'Black Wednesday', Bayangan Panik 10 Tahun Lalu

Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
08 October 2018 13:04
Houtmand P Saragih
Houtmand P Saragih
Lulusan Fisipol UGM yang nyasar jadi pewarta pasar modal. Hingga kini tak tertarik terjun ke politik meskipun sering diajak diskusi politik. Punya mimpi yang tak muluk, Indonesia punya 5 juta investor di pasar saham... Selengkapnya
To Big to be Fail, itulah kira-kira argumentasi yang dilontarkan oleh pemerintah AS waktu itu.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Tanggal hari ini, tepat 10 tahun yang lalu (8-Oktober-2008) saat para investor sedang betransaksi, tiba-tiba otoritas bursa atau Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan perdagangan saham. Waktu itu, hari Rabu bukan Senin, itulah sebabnya saya menulis peristiwa pada waktu itu dengan istilah "Black Wednesday".

Istilah yang diadopsi dari peristiwa Black Monday dan Black Tuesday, dimana bursa saham Hong Kong jatuh dalam, lalu menyebar ke bursa saham Eropa dan Wall Street yang terjadi pada 19 Oktober 1987.

Keputusan mendadak tersebut diambil pada pukul 11.08 WIB dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 10,38% ke level 1.451,67, level terendah sejak September 2006. Sebagian besar pelaku pasar saham waktu itu panik, karena situasi yang memang tak kondusif setelah beberapa lembaga atau perusahaan keuangan global mulai berjatuhan dan investor mulai khawatir dengan situasi yang menjurus ke resesi.

Peristiwa ini kemudian dicatat sebagai salah satu momentum bersejarah dalam pasar saham Indonesia. Dinamika kepanikan itu tampak dari respons Direktur Utama BEI waktu itu Erry Firmansyah yang tak langsung memberikan penjelasan terkait alasanya kenapa perdagangan saham ditutup.

Saat itu, belum ada protokol krisis yang menjadi panduan bagi otoritas bursa untuk menetapkan kapan perdagangan saham dihentikan dan dengan alasan apa. Erry waktu itu terlihat bolak-balik dari Gedung BEI di kawasan SCBD ke kantor Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng.

Baru siang hari, setelah bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam-LK) Darmin Nasution pada waktu itu, Erry memberikan penjelasan. "Hari ini pasar sangat panik. Kami sedang mencermati faktor-faktor lain yang menyebabkan pasar kita turun di luar pengaruh sentimen negatif terhadap pelemahan bursa regional dan global," kata Erry pada waktu itu.

Lalu dia melanjutkan, penurunan IHSG tidak masuk akal karena total nilai transaksi perdagangan saham dan derivatif sampai menjelang suspensi dilakukan relatif kecil, hanya Rp 952,16 miliar. "Kalau nilai perdagangan Rp 3 triliun-Rp 4 triliun, penurunan 10 persen mungkin masih bisa diterima akal karena saat ini seluruh bursa global juga terkoreksi. Namun, dengan nilai transaksi di bawah Rp 1 triliun, penurunan itu sangat irasional. Ada sesuatu yang tidak tepat," begitulah penjelasan Erry waktu itu menggambarkan situasi panik di pasar modal kita sepuluh tahun lalu.

Apa yang terjadi di bursa saham domestik pada waktu itu merupakan klimaks dari serentetan peristiwa yang membuat IHSG jatuh hingga 50,38% dalam setahun. Para investor di pasar saham waktu itu, khawatir akan terjadi krisis lagi seperti 1998, yang dipicu oleh krisis pasar keuangan Amerika Serikat (AS).

Krisis Keuangan AS
Tanda-tanda krisis itu sudah tampak sejak September 2008. Saat itu tiga perusahaan raksasa keuangan AS, Fannie Mae, Freddie Mac's dan Lehman Brothers mengajukan proposal bailout kepada pemerintah.

Tak lama kemudian, Lehman Brothers kolaps tak tertolong. Sebenarnya tidak hanya tiga perusahaan itu, sejumlah raksasa keuangan juga mengalami masalah yang sama. Seperti Bear Stearns yang sudah di bailout sebelumnya.

Lalu ada juga Merril Lynch yang kemudian diakuisisi oleh Bank of America dan raksasa asuransi dunia AIG yang juga harus ditolong oleh pemerintah AS.

To Big to be Fail, itulah kira-kira argumentasi yang dilontarkan oleh pemerintah AS waktu itu untuk ngotot memberikan bailout kepada perusahaan-perusahaan tersebut agar selamat. Jika tidak dibailout atau diberikan dana talangan, situasi akan menjadi lebih sulit dan akan berdampak luas pada sistem keuangan AS dan dunia, saking besarnya perusahaan-perusahaan tersebut.

Sampai akhirnya pemerintah AS dengan persetujuan senat dan parlemen memberikan bailout mencapai US$ 700 miliar atau sekitar Rp 7.630 triliun (kurs rupiah waktu itu Rp 10.900/US$).

Sebelum ada bailout tersebut, pasar saham global terus terombang ambing dan semua pihak merasa akan masuk ke dalam jurang krisis. Volatilitas memuncak karena situasi yang terus memburuk.

Menurut catatan waktu itu, pada Oktober 2008, Wall street belum pernah bergerak positif, meskipun koreksi Wall Street, dari sisi persentase tidak dalam 'persentase' penurunan terbesar harian (daily), tapi masuk sebagai penurunan yang terbesar dalam 1 minggu (weekly) sepanjang sejarah.

Market menjadi inferior dan harga-harga saham menjadi undervalued setelah sentimen negatif datang bertubi-tubi hingga terjadi turbulensi dan mengalami penurunan yang dramatis saat Black Wenesday tersebut.

Ditambah lagi waktu itu rentang perdagangan semakin lebar yang mencerminkan market berada dalam fluktuasi yang sangat tinggi dan sensitif terhadap apapun, terlebih jika diterpa sentimen atau issue yang negatif. Diperkuat lagi, waktu itu, dengan indikator volatilitas market -The fear index, VIX (Chicago Board Options Exchange Volatility Index)- yang di atas 75, tertinggi sepanjang sejarah.

Nah, bailout yang diberikan pemerintah AS waktu itu bukanlah akhir, tapi awal dari proses dari titik nadir yang terjadi di bursa saham domestik. Pelaku pasar waktu itu berharap pada ada stimulasi lanjutan untuk menkonter berita negatif yang ada di pasar, khususnya bagi investor di bursa saham domestik, sehingga ketajuhan IHSG hingga 10% tidak terjadi lagi.

Likuiditas Seret
Apalagi pada waktu itu di pasar keuangan domestik, likuiditas benar-benar kering membuat pelaku bursa semakin ironis dan complicated. Pasalnya bukan hanya pasar modal saja yang mengalami pelemahan, tetapi sekarang diikuti juga oleh pasar uang (Rupiah).

Namun, perlahan tapi pasti setelah 2008, aliran bailout dari AS mengalir juga hingga bursa domestik. Pelan tapi pasti IHSG mulai reli, dari level 1.555 di akhir 2008 hingga mencapai level 6.689,29 pada 19 Februari 2018. Artinya dalam kurun waktu hampir 10 tahun IHSG sudah mengalami kenaikan hingga 393,53%.

Lalu apa yang terjadi sekarang? Secara year to date IHSG terkoreksi 9,81%. Lagi-lagi bayangan krisis 1998 dan 2008 menghantui pelaku pasar.

Soal nalar dan psikologis pasar bercampur aduk dan saling mempengaruhi pelaku pasar. Persoalan lama dan klasik fundamental ekonomi Indonesia, tetap jadi argumentasi utama menjelaskan bagaimana pasar saham domestik yang rentan dengan sentimen krisis.

Triple defisit, defisit perdagangan, defisit transaksi berjalan dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jadi penyebab ekonomi Indonesia rapuh. Ketika tiga defisit ini tak tertangani jangan harap nilai tukar rupiah bisa stabil. Argumentasi ini terus mencuat karena ini ditengarai menyebabkan ekonomi Indonesia rapuh.

Nah, sekarang bisa kita lihat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali berada di level Rp 15.175 atau terdepresiasi 10% secara year to date. Level tersebut sama seperti rupiah 1998, saat Indonesia mengalami krisis ekonomi. Investor selalu khawatir akan terjadi persoalan besar terhadap ekonomi Indonesia jika rupiah terus merosot.

Bank Indonesia (BI) akhir pekan lalu juga baru saja merilis data terbaru cadangan devisa (cadev) per September 2018. Dalam data tersebut, posisi cadev berada di posisi US$ 114,8 miliar atau turun US$ 3,12 miliar dari bulan sebelumnya. Ini merupakan yang terendah sejak November 2016.

Artinya BI juga mulai hitung-hitungan untuk menjaga nilai tukar rupiah yang terus merosot. Ada kemungkinan BI akan menggunakan instrumen moneternya, dengan menaikkan lagi suku bunga acuan atau BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) untuk mengendalikan depresiasi rupiah terhadap dolar AS.

Namun sekali lagi, instrumen ini seperti pisau bermata dua, punya dua sisi kegunaan yang saling bertolak belakang. Jika BI 7DRRR naik, secara normal akan ditransmisikan ke kenaikan suku bunga kredit oleh bank-bank untuk menjaga likuiditas.

Efek buruknya, pelaku usaha enggan meminjam ke bank karena bunga tinggi. Padahal perbankan merupakan sumber utama pembiayaan usaha di Indonesia, ujung-ujungnya pertumbuhan ekonomi yang terganggu.

Kalau ekonomi terganggu, pemodal malas berinvestasi di pasar saham. Janji ada pertumbuhan ekonomilah yang membuat investor pede berinvestasi saham.

Nah, di sinilah ditunggu inisiatif pemerintah dalam memainkan peran sebagai pemilik otoritas fiskal. Banyak instrumen fiskal yang bisa digunakan untuk memberikan optimisme kepada pelaku usaha atau sektor riil. Kali ini kita akan tunggu lebih lanjut apa terobosan yang akan disampaikan pemerintah.

Sementara itu dari sisi eksternal, gejolak di pasar sahamg global kemungkinan belum kunjung reda selama AS dan China belum selesai membicarakan masalah dagang. Dua kekuatan utama ekonomi dunia tersebut terus bersitegang setelah Presiden AS Donald Trump tak rela dengan defisit dengan China terus membesar.

Penerapan tarif atas impor produk China akhirnya diberlakukan, yang kemudian dibalas dengan melakukan hal yang sama terhadap produk AS. Hingga saat ini, sentimen ini masih akan menjadi perhatian pelaku pasar modal.

Kemudian faktor eksternal lainnya, adalah langkah Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate) sebanyak 4 kali tahun ini dan tiga kali tahun 2019, untuk mengendalikan dampak inflasi yang sudah mulai tampak di AS karena perbaikan ekonomi negara tersebut.

Rencana The Fed menaikkan suku bunga acuan tersebut merupakan upaya untuk menarik likuiditas yang sepuluh tahun lalu dikeluarkan dalam bentuk bailout US$ 700 miliar kembali ke AS. Jadi pelan-pelan dana asing dari pasar saham Indonesia mulai kembali lagi. Itu tampak dari net sell investor asing di BEI secara year to date sudah mencapai Rp 53,56 triliun.

Kebijakan The Fed tersebut, dalam beberapa waktu sering memukul bursa saham dunia, termasuk Indonesia. Argumentasinya sama, The Fed naikkan suku bunga, ekonomi AS bisa terancam mandeg.

Lalu apa benang merah dari semua cerita panjang ini? Sebenarnya pelaku pasar tetap harus menyeimbangkan faktor logical dan psycological. Tetap perlu memperhatikan semua faktor fundamental men-drive pergerakan pergerakan pasar saham.

Mungkin bisa menerapkan strategi alokasi aset dan melakukan akumulasi saham-saham dengan fundamental yang baik dan teruji sehingga dapat diminimalkan kondisi-kondisi faktor risiko yang bersifat negatif.

Selain itu, sepertinya ini saatnya menerapkan strategi "value investing", dengan mengakumulasi saham-saham undervalued, yang dikenal dengan aksi bargain hunting.

Akhirnya saran yang layak diperhatikan, don't stay away from markets, just stay awake! Investor tidak tahu pasti kapan market akan mencapai bottom, dan setelah itu pasti market akan bergerak reversal dengan cepat tanpa bisa terkejar pergerakannya. Jadi yang paling baik adalah akumulasi beli pelan-pelan saja, terutama bagi investor yang long term player.

Salam Investasi.


(hps/hps)

Tags

Related Opinion
Recommendation