
Yield Obligasi Negara Turun, Waspadai Kaburnya Dana Asing
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 May 2018 14:55

Pasalnya, di saat yang sama yield obligasi pemerintah AS naik. Saat ini, yield obligasi negara AS tenor 10 tahun berada di 3,0208%. Naik dibandingkan kemarin yaitu 2,995%.
Kenaikan yield obligasi AS dipicu oleh peningkatan ekspektasi inflasi di Negeri Paman Sam. Penyebab kenaikan ekspektasi inflasi adalah hubungan dagang AS-China yang semakin membaik.
Wakil Perdana Menteri China Liu He akan bertolak ke AS pada 15-19 Mei mendatang guna melakukan negosiasi perdagangan. Begitu cepatnya negosiasi lanjutan nampaknya didorong oleh langkah Presiden AS Donald Trump yang ingin membantu melepaskan raksasa teknologi asal China ZTE dari sanksi yang belum lama ini dikenakan.
"Presiden Xi dan saya sedang berusaha bersama untuk membuka kembali akses bisnis bagi perusahaan pembuat ponsel pintar raksasa asal China, ZTE, dengan cepat. Terlalu banyak pekerjaan yang hilang di China. Kementerian Perdagangan sudah diinstruksikan untuk menyelesaikannya!" tegas Trump melalui akun Twitter pribadinya.
Jika kesepakatan antar kedua negara bisa tercapai, maka pemulihan ekonomi dunia dimungkinkan untuk berlanjut. Kekhawatiran perang dagang pun akan sirna. Ketika arus perdagangan lancar, maka pertumbuhan ekonomi AS pun akan membaik.
Pertumbuhan ekonomi AS yang terakselerasi tentu melahirkan tekanan inflasi. Dari sinilah ekspektasi itu berasal.
Saat yield obligasi AS naik dan Indonesia turun, maka selisih (spread) antara dua instrumen ini akan mengecil. AS tentu akan menjadi lebih seksi di mata investor, karena menjanjikan keuntungan lebih.
Persepsi ini bisa memunculkan risiko arus modal keluar alias capital outflows. Ketika capital outflows terjadi, maka nilai tukar rupiah akan semakin tertekan. Apalagi sebelumnya ada sentimen negatif dari rilis data neraca perdagangan periode April 2018, yang membukukan defisit US$ 1,63 miliar.
Saat aliran devisa dari perdagangan maupun sektor keuangan seret, maka rupiah pun semakin melemah. BI kemudian terpaksa harus melakukan intervensi lagi di pasar SBN, yang membuat yield turun. Yield Indonesia semakin turun, sementara AS cenderung naik, dan lingkaran setan pun berulang kembali...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
![]() |
Kenaikan yield obligasi AS dipicu oleh peningkatan ekspektasi inflasi di Negeri Paman Sam. Penyebab kenaikan ekspektasi inflasi adalah hubungan dagang AS-China yang semakin membaik.
Wakil Perdana Menteri China Liu He akan bertolak ke AS pada 15-19 Mei mendatang guna melakukan negosiasi perdagangan. Begitu cepatnya negosiasi lanjutan nampaknya didorong oleh langkah Presiden AS Donald Trump yang ingin membantu melepaskan raksasa teknologi asal China ZTE dari sanksi yang belum lama ini dikenakan.
Jika kesepakatan antar kedua negara bisa tercapai, maka pemulihan ekonomi dunia dimungkinkan untuk berlanjut. Kekhawatiran perang dagang pun akan sirna. Ketika arus perdagangan lancar, maka pertumbuhan ekonomi AS pun akan membaik.
Pertumbuhan ekonomi AS yang terakselerasi tentu melahirkan tekanan inflasi. Dari sinilah ekspektasi itu berasal.
Saat yield obligasi AS naik dan Indonesia turun, maka selisih (spread) antara dua instrumen ini akan mengecil. AS tentu akan menjadi lebih seksi di mata investor, karena menjanjikan keuntungan lebih.
Persepsi ini bisa memunculkan risiko arus modal keluar alias capital outflows. Ketika capital outflows terjadi, maka nilai tukar rupiah akan semakin tertekan. Apalagi sebelumnya ada sentimen negatif dari rilis data neraca perdagangan periode April 2018, yang membukukan defisit US$ 1,63 miliar.
Saat aliran devisa dari perdagangan maupun sektor keuangan seret, maka rupiah pun semakin melemah. BI kemudian terpaksa harus melakukan intervensi lagi di pasar SBN, yang membuat yield turun. Yield Indonesia semakin turun, sementara AS cenderung naik, dan lingkaran setan pun berulang kembali...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular