906%. Sementara pada ahir Mei posisinya ada di 7,06%. 

Menengok Perjalanan Obligasi Selama MeiReuters

Sebenarnya tidak heran pasar SBN tertekan selama Mei. Pasalnya, investor asing masih cenderung keluar dari SBN. Nilai jual investor asing di SBN sepanjang Mei mencapai lebih dari Rp 16 triliun. Situasi ini baru berbalik jelang akhir bulan, sehingga tidak banyak membantu.

Menengok Perjalanan Obligasi Selama MeiDJPPR Kemenkeu
Pada awal Mei, yield SBN bergerak naik karena investor kala itu tengah menantikan pengumumkan suku bunga acuan Federal Funds Rate. Pelaku pasar memperkirakan The Federal Reserve/The Fed masih akan menahan suku bunga acuan di 1,5-1,75%. 

Perkiraan itu terwujud, The Fed benar-benar menahan suku bunga acuan. Namun, pelaku pasar menilai potensi kenaikan pada Juni sangat besar mengingat inflasi Amerika Serikat (AS) yang terakselerasi. 

The Fed juga menyebutkan bahwa inflasi sudah mendekati sasaran. Personal Consumption Expenditure(PCE), yang menjadi indikator The Fed untuk mengukur tingkat inflasi, sudah mencapai target 2%. Untuk core PCE sudah mendekati 2%, tepatnya 1,9%. 

Selain itu, kenaikan yield juga didorong oleh situasi Timur Tengah yang kurang kondusif. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memutuskan untuk menarik diri dari perjanjian nuklir dengan Iran. Trump juga menegaskan Washington akan menjatuhkan sanksi ekonomi terberat bagi Teheran. 

Ketika sanksi dijatuhkan, maka Iran akan sulit menjual minyaknya. Padahal, produksi minyak Iran cukup besar yaitu mencapai 3,8 juta barel/hari yang 2,5 juta barel/hari dialokasikan untuk pasar ekspor. China, India, Jepang, dan Korea Selatan adalah beberapa negara yang banyak membeli minyak dari Iran. 

Terputusnya pasokan minyak dari Iran akan menyebabkan harga naik. Ke depan, harga si emas hitam akan semakin terkerek ke atas kala sanksi terhadap Iran sudah diterapkan. 

Kenaikan harga minyak dunia artinya akan ada tekanan inflasi. Ini kembali memunculkan persepsi bahwaThe Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan untuk menjangkar ekspektasi inflasi. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Namun pada pertengahan Mei, yield obligasi turun. Penyebabnya adalah pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI) saat itu, Agus DW Martowardojo, mengenai ruang kenaikan suku bunga acuan yang cukup besar. 

Menurut pandangan BI, melemahnya nilai tukar rupiah dalam beberapa pekan terakhir sudah tidak lagi sejalan dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia. Terkait hal tersebut, dan melihat masih besarnya potensi tantangan dari kondisi global yang dapat berpotensi menganggu kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah panjang, BI akan secara tegas dan konsisten mengarahkan dan memprioritaskan kebijakan moneter pada terciptanya stabilitas.  

"Dengan mempertimbangkan hal tersebut, BI memiliki ruang yang cukup besar untuk menyesuaikan suku bunga kebijakan. Respons kebijakan tersebut akan dijalankan secara konsisten dan pre-emptive untuk memastikan keberlangsungan stabilitas," tegas Agus. 

Setelah pernyataan tersebut keluar, pasar SBN mengalami reli. Akhirnya BI benar-benar menaikkan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate pada 17 Mei. Akan tetapi, yield SBN justru naik setelah pengumuman kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke 4,5% tersebut.

Saat itu, sentimen suku bunga kalah dari situasi global yang memang sedang panas. Korea Utara mengancam membatalkan pertemuan dengan AS karena menuding latihan militer gabungan Negeri Paman Sam dan Korea Selatan sebagai bentuk provokasi. Aura perdamaian di Semenanjung Korea sempat memudar dan menjadi kekhawatiran investor global. 

Tidak hanya itu, investor juga menantikan rilis ikhtisar rapat (minutes of meeting) The Fed edisi Mei. Investor akan meneliti kata demi kata yang keluar dari para petinggi The Fed, dan mencari petunjuk arah kebijakan moneter ke depan. Pelaku pasar akan melihat semua petunjuk yang mengarah kepada pengetatan moneter. 

Puncak kenaikan yield SBN terjadi pada 24 Mei, yang mencapai 7,605%. Saat itu, dana asing memang tersedot ke AS karena kebutuhan pembiayaan defisit anggaran yang membengkak. Badan Anggaran Kongres AS (Congressional Budget Office/CBO) memperkirakan defisit anggaran AS pada semester I-2018 mencapai US$ 598 miliar (Rp 8.372 triliun). Naik 13,04% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

CBO juga memperkirakan defisit anggaran AS melampaui US$ 1 triliun (Rp 14.000 triliun) pada 2020. Lebih awal dua tahun dibandingkan perkiraan awal.  

TIM RISET CNBC INDONESIA


Namun jelang akhir Mei, yield SBN mulai turun drastis. Pada 28 Mei, yield SBN 10 tahun berada di 7,174%. Padahal sebelumnya masih berada di 7,545%. 

Penyebabnya adalah respons pasar terhadap rencana BI untuk menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan pada 30 Mei. Ini merupakan RDG pertama yang dipimpin oleh Gubernur BI yang baru, Perry Warjiyo. 

"Kami kalau melakukan respons cepat. We want to be ahead the curve," tegas Perry kala itu. 

Pasar pun berekspektasi BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan, karena kenaikan yang pertama harus diakui kurang nendang. Akibatnya, investor pun memborong aset-aset berbasis rupiah, termasuk SBN. 

Akhirnya BI benar-benar menaikkan suku bunga acuan pada 30 Mei menjadi 4,75%. Kali ini respons pasar cukup positif, karena terbukti mampu menurunkan yield SBN lebih lanjut. Bahkan kenaikan suku bunga mampu meredam sentimen negatif dari eksternal, seperti kisruh politik di Italia.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular