
Dolar Nyaris Rp 14.000, Bankir: Obatnya Kenaikan Suku Bunga
Gita Rossiana, CNBC Indonesia
25 April 2018 07:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa hari terakhir dan mendekati Rp 14.000/US$. Sentimen global dinilai paling kencang mempengaruhi depresiasi tersebut.
Sejumlah bankir menilai obat dari pelemahan rupiah ini hanya satu, yakni kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia, BI 7-day reverse repo rate.
Presiden Direktur PT. Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan kondisi makroekonomi Indonesia saat ini semakin baik. Namun, hal tersebut tidak diikuti oleh pergerakan suku bunga acuan sesuai dengan tren global di mana bank sentral beberapa negara mulai mengetatkan kebijakan moneternya.
"Cuma masalah suku bunga yang tidak ikut tren global sehingga nilai tukar rupiah agak terganggu," ujarnya, Selasa (24/4/2018).
Menurut Jahja, apabila suku bunga acuan naik sedikit, nilai tukar rupiah akan lebih stabil. Pasalnya, suku bunga acuan, nilai tukar, dan cadangan devisa saling berkaitan.
Kenaikan suku bunga acuan ini pun, sambungnya, tidak perlu terlalu tinggi.
"Harusnya tidak banyak, sekitar 0,25%," kata bos bank swasta terbesar di Indonesia itu.
Secara terpisah, Direktur Utama PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) Kartika Wirjoatmodjo juga menilai suku bunga acuan BI bisa bergerak naik dengan adanya potensi kenaikan suku bunga kebijakan bank sentral AS, Fed Fund Rate (FFR).
Kartika mengungkapkan dengan kondisi ekonomi AS yang sedang bagus yang ditunjukkan melalui kenaikan inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi, ada kemungkinan kenaikan FFR akan dipercepat.
"Ada kemungkinan diakselerasi dari semester kedua atau kuartal IV-2018," ujar dia.
Dengan adanya hal tersebut, arah kebijakan bank sentral Indonesia memang akan cenderung mengetat juga.
"Arah kebijakan sudah mulai menaik, tinggal tunggu timing-nya [kenaikan suku bunga]," kata dia.
Kendati demikian, hal tersebut tidak lantas disikapi oleh perbankan dengan langsung menaikkan suku bunga simpanan dan kredit. Pasalnya, suku bunga acuan perlu waktu untuk dapat tertransmisikan menjadi suku bunga simpanan dan kredit di bank.
Malahan, menurut Kartika, masih ada ruang untuk penurunan suku bunga kredit pada kuartal II dan III-2018 karena biaya dana yang sudah menurun dari periode sebelumnya.
"Kalaupun suku bunga acuan naik, selama kredit tidak tumbuh cepat, tidak usah khawatir terhadap [kenaikan] suku bunga kredit," tegasnya.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo sebelumnya mengatakan ruang pergerakan suku bunga acuan semakin sempit akibat adanya berbagai risiko global, seperti pengetatan pasar keuangan dunia, kenaikan harga minyak, dan berlanjutnya perang dagang AS dan China.
"Room penurunan suku bunga relatif kecil ke depannya," kata Dody dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 19 April lalu.
"Kita sampai saat ini menjaga suku bunga tetap dengan segala risiko yang dikalkulasikan dengan keseimbangan current account," imbuhnya.
(prm) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!
Sejumlah bankir menilai obat dari pelemahan rupiah ini hanya satu, yakni kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia, BI 7-day reverse repo rate.
Presiden Direktur PT. Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan kondisi makroekonomi Indonesia saat ini semakin baik. Namun, hal tersebut tidak diikuti oleh pergerakan suku bunga acuan sesuai dengan tren global di mana bank sentral beberapa negara mulai mengetatkan kebijakan moneternya.
Menurut Jahja, apabila suku bunga acuan naik sedikit, nilai tukar rupiah akan lebih stabil. Pasalnya, suku bunga acuan, nilai tukar, dan cadangan devisa saling berkaitan.
Kenaikan suku bunga acuan ini pun, sambungnya, tidak perlu terlalu tinggi.
"Harusnya tidak banyak, sekitar 0,25%," kata bos bank swasta terbesar di Indonesia itu.
Secara terpisah, Direktur Utama PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) Kartika Wirjoatmodjo juga menilai suku bunga acuan BI bisa bergerak naik dengan adanya potensi kenaikan suku bunga kebijakan bank sentral AS, Fed Fund Rate (FFR).
Kartika mengungkapkan dengan kondisi ekonomi AS yang sedang bagus yang ditunjukkan melalui kenaikan inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi, ada kemungkinan kenaikan FFR akan dipercepat.
"Ada kemungkinan diakselerasi dari semester kedua atau kuartal IV-2018," ujar dia.
Dengan adanya hal tersebut, arah kebijakan bank sentral Indonesia memang akan cenderung mengetat juga.
"Arah kebijakan sudah mulai menaik, tinggal tunggu timing-nya [kenaikan suku bunga]," kata dia.
Kendati demikian, hal tersebut tidak lantas disikapi oleh perbankan dengan langsung menaikkan suku bunga simpanan dan kredit. Pasalnya, suku bunga acuan perlu waktu untuk dapat tertransmisikan menjadi suku bunga simpanan dan kredit di bank.
Malahan, menurut Kartika, masih ada ruang untuk penurunan suku bunga kredit pada kuartal II dan III-2018 karena biaya dana yang sudah menurun dari periode sebelumnya.
"Kalaupun suku bunga acuan naik, selama kredit tidak tumbuh cepat, tidak usah khawatir terhadap [kenaikan] suku bunga kredit," tegasnya.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo sebelumnya mengatakan ruang pergerakan suku bunga acuan semakin sempit akibat adanya berbagai risiko global, seperti pengetatan pasar keuangan dunia, kenaikan harga minyak, dan berlanjutnya perang dagang AS dan China.
"Room penurunan suku bunga relatif kecil ke depannya," kata Dody dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 19 April lalu.
"Kita sampai saat ini menjaga suku bunga tetap dengan segala risiko yang dikalkulasikan dengan keseimbangan current account," imbuhnya.
(prm) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular