Infrastruktur Baik untuk Besok, Tapi Membebani Hari Ini
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 May 2018 16:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional periode April 2018. Salah satu hasilnya begitu mengejutkan, neraca perdagangan defisit US$ 1,63 miliar.
Ini menjadi defisit terparah sejak April 2014. Defisit ini tercipta karena ekspor hanya tumbuh 9,01% secara year-on-year (YoY), sementara ekspor meroket dengan pertumbuhan 34,68% YoY. Tingginya impor membebani neraca perdagangan.
Berdasarkan penggunaan, impor dengan pertumbuhan tertinggi adalah barang modal (40,81%). Kemudian disusul impor barang konsumsi yang tumbuh 38,01% dan bahan baku/penolong yang naik 33%.
Menariknya, sejumlah barang modal dan bahan baku/penolong yang diimpor adalah terkait pembangunan infrastruktur. Misalnya pembatas jalan atau guardrail yang tumbuh 1.028,85%, kabel serat optik dengan kenaikan 399,65%, atau besi lempengan alias steel slab yang naik 163,64%.
Pembengkakan impor bisa diartikan sebagai menggeliatnya pembangunan infrastruktur. Ini sesuai dengan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas.
Melalui pembangunan infrastruktur, perekonomian Indonesia diharapkan lebih efisien dan tidak ada lagi biaya tinggi. Sebab, ketersediaan infrastruktur bisa membuat biaya logistik lebih rendah. Selamat tinggal ekonomi biaya tinggi (high cost economy)...
Hal ini mulai terbukti dari pengakuan lembaga internasional. Dalam World Competitiveness Index 2017-2018 yang dirilis World Economic Forum, Indonesia berada di peringkat 52 dalam hal infrastruktur. Membaik dibandingkan tahun sebelumnya yaitu di peringkat 60.
Infrastruktur memang merupakan elemen penting dalam perekonomian. Kajian Bank Dunia menyebutkan, elastisitas Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap infrastruktur adalah 0,07-0,44. Artinya setiap tambahan ketersediaan infrastruktur 1% akan menaikkan PDB 7-44%.
Namun, sejatinya dampak pembangunan infrastruktur baru benar-benar bisa dinikmati dalam jangka panjang. Kira-kira dampak optimalnya baru terasa 10-20 tahun ke depan.
Ini menjadi defisit terparah sejak April 2014. Defisit ini tercipta karena ekspor hanya tumbuh 9,01% secara year-on-year (YoY), sementara ekspor meroket dengan pertumbuhan 34,68% YoY. Tingginya impor membebani neraca perdagangan.
Berdasarkan penggunaan, impor dengan pertumbuhan tertinggi adalah barang modal (40,81%). Kemudian disusul impor barang konsumsi yang tumbuh 38,01% dan bahan baku/penolong yang naik 33%.
Pembengkakan impor bisa diartikan sebagai menggeliatnya pembangunan infrastruktur. Ini sesuai dengan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas.
Melalui pembangunan infrastruktur, perekonomian Indonesia diharapkan lebih efisien dan tidak ada lagi biaya tinggi. Sebab, ketersediaan infrastruktur bisa membuat biaya logistik lebih rendah. Selamat tinggal ekonomi biaya tinggi (high cost economy)...
Hal ini mulai terbukti dari pengakuan lembaga internasional. Dalam World Competitiveness Index 2017-2018 yang dirilis World Economic Forum, Indonesia berada di peringkat 52 dalam hal infrastruktur. Membaik dibandingkan tahun sebelumnya yaitu di peringkat 60.
Infrastruktur memang merupakan elemen penting dalam perekonomian. Kajian Bank Dunia menyebutkan, elastisitas Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap infrastruktur adalah 0,07-0,44. Artinya setiap tambahan ketersediaan infrastruktur 1% akan menaikkan PDB 7-44%.
Namun, sejatinya dampak pembangunan infrastruktur baru benar-benar bisa dinikmati dalam jangka panjang. Kira-kira dampak optimalnya baru terasa 10-20 tahun ke depan.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular