
OPEC Bisa Genjot Produksi Lagi, Minyak Tinggalkan US$80/barel
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
23 May 2018 11:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Juli 2018 bergerak melemah 0,74% ke level US$78,98/barel hingga pukul 10.00 WIB hari ini. Sementara itu, light sweet kontrak pengiriman Juli 2018 juga kompak turun 0,37% ke US$71,86/barel.
Harga minyak seakan kehabisan bensin untuk menguat. Harga brent, yang menjadi acuan di Eropa, sempat naik nyaris 1% ke level US$80,34/barel pada perdagangan kemarin, level tertingginya sejak November 2014. Namun, keperkasaan itu tak bertahan lama. Brent berangsur-angsur melemah hingga hanya ditutup menguat 0,44% ke level US$79,57/barel pada perdagangan hari Selasa (22/5/2018).
Berbagai macam sentimen positif yang menyokong penguatan harga minyak kemarin, nampaknya dilahap habis oleh ekspektasi peningkatan pasokan minyak dunia oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) lebih cepat dari rencana semula.
Mengutip sumber dari OPEC dan industri perminyakan yang familiar dengan isu ini, OPEC berpeluang untuk meningkatkan produksi minyaknya pada bulan Juni mendatang. Keputusan OPEC itu didorong oleh kekhawatiran anjloknya pasokan dari Iran dan Venezuela, serta Amerika Serikat (AS) yang menyatakan reli harga minyak sudah terlampau cepat, seperti dikutip dari Reuters.
Padahal, dalam kesepakatan awal tahun ini, OPEC (yang dipimpin Arab Saudi) dan negara-negara Non-OPEC (dipimpin oleh Rusia) setuju untuk melanjutkan pemangkasan produksi hingga akhir tahun 2018. Wacana untuk diperpanjang hingga 2019 bahkan sempat diutarakan.
Kekhawatiran semakin ketatnya pasokan minyak global memang terus menguat dalam beberapa waktu terakhir. Dari Venezuela, AS menyatakan tidak merestui rezim Presiden Nicolas Maduro untuk kembali berkuasa selama 6 tahun ke depan.
Oleh karena itu, Reuters mengabarkan bahwa Trump sudah menandatangani perintah larangan kepada warga negara AS untuk membeli aset-aset Venezuela. Hal ini bertujuan untuk membatasi ruang korupsi, sesuatu yang dituduhkan AS kepada pemerintahan Maduro.
"Kami harus memastikan bahwa kami mematuhi tujuan kami yang menargetkan para pejabat rezim yang korup, dan bukan penduduk Venezuela. Kami tidak ingin merusak negara dengan cara yang membuat negara sulit diperbaiki, setelah demokrasi dipulihkan," kata Wakil Menteri Luar Negeri AS John Sullivan pada hari Minggu (20/5/2018).
Sullivan juga menyebut sanksi minyak sebagai langkah yang sangat signifikan. "(Sanksi minyak) sedang ditinjau secara aktif," katanya, dilansir dari Reuters.
Jika Venezuela kesulitan memperoleh akses pembiayaan, maka akan semakin menekan perekonomian negara tersebut, yang saat ini pun sudah jatuh ke lembah krisis. Dampaknya adalah produksi dan distribusi minyak akan semakin terdisrupsi, terlebih apabila sanksi minyak dari Negeri Paman Sam berlaku.
Sementara itu, kekhawatiran adanya disrupsi pasokan minyak dari Iran pun masih ada di permukaan, pasca AS memutuskan untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran, dan memulihkan sanksi ekonomi bagi Negeri Persia tersebut.
Terlebih, pada hari Senin (21/5/2018) waktu setempat, AS sudah menuntut Iran untuk melakukan perubahan besar, yakni dari menghentikan program nuklir hingga menarik diri dari perang sipil Suriah. Jika tidak, Negeri Paman Sam siap memberikan sanksi ekonomi yang sangat besar.
"Ini baru permulaan. Sengatan sanksi akan sangan menyakitkan. Ini akan menjadi sanksi terkuat di sepanjang sejarah," ucap Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, seperti dikutip dari CNBC International.
Di sisi lain, harga minyak masih berpeluang menguat atau setidaknya menipiskan pelemahannya, setelah data cadangan minyak mentah AS tercatat mengalami penurunan sebesar 1,3 juta barel dalam sepekan hingga tanggal 18 Mei, mengutip data dari American Petroleum Institute (API).
Data resmi dari pemerintah AS akan dikeluarkan oleh US Energy Information Administration (EIA) pada hari ini pukul 21.30 WIB. Berdasarkan konsensus yang dihimpun oleh S&P Global Platts, cadangan minyak mentah negeri adidaya diestimasikan menurun sebesar 1,7 juta barel.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(roy) Next Article Aktivitas Pengeboran AS Meningkat, Harga Minyak Melandai
Harga minyak seakan kehabisan bensin untuk menguat. Harga brent, yang menjadi acuan di Eropa, sempat naik nyaris 1% ke level US$80,34/barel pada perdagangan kemarin, level tertingginya sejak November 2014. Namun, keperkasaan itu tak bertahan lama. Brent berangsur-angsur melemah hingga hanya ditutup menguat 0,44% ke level US$79,57/barel pada perdagangan hari Selasa (22/5/2018).
![]() |
Berbagai macam sentimen positif yang menyokong penguatan harga minyak kemarin, nampaknya dilahap habis oleh ekspektasi peningkatan pasokan minyak dunia oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) lebih cepat dari rencana semula.
Padahal, dalam kesepakatan awal tahun ini, OPEC (yang dipimpin Arab Saudi) dan negara-negara Non-OPEC (dipimpin oleh Rusia) setuju untuk melanjutkan pemangkasan produksi hingga akhir tahun 2018. Wacana untuk diperpanjang hingga 2019 bahkan sempat diutarakan.
Kekhawatiran semakin ketatnya pasokan minyak global memang terus menguat dalam beberapa waktu terakhir. Dari Venezuela, AS menyatakan tidak merestui rezim Presiden Nicolas Maduro untuk kembali berkuasa selama 6 tahun ke depan.
Oleh karena itu, Reuters mengabarkan bahwa Trump sudah menandatangani perintah larangan kepada warga negara AS untuk membeli aset-aset Venezuela. Hal ini bertujuan untuk membatasi ruang korupsi, sesuatu yang dituduhkan AS kepada pemerintahan Maduro.
"Kami harus memastikan bahwa kami mematuhi tujuan kami yang menargetkan para pejabat rezim yang korup, dan bukan penduduk Venezuela. Kami tidak ingin merusak negara dengan cara yang membuat negara sulit diperbaiki, setelah demokrasi dipulihkan," kata Wakil Menteri Luar Negeri AS John Sullivan pada hari Minggu (20/5/2018).
Sullivan juga menyebut sanksi minyak sebagai langkah yang sangat signifikan. "(Sanksi minyak) sedang ditinjau secara aktif," katanya, dilansir dari Reuters.
Jika Venezuela kesulitan memperoleh akses pembiayaan, maka akan semakin menekan perekonomian negara tersebut, yang saat ini pun sudah jatuh ke lembah krisis. Dampaknya adalah produksi dan distribusi minyak akan semakin terdisrupsi, terlebih apabila sanksi minyak dari Negeri Paman Sam berlaku.
Sementara itu, kekhawatiran adanya disrupsi pasokan minyak dari Iran pun masih ada di permukaan, pasca AS memutuskan untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran, dan memulihkan sanksi ekonomi bagi Negeri Persia tersebut.
Terlebih, pada hari Senin (21/5/2018) waktu setempat, AS sudah menuntut Iran untuk melakukan perubahan besar, yakni dari menghentikan program nuklir hingga menarik diri dari perang sipil Suriah. Jika tidak, Negeri Paman Sam siap memberikan sanksi ekonomi yang sangat besar.
"Ini baru permulaan. Sengatan sanksi akan sangan menyakitkan. Ini akan menjadi sanksi terkuat di sepanjang sejarah," ucap Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, seperti dikutip dari CNBC International.
Di sisi lain, harga minyak masih berpeluang menguat atau setidaknya menipiskan pelemahannya, setelah data cadangan minyak mentah AS tercatat mengalami penurunan sebesar 1,3 juta barel dalam sepekan hingga tanggal 18 Mei, mengutip data dari American Petroleum Institute (API).
Data resmi dari pemerintah AS akan dikeluarkan oleh US Energy Information Administration (EIA) pada hari ini pukul 21.30 WIB. Berdasarkan konsensus yang dihimpun oleh S&P Global Platts, cadangan minyak mentah negeri adidaya diestimasikan menurun sebesar 1,7 juta barel.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(roy) Next Article Aktivitas Pengeboran AS Meningkat, Harga Minyak Melandai
Most Popular