Mau Jadi Negara Maju? Indonesia Harus Ubah Sistem Rilis Data!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 January 2019 18:19
Anthony Kevin
Anthony Kevin
Sarjana Ekonomi yang mengawali karir sebagai ekonom di Kresna Sekuritas pada pertengahan 2015. Bersama CNBC Indonesia, dia memutuskan untuk terjun ke dunia jurnalistik sebagai Researcher. Lulusan UNIKA Atma Jaya ini fokus meneliti pasar modal dan ekonomi m.. Selengkapnya
Jika para pengambil kebijakan bisa membenahi sistem rilis data yang ada, penulis yakin bahwa investor akan lebih nyaman menanamkan uangnya di Ibu Pertiwi.
Foto: Seorang pedagang bekerja sebagai layar menunjukkan data pasar di pasar CMC di London, Inggris, 11 Desember 2018. REUTERS / Simon Dawson

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian Indonesia memang luar biasa besar. Pada tahun 2017, nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia telah menembus angka Rp 13.000 triliun.

Namun, tentu kita semua tahu bahwa Indonesia masih masuk dalam kategori negara berkembang dan bukan negara maju. Dibutuhkan nilai perekonomian yang lebih besar lagi supaya bisa naik kelas menjadi negara maju.

Pemerintah paham betul hal ini. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, mulai dari pembangunan infrastruktur secara masif hingga penyederhanaan birokrasi yang berbelit-belit. Dari sisi bank sentral, pergerakan nilai tukar rupiah terus dikawal dengan harapan bahwa minat dari investor asing dalam menanamkan dananya di tanah air menjadi bisa dijaga.

Namun, ada satu hal mudah yang sejatinya bisa dilakukan para pengambil kebijakan, yakni terkait dengan rilis data, baik data ekonomi, moneter, maupun fiskal.

Beberapa tahun yang lalu, penulis aktif menjadi trader di pasar saham Indonesia dan pasar valuta asing (foreign exchange/forex). Dari pengalaman ini, penulis merasakan perbedaan yang sangat signifikan kala bertransaksi di pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan luar negeri.

Ketika bertransaksi di pasar forex, penulis sudah tau seluruh data yang akan dirilis pada hari itu, baik data ekonomi, moneter, maupun fiskal. Ada kalender yang jelas yang bisa dilihat oleh investor.

Pada suatu waktu, penulis memiliki posisi di pair mata uang yang melibatkan dolar AS. Kalau tak salah, pair-nya adalah EUR/USD. Penulis beranjak pulang ke rumah dari kantor pada pukul 20:00 WIB. Karena sudah tahu pada pukul 20:30 WIB akan ada rilis tingkat pengangguran oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS, penulis menepi sejenak sekitar pukul 20:28 WIB.

Tepat pukul 20:30 WIB, penulis membuka halaman Forex Factory yang menyediakan kalender ekonomi secara gratis dan mendapati data tersebut sudah dirilis. Setelah sejenak berpikir, penulis mengambil langkah yang diperlukan untuk mengamankan posisi yang dimiliki.

Kemudian, penulis pernah memasang alarm pada pukul 01:55 WIB lantaran pada pukul 02:00 WIB tingkat suku bunga acuan terbaru akan diumumkan oleh The Federal Reserve yang merupakan bank sentral AS. Tepat pukul 02:00 WIB, datanya benar dirilis dan pengambilan keputusan penulis lakukan setelah sejenak berpikir.

Kini, mari beralih ke tanah air. Selama ini, pelaku pasar memang tahu pasti bahwa data inflasi akan diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada hari kerja pertama setiap bulan pada pukul 11:00 WIB. Perbedaannya dengan di luar negeri, Ketua BPS akan terlebih dulu memaparkan beberapa hal sebelum benar-benar membacakan angka inflasi.

Kemudian, kita berbicara mengenai tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Walaupun sudah kita ketahui tanggal dan jam rilisnya dari jauh-jauh hari, tingkat suku bunga acuan tak pernah benar-benar dirilis pada jam yang sudah dijadwalkan. Pasalnya, Gubernur BI akan membuka konferensi pers dengan lebih dahulu bercerita mengenai kondisi perekonomian global dan tanah air. Selepas itu, barulah tingkat suku bunga acuan terbaru diumumkan.

Parahnya lagi, BI pernah melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) hingga tengah malam. RDG yang digelar pada 20 Juli 2017 baru berakhir pada pukul 23:00 WIB. Alasannya, materi pembahasan yang cukup banyak, mencakup kondisi ekonomi global dan domestik.

Masih mengenai Bank Indonesia (BI), biasanya rilis data cadangan devisa terjadi setelah penutupan perdagangan. Tapi, untuk cadangan devisa periode November malah dirilis pada saat perdagangan berjalan, yakni sekitar pukul 14:00 WIB pada tanggal 7 Desember.

Terakhir, penulis ingin membahas dari sisi Kementerian Keuangan. Bagi investor di pasar modal tanah air, tentu realisasi penerimaan dan belanja pemerintah pusat menjadi begitu penting. Hal ini memberikan gambaran mengenai kuat-lemahnya laju perekonomian Indonesia serta memberikan petunjuk tentang laju perekonomian di masa depan.

Data mengenai realisasi penerimaan dan belanja pemerintah pusat dirilis oleh Kementerian Keuangan yang dibawahi oleh Sri Mulyani Indrawati.

Beberapa hari yang lalu, penulis sempat membuat tulisan yang menyoroti tingginya yield obligasi Indonesia. Pada saat itu, penulis mencoba mencari data realisasi penerimaan dan belanja pemerintah pusat dan yang pertama didapat penulis adalah dari halaman resmi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang merupakan bagian dari Kementerian Keuangan. Pada saat itu (hingga hari ini pun masih sama), publikasi APBN KiTa yang disajikan masih edisi September 2018.

Setelah mencari lebih jauh, penulis menemukan publikasi edisi November 2018 (sekarang sudah diperbarui dengan menambahkan edisi Desember 2018) di halaman resmi Kementerian Keuangan sendiri.

Jadi, untuk data yang sama, Kementerian Keuangan memiliki dua halaman berbeda untuk menyajikannya kepada investor dan masing-masing halaman ternyata tak diperbarui secara bersamaan.

Mau Jadi Negara Maju? Indonesia Harus Ubah Cara Rilis Data!Foto: APBN KiTa (dok. DJPPR dan Kemenkeu)

Waktunya Berbenah

Kini, sudah waktunya Indonesia berbenah. Seluruh data, baik ekonomi, moneter, maupun fiskal, terutama yang begitu diperhatikan investor seperti inflasi, ekspor-impor, tingkat suku bunga acuan, dan realisasi APBN sudah selayaknya dirilis pada waktu yang sudah terjadwal, tak perlu lagi ada konferensi pers yang kelewat panjang seperti saat ini.

Kalaupun mau ada konferensi pers, Indonesia bisa mengadopsi cara yang dilakukan oleh The Fed yakni dengan merilis dulu datanya sesuai jadwal, kemudian baru melakukan konferensi pers.

Selain itu, wadah publikasi yang digunakan haruslah jelas, jangan sampai kasus yang terjadi di Kementerian Keuangan terjadi di lembaga-lembaga lainnya.

Mungkin ada yang menganggap masalah rilis-merilis data yang penulis jelaskan panjang lebar ini sepele. Tapi sejatinya, hal ini begitu penting jika mengingat besarnya porsi kepemilikan investor asing di pasar modal tanah air.

Di pasar saham, melansir Statistik Mingguan Pasar Modal periode minggu keempat Desember 2018 yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), investor asing memegang sebesar 52,17% dari total saham yang tercatat di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) senilai Rp 3.561 triliun.

Di pasar surat utang, dari total surat berharga terbitan pemerintah Indonesia yang bisa diperdagangkan senilai Rp 2.392,36 triliun (posisi tanggal 10 Januari), sebanyak 37,81% dimiliki oleh investor asing.

Bagi investor asing yang sudah terbiasa bertransaksi di luar negeri yang sistem rilis datanya jauh lebih oke dari Indonesia, pastilah ada rasa tidak nyaman kala bertransaksi di sini.

Jika para pengambil kebijakan bisa membenahi sistem rilis data yang ada, penulis yakin bahwa investor, baik lokal maupun asing, akan merasa lebih nyaman menanamkan uangnya di Ibu Pertiwi.

Pada akhirnya, proses penggalangan dana (fundraising) baik oleh pemerintah maupun swasta akan lebih mudah dilakukan sehingga jalan Indonesia dalam menjadi negara maju kian terbuka lebar.

"It is a capital mistake to theorize before one has data" - Sherlock Holmes, A Study in Scarlett



(roy)

Tags

Related Opinion
Recommendation