
Internasional
Perang Dagang Berkecamuk, Nafsu Merger & Akuisisi Surut
Wangi Sinintya, CNBC Indonesia
08 October 2018 13:13

Jakarta, CNBC Indonesia - Keinginan perusahaan untuk melakukan merger dan akuisisi semakin berkurang dan jatuh ke level terendah dalam empat tahun terakhir karena khawatir akan Brexit (pemisahan Inggris dari Uni Eropa) dan perang dagang AS-China.
Hal ini merupakan studi terbaru dari EY dalam laporan dua tahunan yang bertajuk "Global Capital Confidence Barometer". EY melakukan survei pada 2.600 eksekutif di 45 negara.
Riset tersebut menyatakan 46% eksekutif yang di survei berencana melakukan pencaplokan perusahaan lain dalam 12 bulan ke depan. Angka ini turun 10% dari tahun sebelumnya. Para eksekutif ini memandang regulasi dan ketidakpastian geopolitik sebagai resiko terbesar untuk melakukan aktivitas selama tahun depan.
"Ketidakpastian geopolitik, perdagangan, dan tarif (bea masuk impor) akhirnya menyebabkan beberapa pihak yang terlibat untuk menekan tombol jeda," Steve Krouskos, wakil ketua global tim layanan konsultasi transaksi EY, mengatakan dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari CNBC International, Senin (8/10/2018).
"Meskipun laba semester pertama lebih kuat dari yang diprediksi dan keputusan strategis yang tak terbantahkan untuk transaksi, tahun ini aktivitas merger dan akuisisi akan jauh lebih lemah dari sebelumnya."
Pada awal tahun ini aksi merger dan akuisisi cukup marak. Raksasa farmasi Jerman Bayar mengakuisisi perusahaan pertanian AS Monsanto sebesar US$63 miliar. Media AS, Disney dan Comcast terlibat dalam perang proposal untuk Twenty First Century Fox.
Laporan EY mengatakan meskipun aktivitas merger dan akuisisi telah melemah karena ketidakpastian politik, fundamental tetap kuat, dengan 90% dari eksekutif perusahaan mengharapkan pasar membaik.
Hanya 9% responden survei yang mengatakan bahwa mereka mengharapkan pasar merger dan akuisisi akan membaik dalam 12 bulan ke depan, namun EY mengatakan bahwa situasi saat ini kemungkinan hanya "jeda."
"Kabar baiknya adalah perusahaan kemungkinan akan beristirahat dalam aksi sebagai kesempatan untuk fokus mengintegrasikan banyak kesepakatan yang dilakukan selama 12 bulan terakhir," ujar Steve Krouskos.
"Ini mungkin hanya jeda, bukan perhentian total. Fundamental dan alasan strategis untuk transaksi tetap kuat, dan keinginan untuk mengakuisisi kemungkinan akan tumbuh menuju paruh kedua 2019."
Dalam survei tersebut juga ditemukan Inggris menjadi tempat terbaik kedua untuk aktivitas merger dan akuisisi. AS masih jadi tempat teratas melakukan aksi korporasi ini.
"Banyak perusahaan melakukan merger dan akuisisi untuk mengurangi dampak potensial dari kebijakan perdagangan dan tarif, mengamankan akses pasar dan melindungi rantai pasokan," kata Krouskos.
(roy) Next Article Awas Babak Baru Perang Dagang AS-China Gegara Tomat & Kapas
Hal ini merupakan studi terbaru dari EY dalam laporan dua tahunan yang bertajuk "Global Capital Confidence Barometer". EY melakukan survei pada 2.600 eksekutif di 45 negara.
Riset tersebut menyatakan 46% eksekutif yang di survei berencana melakukan pencaplokan perusahaan lain dalam 12 bulan ke depan. Angka ini turun 10% dari tahun sebelumnya. Para eksekutif ini memandang regulasi dan ketidakpastian geopolitik sebagai resiko terbesar untuk melakukan aktivitas selama tahun depan.
"Ketidakpastian geopolitik, perdagangan, dan tarif (bea masuk impor) akhirnya menyebabkan beberapa pihak yang terlibat untuk menekan tombol jeda," Steve Krouskos, wakil ketua global tim layanan konsultasi transaksi EY, mengatakan dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari CNBC International, Senin (8/10/2018).
"Meskipun laba semester pertama lebih kuat dari yang diprediksi dan keputusan strategis yang tak terbantahkan untuk transaksi, tahun ini aktivitas merger dan akuisisi akan jauh lebih lemah dari sebelumnya."
Laporan EY mengatakan meskipun aktivitas merger dan akuisisi telah melemah karena ketidakpastian politik, fundamental tetap kuat, dengan 90% dari eksekutif perusahaan mengharapkan pasar membaik.
Hanya 9% responden survei yang mengatakan bahwa mereka mengharapkan pasar merger dan akuisisi akan membaik dalam 12 bulan ke depan, namun EY mengatakan bahwa situasi saat ini kemungkinan hanya "jeda."
"Kabar baiknya adalah perusahaan kemungkinan akan beristirahat dalam aksi sebagai kesempatan untuk fokus mengintegrasikan banyak kesepakatan yang dilakukan selama 12 bulan terakhir," ujar Steve Krouskos.
Dalam survei tersebut juga ditemukan Inggris menjadi tempat terbaik kedua untuk aktivitas merger dan akuisisi. AS masih jadi tempat teratas melakukan aksi korporasi ini.
"Banyak perusahaan melakukan merger dan akuisisi untuk mengurangi dampak potensial dari kebijakan perdagangan dan tarif, mengamankan akses pasar dan melindungi rantai pasokan," kata Krouskos.
(roy) Next Article Awas Babak Baru Perang Dagang AS-China Gegara Tomat & Kapas
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular