Infrastruktur Baik untuk Besok, Tapi Membebani Hari Ini
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 May 2018 16:25

Ketika dampak optimal infrastruktur baru dirasakan dalam hitungan dasawarsa, tetapi dampaknya dirasakan sekarang yaitu melonjaknya impor bahan baku dan barang modal untuk keperluan pembangunan. Akibatnya, neraca perdagangan tertekan bahkan sampai ke zona defisit.
Saat neraca perdagangan defisit, apalagi dalam jumlah besar, kemudian muncul kekhawatiran terhadap prospek transaksi pembayaran (current account) dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) di kuartal II-2018. Kekhawatiran ini cukup berdasar, karena pada kuartal sebelumnya transaksi berjalan defisit US$ 5,5 miliar dan NPI minus US 3,85 miliar.
Kala transaksi berjalan dan NPI defisit, maka nilai tukar rupiah terancam karena fundamental yang rapuh. Benar saja, rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Sepanjang tahun ini, rupiah sudah melemah 3,3% di hadapan greenback. Di Asia, pelemahan rupiah hanya kalah dari rupee India yang terdepresiasi 6,2%.
Pelemahan rupiah yang cukup cepat mendorong Bank Indonesia (BI) membuka ruang kenaikan suku bunga acuan. Agus DW Martowardojo, Gubernur BI, menilai pelemahan rupiah sudah membuat mata uang ini jauh dari nilai fundamentalnya sehingga mengancam kestabilan makroekonomi nasional.
Jika BI sampai menaikkan suku bunga, maka dampaknya adalah pertumbuhan ekonomi akan melambat. Sebab, kenaikan suku bunga acuan akan direspons oleh perbankan dengan kenaikan suku bunga pinjaman dan kredit.
Dengan suku bunga yang sekarang saja pertumbuhan kredit masih lambat, yaitu 8,54% per akhir Maret 2018. Kenaikan suku bunga acuan berpotensi membuat permintaan kredit semakin mengerut.
Saat kredit lesu, maka itu menjadi pertanda ekonomi mengalami stagnasi atau bahkan bisa saja melambat. Baik konsumen maupun dunia usaha sulit berekspansi, karena suku bunga yang mencekik leher.
Akibatnya, target pemerintah yang menginginkan pertumbuhan ekonomi 2018 di 5,4% terasa sulit (kalau tidak mau dibilang mustahil). Pertumbuhan ekonomi yang dekat dengan 5%, seperti yang terjadi di kuartal I-2018, mungkin akan lebih akrab dengan Indonesia.
Sekedar sumbang saran kepada Bapak Presiden Jokowi. Pembangunan infrastruktur memang baik, dan itu membangun fondasi untuk perekonomian Indonesia menuju era tinggal landas. Namun untuk jangka pendek, risikonya tidak ringan karena bisa menyebabkan stagnasi ekonomi.
Membangun untuk masa depan adalah hal yang bagus. Namun bagaimanapun, kita hidup di masa kini yang juga butuh ketenangan...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed)
Saat neraca perdagangan defisit, apalagi dalam jumlah besar, kemudian muncul kekhawatiran terhadap prospek transaksi pembayaran (current account) dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) di kuartal II-2018. Kekhawatiran ini cukup berdasar, karena pada kuartal sebelumnya transaksi berjalan defisit US$ 5,5 miliar dan NPI minus US 3,85 miliar.
Kala transaksi berjalan dan NPI defisit, maka nilai tukar rupiah terancam karena fundamental yang rapuh. Benar saja, rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pelemahan rupiah yang cukup cepat mendorong Bank Indonesia (BI) membuka ruang kenaikan suku bunga acuan. Agus DW Martowardojo, Gubernur BI, menilai pelemahan rupiah sudah membuat mata uang ini jauh dari nilai fundamentalnya sehingga mengancam kestabilan makroekonomi nasional.
Jika BI sampai menaikkan suku bunga, maka dampaknya adalah pertumbuhan ekonomi akan melambat. Sebab, kenaikan suku bunga acuan akan direspons oleh perbankan dengan kenaikan suku bunga pinjaman dan kredit.
Dengan suku bunga yang sekarang saja pertumbuhan kredit masih lambat, yaitu 8,54% per akhir Maret 2018. Kenaikan suku bunga acuan berpotensi membuat permintaan kredit semakin mengerut.
Saat kredit lesu, maka itu menjadi pertanda ekonomi mengalami stagnasi atau bahkan bisa saja melambat. Baik konsumen maupun dunia usaha sulit berekspansi, karena suku bunga yang mencekik leher.
Akibatnya, target pemerintah yang menginginkan pertumbuhan ekonomi 2018 di 5,4% terasa sulit (kalau tidak mau dibilang mustahil). Pertumbuhan ekonomi yang dekat dengan 5%, seperti yang terjadi di kuartal I-2018, mungkin akan lebih akrab dengan Indonesia.
Sekedar sumbang saran kepada Bapak Presiden Jokowi. Pembangunan infrastruktur memang baik, dan itu membangun fondasi untuk perekonomian Indonesia menuju era tinggal landas. Namun untuk jangka pendek, risikonya tidak ringan karena bisa menyebabkan stagnasi ekonomi.
Membangun untuk masa depan adalah hal yang bagus. Namun bagaimanapun, kita hidup di masa kini yang juga butuh ketenangan...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular