
Cadangan Minyak AS Naik, Harga Minyak Jauhi US$ 80/barel
16 May 2018 10:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak bergerak melemah pagi ini, didorong oleh estimasi meningkatnya cadangan minyak mentah Amerika Serikat (AS). Hingga pukul 09.28 WIB hari ini, harga minyak jenis light sweet untuk kontrak pengiriman Juni 2018 melemah hingga 0,38% ke US$71,04/barel, sementara brent untuk kontrak pengiriman Juli 2018 terkoreksi 0,36% ke US$78,15/barel.
Meski demikian, sejatinya harga minyak masih diselimuti aura positif dari sentimen pasokan minyak global yang semakin ketat, ditambah kesepakatakan AS untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran. Kemarin, brent sempat menguat sekitar 1% hingga nyaris menyentuh US$80/barel, sebelum akhirnya bergerak turun dan hanya ditutup menguat di kisaran 0,5% ke US$78,43/barel.
Kemarin, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak melaporkan bahwa cadangan minyak di negara-negara maju OECD pada bulan Maret 2018 turun sebesar 12,7 juta barel secara month-to-month (MtM) ke 2,83 miliar barel, atau lebih rendah 204 juta barel secara year-on-year (YoY)
Hal ini nampaknya merupakan buah dari kuatnya komitmen OPEC dan negara non-OPEC (dipimpin Rusia) dalam menjalankan kesepakatan pemangkasan produksinya sejak Januari 2017 lalu, demi mengurangi kelebihan pasokan yang menyebabkan hancurnya harga minyak.
Ikhtiar pemangkasan produksi tersebut memang tercatat sukses mengerek harga minyak dunia, di mana saat ini harga brent tercatat sudah menguat nyaris 40% sejak awal 2017 lalu.
Sentimen ketatnya pasokan global justru bertambah kuat pasca Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran, dan dipastikan akan memulihkan sanksi bagi Negeri Persia.
Sebagai informasi, Iran mengekspor minyak sebanyak 450.000 barel/hari ke Eropa dan 1,8 juta barel/hari ke Asia. Dengan sanksi ekonomi, dunia akan kehilangan potensi tersebut, dan berujung pada kenaikan harga sang emas hitam.
Tidak hanya sampai situ, mundurnya Negeri Paman Sam dari kesepakatan nuklir yang dibuat pada 2015 tersebut, ternyata berbuntut panjang. Tensi geopolitik di Timur Tengah kini mulai mengarah ke konflik bersenjata.
Setelah pengumuman Trump, Israel (yang merupakan sekutu utama AS) menyerang pasukan Iran yang membantu pemerintah Suriah memerangi pemberontak dan ISIS. Negeri Zionis berdalih bahwa serangan tersebut diluncurkan sebagai balasan serangan misil kubu Suriah ke Dataran Tinggi Golan.
Panasnya tensi di Gaza juga cukup menyita perhatian investor. Pada hari Senin (14/5/2018), setidaknya 60 warga Palestina, termasuk 8 anak-anak terbunuh dalam aksi protes terkait dengan pemindahan kedutaan besar AS di Israel dari Tel Aviv Ke Yerusalem. Kemarin, aksi serupa masih berlangsung diiringi dengan terus bertambahnya korban jiwa dan luka-luka.
Ketika Timur Tengah memanas, maka lagi-lagi yang dikhawatirkan adalah harga minyak. Timur Tengah adalah pemasok utama kebutuhan minyak dunia, sehingga konflik di wilayah ini tentu akan menghambat produksi dan distribusi si emas hitam.
Namun, pagi ini sentimen negatif yang membebani harga minyak datang dari Negeri Paman Sam. Menurut catatan American Petroleum Institute, stok minyak AS naik 4,9 juta barel pada pekan lalu. Jauh di atas ekspektasi pasar yaitu naik 763.000.
Hal ini diakibatkan terjadinya penyumbatan pasokan di West Texas dan Kanada. Munculnya sentimen pasokan yang melimpah pun membuat harga komoditas energi utama dunia ini turun.
Masih dari AS, kemarin US Energy Information Administration (EIA) mengekspektasikan produksi shale oil Negeri Paman Sam akan meningkat sebesar 145.000 bph menjadi 7,18 juta bph pada bulan Juni 2018. Pernyataan EIA tersebut lantas menimbulkan persepsi investor bahwa produksi minyak AS masih amat perkasa, dan bahkan akan sanggup mengisi kekosongan pasokan yang ditinggalkan oleh Iran.
Saat ini produksi minyak mentah mingguan Negeri Paman Sam sudah berada di angka 10,7 juta barel per hari (bph), atau sudah menyalip produksi Arab Saudi sang pemimpin OPEC.
(RHG/hps) Next Article Aktivitas Pengeboran AS Meningkat, Harga Minyak Melandai
![]() |
Meski demikian, sejatinya harga minyak masih diselimuti aura positif dari sentimen pasokan minyak global yang semakin ketat, ditambah kesepakatakan AS untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran. Kemarin, brent sempat menguat sekitar 1% hingga nyaris menyentuh US$80/barel, sebelum akhirnya bergerak turun dan hanya ditutup menguat di kisaran 0,5% ke US$78,43/barel.
Kemarin, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak melaporkan bahwa cadangan minyak di negara-negara maju OECD pada bulan Maret 2018 turun sebesar 12,7 juta barel secara month-to-month (MtM) ke 2,83 miliar barel, atau lebih rendah 204 juta barel secara year-on-year (YoY)
Ikhtiar pemangkasan produksi tersebut memang tercatat sukses mengerek harga minyak dunia, di mana saat ini harga brent tercatat sudah menguat nyaris 40% sejak awal 2017 lalu.
Sentimen ketatnya pasokan global justru bertambah kuat pasca Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran, dan dipastikan akan memulihkan sanksi bagi Negeri Persia.
Sebagai informasi, Iran mengekspor minyak sebanyak 450.000 barel/hari ke Eropa dan 1,8 juta barel/hari ke Asia. Dengan sanksi ekonomi, dunia akan kehilangan potensi tersebut, dan berujung pada kenaikan harga sang emas hitam.
Tidak hanya sampai situ, mundurnya Negeri Paman Sam dari kesepakatan nuklir yang dibuat pada 2015 tersebut, ternyata berbuntut panjang. Tensi geopolitik di Timur Tengah kini mulai mengarah ke konflik bersenjata.
Setelah pengumuman Trump, Israel (yang merupakan sekutu utama AS) menyerang pasukan Iran yang membantu pemerintah Suriah memerangi pemberontak dan ISIS. Negeri Zionis berdalih bahwa serangan tersebut diluncurkan sebagai balasan serangan misil kubu Suriah ke Dataran Tinggi Golan.
Panasnya tensi di Gaza juga cukup menyita perhatian investor. Pada hari Senin (14/5/2018), setidaknya 60 warga Palestina, termasuk 8 anak-anak terbunuh dalam aksi protes terkait dengan pemindahan kedutaan besar AS di Israel dari Tel Aviv Ke Yerusalem. Kemarin, aksi serupa masih berlangsung diiringi dengan terus bertambahnya korban jiwa dan luka-luka.
Ketika Timur Tengah memanas, maka lagi-lagi yang dikhawatirkan adalah harga minyak. Timur Tengah adalah pemasok utama kebutuhan minyak dunia, sehingga konflik di wilayah ini tentu akan menghambat produksi dan distribusi si emas hitam.
Namun, pagi ini sentimen negatif yang membebani harga minyak datang dari Negeri Paman Sam. Menurut catatan American Petroleum Institute, stok minyak AS naik 4,9 juta barel pada pekan lalu. Jauh di atas ekspektasi pasar yaitu naik 763.000.
Hal ini diakibatkan terjadinya penyumbatan pasokan di West Texas dan Kanada. Munculnya sentimen pasokan yang melimpah pun membuat harga komoditas energi utama dunia ini turun.
Masih dari AS, kemarin US Energy Information Administration (EIA) mengekspektasikan produksi shale oil Negeri Paman Sam akan meningkat sebesar 145.000 bph menjadi 7,18 juta bph pada bulan Juni 2018. Pernyataan EIA tersebut lantas menimbulkan persepsi investor bahwa produksi minyak AS masih amat perkasa, dan bahkan akan sanggup mengisi kekosongan pasokan yang ditinggalkan oleh Iran.
Saat ini produksi minyak mentah mingguan Negeri Paman Sam sudah berada di angka 10,7 juta barel per hari (bph), atau sudah menyalip produksi Arab Saudi sang pemimpin OPEC.
(RHG/hps) Next Article Aktivitas Pengeboran AS Meningkat, Harga Minyak Melandai
Most Popular