Dolar Sentuh Rp 14.000, Risiko Utang Indonesia Melonjak
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 May 2018 15:37

Dalam konteks Indonesia, sepertinya kecemasan terbesar pelaku pasar saat ini ada di depresiasi nilai tukar rupiah. Kini, dolar AS sudah menembus level Rp 14.000 dan bahkan mendekati Rp 14.100.
Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 3,4% di hadapan dolar AS. Rubel Rusia melemah lebih dalam yaitu 8,8% sehingga wajar CDS mereka lebih tinggi.
Ketika rupiah melemah, maka memegang aset dalam mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Ini yang membuat investor asing cenderung keluar dari pasar keuangan Indonesia.
Di pasar saham, nilai jual bersih asing selama 2018 mencapai Rp 36,85 triliun. Sementara di pasar obligasi, investor asing memang masih membukukan beli bersih Rp 8,28 triliun. Namun sejak pertengahan April, arus keluar investor asing di obligasi negara sudah tidak terbendung.
Pelemahan rupiah disebabkan faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang dominan tentu saja rencana pengetatan moneter di Amerika Serikat (AS). The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga tiga kali, dan kemungkinan menjadi empat kali tidak tertutup.
Kenaikan suku bunga membuat dolar AS semakin menarik karena nilainya akan naik seiring terjangkarnya ekspektasi inflasi. Akibatnya aliran modal asing cenderung mengarah ke pasar valas, terutama memburu greenback.
Dari dalam negeri, fundamental ekonomi Indonesia memang sulit mendukung penguatan nilai tukar rupiah. Pasalnya, transaksi berjalan (current account) Indonesia masih membukukan defisit.
Pada 2017, defisit transaksi berjalan tercatat sebesar 1,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk tahun ini, defisit transaksi berjalan diperkirakan naik ke sekitar 2,1% PDB, menurut proyeksi Bank Indonesia (BI).
Transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Artinya, transaksi berjalan adalah devisa dari sektor riil.
Devisa dari sektor riil ini lebih bertahan lama, tidak keluar-masuk seperti halnya dari sektor keuangan. Oleh karena itu, negara dengan transaksi berjalan yang surplus biasanya punya mata uang cenderung stabil stabil karena sokongan devisa yang lebih stabil.
Oleh karena Indonesia masih mengalami defisit di transaksi berjalan, maka sokongan devisa untuk mendukung kurs lebih mengandalkan pasokan portofolio di sektor keuangan alias hot money. Seperti namanya, dana di portofolio ini sangat mudah datang dan pergi.
Kerentanan rupiah menjadi hal utama yang sepertinya menjadi perhatian utama pelaku pasar. Sebelum pergerakan rupiah lebih stabil, sepertinya CDS Indonesia masih akan cenderung bergerak ke atas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 3,4% di hadapan dolar AS. Rubel Rusia melemah lebih dalam yaitu 8,8% sehingga wajar CDS mereka lebih tinggi.
Ketika rupiah melemah, maka memegang aset dalam mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Ini yang membuat investor asing cenderung keluar dari pasar keuangan Indonesia.
![]() |
Pelemahan rupiah disebabkan faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang dominan tentu saja rencana pengetatan moneter di Amerika Serikat (AS). The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga tiga kali, dan kemungkinan menjadi empat kali tidak tertutup.
Kenaikan suku bunga membuat dolar AS semakin menarik karena nilainya akan naik seiring terjangkarnya ekspektasi inflasi. Akibatnya aliran modal asing cenderung mengarah ke pasar valas, terutama memburu greenback.
Dari dalam negeri, fundamental ekonomi Indonesia memang sulit mendukung penguatan nilai tukar rupiah. Pasalnya, transaksi berjalan (current account) Indonesia masih membukukan defisit.
Pada 2017, defisit transaksi berjalan tercatat sebesar 1,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk tahun ini, defisit transaksi berjalan diperkirakan naik ke sekitar 2,1% PDB, menurut proyeksi Bank Indonesia (BI).
Transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Artinya, transaksi berjalan adalah devisa dari sektor riil.
Devisa dari sektor riil ini lebih bertahan lama, tidak keluar-masuk seperti halnya dari sektor keuangan. Oleh karena itu, negara dengan transaksi berjalan yang surplus biasanya punya mata uang cenderung stabil stabil karena sokongan devisa yang lebih stabil.
Oleh karena Indonesia masih mengalami defisit di transaksi berjalan, maka sokongan devisa untuk mendukung kurs lebih mengandalkan pasokan portofolio di sektor keuangan alias hot money. Seperti namanya, dana di portofolio ini sangat mudah datang dan pergi.
Kerentanan rupiah menjadi hal utama yang sepertinya menjadi perhatian utama pelaku pasar. Sebelum pergerakan rupiah lebih stabil, sepertinya CDS Indonesia masih akan cenderung bergerak ke atas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular