
Internasional
T-Mobile dan Sprint Merger, SoftBank Gagal Jadi Pengendali
Roy Franedya, CNBC Indonesia
30 April 2018 15:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Keberhasilan mengumpulkan dana hingga US$100 miliar atau setara Rp 1.350 triliun (asumsi US$1 = Rp 13.500) melalui Vision Fund, dan keberhasilannya mengakuisisi beberapa perusahaan membuat Chief Executive Officer (CEO) SoftBank Grup Masayashi Son sebagai salah satu perunding handal (dealmaker).
Namun, kesepakatan yang dilakukan pada Minggu (29/4/2018) telah mencoreng reputasinya. Merger Soft Sprint Corp dengan T-Mobile AS milik Deutsche Telekom telah menghasilkan operator nirkabel Amerika Serikat (AS) dengan valuasi di atas US$80 miliar (Rp 1.080 triliun) atau sama dengan kapitalisasi pasar SoftBank, dengan kepemilikan saham minoritas.
SoftBank, sebuah kelompok teknologi dan telekomunikasi Jepang, akan memiliki hanya 27% dari perusahaan hasil merger, sementara Deutsche Telekom akan memiliki 42% serta mengontrol suara dewan direksi.
Hasil ini jauh dari pernyataan yang dilontarkan Softbank pada 2014, Sprint akan lebih besar dari T-Mobile ketika Softbank bernegosiasi untuk menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan hasil merger.
Untuk mencapai kesepakatan, Masayashi Son harus setuju untuk membiarkan Deutsche Telekom mengendalikan perusahaan hasil merger sehingga bisa mengkonsolidasikannya pada laporan keuangan perusahaan. SoftBank telah mengakuisisi Sprint pada tahun 2012 dengan tujuan untuk mengambil alih T-Mobile, alih-alih menjadi mitra junior Deutsche Telekom.
"Melemahnya posisi Sprint memaksanya kembali ke negosiasi. Hal ini menyulitkannya melakukan investasi besar-besaran dalam infrastruktur baru," kata Erik Gordon, seorang profesor di Ross School of Business Universitas Michigan.
Meskipun basis pelanggan Sprint telah berkembang di bawah CEO Marcelo Claure, pertumbuhan tersebut didorong oleh diskon. Analis mengatakan tanpa T-Mobile, Sprint tidak memiliki skala yang diperlukan untuk berinvestasi dalam jaringannya dan bersaing di pasar yang jenuh. Perusahaan juga terbebani utang lebih dari US$32 miliar.
T-Mobile, yang dipimpin John Legere, bernasib jauh lebih baik. Perusahaan berhasil mencetak peningkatan pangsa pasar karena penawaran inovatif, meningkatkan kinerja jaringan, dan layanan pelanggan yang baik menarik pelanggan baru.
Namun, kesepakatan yang dilakukan pada Minggu (29/4/2018) telah mencoreng reputasinya. Merger Soft Sprint Corp dengan T-Mobile AS milik Deutsche Telekom telah menghasilkan operator nirkabel Amerika Serikat (AS) dengan valuasi di atas US$80 miliar (Rp 1.080 triliun) atau sama dengan kapitalisasi pasar SoftBank, dengan kepemilikan saham minoritas.
Untuk mencapai kesepakatan, Masayashi Son harus setuju untuk membiarkan Deutsche Telekom mengendalikan perusahaan hasil merger sehingga bisa mengkonsolidasikannya pada laporan keuangan perusahaan. SoftBank telah mengakuisisi Sprint pada tahun 2012 dengan tujuan untuk mengambil alih T-Mobile, alih-alih menjadi mitra junior Deutsche Telekom.
"Melemahnya posisi Sprint memaksanya kembali ke negosiasi. Hal ini menyulitkannya melakukan investasi besar-besaran dalam infrastruktur baru," kata Erik Gordon, seorang profesor di Ross School of Business Universitas Michigan.
Meskipun basis pelanggan Sprint telah berkembang di bawah CEO Marcelo Claure, pertumbuhan tersebut didorong oleh diskon. Analis mengatakan tanpa T-Mobile, Sprint tidak memiliki skala yang diperlukan untuk berinvestasi dalam jaringannya dan bersaing di pasar yang jenuh. Perusahaan juga terbebani utang lebih dari US$32 miliar.
T-Mobile, yang dipimpin John Legere, bernasib jauh lebih baik. Perusahaan berhasil mencetak peningkatan pangsa pasar karena penawaran inovatif, meningkatkan kinerja jaringan, dan layanan pelanggan yang baik menarik pelanggan baru.
Next Page
Tekanan Utang Softbank
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular