Dolar AS Hampir Rp 14.000, Ekonom: Ada Faktor Domestik Juga

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
25 April 2018 08:15
Tidak hanya tekanan eksternal, faktor ekonomi dalam negeri juga ikut memengaruhi pelemahan rupiah terhadap dolar AS yang hampir menyentuh Rp 14.000/US$.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang hampir menembus level Rp 14.000/US$ tidak hanya membuat bos bank-bank besar angkat bicara. Beragam pandangan yang menyebabkan rupiah anjlok pun mengemuka dari pelaku pasar, bahkan dari mantan Menteri Keuanggan.

Sebagian ekonom menilai, tekanan terhadap rupiah murni berasal dari eksternal. Namun ada juga perspektif yang menyebut, bahwa pelemahan tersebut tidak hanya berasal dari ketidakpastian global melainkan juga dari faktor domestik.


Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri memandang kondisi global bukanlah satu-satunya sentimen yang akan memengaruhi gerak rupiah. Pelaku pasar tidak hanya mengkhawatirkan kenaikan suku bunga acuan AS, Fed Fund Rate, yang semakin agresif, melainkan juga faktor ekonomi domestik,

"Bila dikombinasikan dengan berbagai policy yang bisa membuat investor khawatir, seperti price control, risiko over leverage BUMN, contingent liabilities, pressure terhadap rupiah akan semakin kuat," kata Chatib, dikutip melalui akun Twitter-nya, Rabu (25/4/2018).

Kekhawatiran tersebut, sambung dia, perlu direspons Bank Indonesia (BI) maupun pemerintah untuk kembali meningkatkan kepercayaan pelaku pasar. Pasalnya, sudah ada beberapa indikator yang menunjukan bahwa terjadi krisis kepercayaan.

"[...] Undisbursed loan masih tinggi. Ini menunjukkan permintaan yang lemah dan confidence. Karena itu role dari fiskal menjadi penting," jelasnya.

"[Penerbitan] Komodo Bond yang terlalu agresif juga dapat membuat rupiah rentan. Investornya mungkin baik, namun dengan rupiah yang melemah, return mereka menjadi turun dan bukan tidak mungkin akan hit NDF [non-deliverable forward], yang pada gilirannya menekan rupiah," tambah Chatib.

UOB Indonesia menyebut nilai tukar rupiah bukan menjadi satu-satunya mata uang yang melemah terhadap greenback. Hal ini seiring dengan ekspektasi kenaikan FFR yang kemudian membuat aliran modal asing di berbagai negara, termasuk Indonesia, lari ke AS.

Namun secara fundamental, sendi-sendi ekonomi Indonesia masih cukup baik meskipun ada potensi pelebaran defisit transaksi berjalan tahun ini. Pergerakan dolar AS yang hampir menyentuh Rp 14.000/US$, pun dianggap bersifat sementara.

"Ini dampaknya temporary, karena dari kondisi makro ekonomi kita tidak ada masalah. Kalau ada masalah, tidak mungkin Moody's meng-upgrade rating kita, " kata Kepala Ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja.

Pendapat berbeda disampaikan Universitas Indonesia (UI). Fundamental ekonomi Indonesia dianggap belum cukup maksimal menahan derasnya aliran modal keluar dari pasar keuangan domestik, yang pada akhirnya membuat rupiah semakin tertekan.

"Seharusnya rupiah bisa di level Rp 13.500/US$-Rp13.600/US$. Kalau dibandingkan antara AS dan Indonesia sekarang, mereka [investor] cenderung memilih ke sana [AS]," kata Ekonom UI Fithra Hastiadi.


Menurut dia, rupiah masih berpotensi melanjutkan tren penurunan di tengah gonjang-ganjing ekonomi global, seperti ekspektasi kenaikan FFR, isu perang dagang antara AS dan China, sampai dengan risiko geopolitik yang terjadi di Timur Tengah.

Selama tidak ada sentimen positif di pasar, maka mustahil bagi rupiah bergerak menguat, kata Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah. Kuncinya ada di BI maupun pemerintah untuk bagaimana meningkatkan kepercayaan pasar terhadap prospek ekonomi Indonesia.

"Selama belum ada berita yang meningkatkan sentimen positif di pasar, nilai tukar rupiah akan tetap fragile. Tugas BI dan pemerintah untuk menjaga keyakinan, setidaknya jangan sampai terjadi kepanikan," ujarnya.
(prm) Next Article Era 'Diskon' Rupiah Masih Berlanjut

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular