
Terus Turun, Harga Minyak Sentuh Titik Terendah Dalam 7 Pekan
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
28 May 2018 10:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak masih tertekan hebat seiring 3 produsen utama dunia yakni Rusia, Amerika Serikat (AS), dan Arab Saudi, siap meningkatkan produksi minyak mentahnya. Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Juli 2018 terkoreksi 2,2% ke level US$74,76/barel hingga pukul 9.30 WIB pagi ini, sementara harga minyak light sweet kontrak pengiriman Juli 2018 malah terkoreksi lebih parah sebesar 2,64% ke US$66,09/barel.
Dengan pergerakan ini, harga minyak dunia melanjutkan pelemahannya setelah pada akhir pekan lalu ditutup turun signifikan. Secara mingguan, brent dan light sweet melemah masing-masing sebesar 2,64% dan 4,77% di sepanjang pekan lalu. Bahkan, lightsweet yang menjadi acuan di AS sudah menyentuh titik terendah sejak 10 April 2018.
Seperti diketahui, sebelumnya Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dipimpin oleh Arab Saudi, dan negara produsen non-OPEC yang dimotori Rusia, sepakat melakukan pembatasan produksi sejak awal 2017 lalu, dalam rangka mengerek harga sang emas hitam yang anjlok hingga di bawah US$30/barel pada tahun 2016.
Lebih lanjut, dalam kesepakatan awal tahun ini, OPEC dan Rusia setuju untuk melanjutkan pemotongan produksi sebesar 1,8 juta bph hingga akhir tahun. Harga minyak pun kembali melambung hingga menembus US$80/barel pada awal Mei lalu.
Namun, kini arah angin mulai berhembus ke arah lain. Pada hari Jumat (25/5/2018), Menteri Energi Rusia Alexander Novak bertemu dengan Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al-Falih di St. Petesburg, dalam rangka membahas rencana mengakhiri kesepakatan itu secara bertahap. Tujuannya adalah untuk mengompensasi jatuhnya produksi di Venezuela serta potensi disrupsi ekspor minyak dari Iran.
Kedua Menteri tersebut merencanakan peningkatan pasokan sebesar 1 juta barel bph untuk mendinginkan harga minyak yang melambung. Pasalnya, Al-Falih secara khusus menyampaikan kekhawatirannya terkait dampak harga minyak yang melebihi tingkat US$80/barel terhadap negara konsumen seperti China dan India, seperti dikutip dari Reuters. Tingginya harga minyak diyakini akan menganggu pertumbuhan ekonomi dan menyulut inflasi.
Kekhawatiran tentang semakin ketatnya pasokan global memang menjadi energi positif untuk penguatan minyak dalam beberapa waktu terakhir. Venezuela tengah menghadapi krisis ekonomi-sosial-politik yang terbukti telah berdampak kepada produksi minyak.
Selain itu, Caracas juga berada di ambang pengenaan sanksi ekonomi setelah kembali terpilihnya Presiden Nicolas Maduro untuk masa jabatan 6 tahun ke depan. Maduro memang dianggap ancaman oleh negara-negara barat.
Seperti halnya Venezuela, Iran juga kemungkinan akan dikenai sanksi oleh AS atas tuduhan pengayaan uranium. Ini karena AS di bawah pimpinan presiden Donald Trump menyatakan keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran yang dibuat pada masa pemerintahan Barack Obama 3 tahun silam.
Sebagai tambahan, sentimen lainnya yang memperparah kejatuhan harga minyak juga datang dari Baker Hughes yang melaporkan bertambahnya sumur pengeboran minyak AS sejumlah 15 unit dalam sepekan terakhir. Hal ini lantas menambah jumlah sumur aktif di Negeri Paman Sam menjadi 859, yang merupakan level tertingginya sejak Maret 2015.
Jumlah sumur aktif yang meningkat tersebut menjadi indikasi masih kuatnya produksi minyak mentah AS ke depannya. Saat ini produksi minyak mentah mingguan AS masih tercatat amat perkasa dengan berada di angka 10,725 juta bph, atau kembali mencatatkan rekor sepanjang sejarah negeri adidaya tersebut.
Catatan ini lantas hanya terlampau sedikit saja dari Rusia yang menyandang status sebagai produsen minyak terbesar dunia. Negara yang bakal menjadi tuan rumah di Piala Dunia 2018 itu tercatat memproduksi minyak mentah dalam kisaran 11 juta bph.
(RHG/RHG) Next Article Sedikit Lagi Harga Minyak Tembus US$80/barel
Dengan pergerakan ini, harga minyak dunia melanjutkan pelemahannya setelah pada akhir pekan lalu ditutup turun signifikan. Secara mingguan, brent dan light sweet melemah masing-masing sebesar 2,64% dan 4,77% di sepanjang pekan lalu. Bahkan, lightsweet yang menjadi acuan di AS sudah menyentuh titik terendah sejak 10 April 2018.
![]() |
Seperti diketahui, sebelumnya Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dipimpin oleh Arab Saudi, dan negara produsen non-OPEC yang dimotori Rusia, sepakat melakukan pembatasan produksi sejak awal 2017 lalu, dalam rangka mengerek harga sang emas hitam yang anjlok hingga di bawah US$30/barel pada tahun 2016.
Namun, kini arah angin mulai berhembus ke arah lain. Pada hari Jumat (25/5/2018), Menteri Energi Rusia Alexander Novak bertemu dengan Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al-Falih di St. Petesburg, dalam rangka membahas rencana mengakhiri kesepakatan itu secara bertahap. Tujuannya adalah untuk mengompensasi jatuhnya produksi di Venezuela serta potensi disrupsi ekspor minyak dari Iran.
Kedua Menteri tersebut merencanakan peningkatan pasokan sebesar 1 juta barel bph untuk mendinginkan harga minyak yang melambung. Pasalnya, Al-Falih secara khusus menyampaikan kekhawatirannya terkait dampak harga minyak yang melebihi tingkat US$80/barel terhadap negara konsumen seperti China dan India, seperti dikutip dari Reuters. Tingginya harga minyak diyakini akan menganggu pertumbuhan ekonomi dan menyulut inflasi.
Kekhawatiran tentang semakin ketatnya pasokan global memang menjadi energi positif untuk penguatan minyak dalam beberapa waktu terakhir. Venezuela tengah menghadapi krisis ekonomi-sosial-politik yang terbukti telah berdampak kepada produksi minyak.
Selain itu, Caracas juga berada di ambang pengenaan sanksi ekonomi setelah kembali terpilihnya Presiden Nicolas Maduro untuk masa jabatan 6 tahun ke depan. Maduro memang dianggap ancaman oleh negara-negara barat.
Seperti halnya Venezuela, Iran juga kemungkinan akan dikenai sanksi oleh AS atas tuduhan pengayaan uranium. Ini karena AS di bawah pimpinan presiden Donald Trump menyatakan keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran yang dibuat pada masa pemerintahan Barack Obama 3 tahun silam.
Sebagai tambahan, sentimen lainnya yang memperparah kejatuhan harga minyak juga datang dari Baker Hughes yang melaporkan bertambahnya sumur pengeboran minyak AS sejumlah 15 unit dalam sepekan terakhir. Hal ini lantas menambah jumlah sumur aktif di Negeri Paman Sam menjadi 859, yang merupakan level tertingginya sejak Maret 2015.
Jumlah sumur aktif yang meningkat tersebut menjadi indikasi masih kuatnya produksi minyak mentah AS ke depannya. Saat ini produksi minyak mentah mingguan AS masih tercatat amat perkasa dengan berada di angka 10,725 juta bph, atau kembali mencatatkan rekor sepanjang sejarah negeri adidaya tersebut.
Catatan ini lantas hanya terlampau sedikit saja dari Rusia yang menyandang status sebagai produsen minyak terbesar dunia. Negara yang bakal menjadi tuan rumah di Piala Dunia 2018 itu tercatat memproduksi minyak mentah dalam kisaran 11 juta bph.
(RHG/RHG) Next Article Sedikit Lagi Harga Minyak Tembus US$80/barel
Most Popular