
Dolar Dekati Rp 14.000, Gubernur BI Buka Suara
Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
24 April 2018 07:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan keperkasaannya sehingga membuat nilai tukar rupiah terpuruk mendekati Rp 14.000/US$. Bank Indonesia (BI) telah melakukan intervensi dalam jumlah besar untuk menjaga nilai rupiah tetap stabil.
"Mata uang AS yang pada hari Jumat kemarin menguat tajam terhadap semua mata uang dunia, termasuk rupiah, pada hari Senin ini kembali mengalami penguatan secara meluas (broadbased)," kata Gubernur BI Agus Martowardojo dalam keterangannya dari Washington DC, Selasa (24/4/2018).
Agus Marto menjelaskan penguatan dolar AS kemarin, Senin (23/4/2018), sama seperti yang terjadi di hari Jumat. Penguatan greenback masih dipicu oleh meningkatnya yield obligasi negara AS atau US Treasury bills mendekati level psikologis 3,0% dan munculnya kembali ekspektasi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, Fed Fund Rate (FFR), sebanyak lebih dari tiga kali selama 2018.
"Kenaikan yield dan suku bunga di AS itu sendiri dipicu oleh meningkatnya optimisme investor terhadap prospek ekonomi AS seiring berbagai data ekonomi AS yang terus membaik dan tensi perang dagang antara AS dan China yang berlangsung selama tahun 2018 ini," kata Agus.
Sejalan dengan itu, menurut Agus, pada hari Senin kemarin semua mata uang negara maju kembali melemah terhadap dolar, antara lain yen Jepang (-0,25%), dolar Singapura (-0,35%), dan euro (-0,31%). Dalam periode yang sama, mayoritas mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia, juga melemah.
"Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai fundamentalnya, Bank Indonesia telah melakukan intervensi baik di pasar valas [valuta asing] maupun pasar SBN [surat Berharga Negara] dalam jumlah cukup besar," tegas Agus.
"Dengan upaya tersebut rupiah yang pada hari Jumat sempat terdepresiasi sebesar -0,70%, pada hari Senin hanya melemah -0,12%, lebih rendah daripada depresiasi yang terjadi pada mata uang negara-negara emerging market dan Asia lainnya, seperti peso Filipina -0,32%, India rupee -0,56%, baht Thailand -0,57%," imbuh Agus.
Lebih jauh, Agus menekankan bank sentral akan terus memonitor dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah, baik yang dipicu oleh gejolak global maupun dalam negeri.
Gejolak global, di antaranya adalah dampak kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-China, kenaikan harga minyak, dan eskalasi tensi geopolitik terhadap berlanjutnya arus keluar asing dari pasar SBN dan saham Indonesia. Sementara itu, risiko dari dalam negeri bersumber dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik terkait kebutuhan pembayaran impor, utang luar negeri, dan dividen yang biasanya cenderung meningkat pada triwulan II.
"Untuk itu, Bank Indonesia akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamentalnya," tutup Agus.
(prm) Next Article Era 'Diskon' Rupiah Masih Berlanjut
"Mata uang AS yang pada hari Jumat kemarin menguat tajam terhadap semua mata uang dunia, termasuk rupiah, pada hari Senin ini kembali mengalami penguatan secara meluas (broadbased)," kata Gubernur BI Agus Martowardojo dalam keterangannya dari Washington DC, Selasa (24/4/2018).
Agus Marto menjelaskan penguatan dolar AS kemarin, Senin (23/4/2018), sama seperti yang terjadi di hari Jumat. Penguatan greenback masih dipicu oleh meningkatnya yield obligasi negara AS atau US Treasury bills mendekati level psikologis 3,0% dan munculnya kembali ekspektasi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, Fed Fund Rate (FFR), sebanyak lebih dari tiga kali selama 2018.
Sejalan dengan itu, menurut Agus, pada hari Senin kemarin semua mata uang negara maju kembali melemah terhadap dolar, antara lain yen Jepang (-0,25%), dolar Singapura (-0,35%), dan euro (-0,31%). Dalam periode yang sama, mayoritas mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia, juga melemah.
"Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai fundamentalnya, Bank Indonesia telah melakukan intervensi baik di pasar valas [valuta asing] maupun pasar SBN [surat Berharga Negara] dalam jumlah cukup besar," tegas Agus.
"Dengan upaya tersebut rupiah yang pada hari Jumat sempat terdepresiasi sebesar -0,70%, pada hari Senin hanya melemah -0,12%, lebih rendah daripada depresiasi yang terjadi pada mata uang negara-negara emerging market dan Asia lainnya, seperti peso Filipina -0,32%, India rupee -0,56%, baht Thailand -0,57%," imbuh Agus.
Lebih jauh, Agus menekankan bank sentral akan terus memonitor dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah, baik yang dipicu oleh gejolak global maupun dalam negeri.
Gejolak global, di antaranya adalah dampak kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-China, kenaikan harga minyak, dan eskalasi tensi geopolitik terhadap berlanjutnya arus keluar asing dari pasar SBN dan saham Indonesia. Sementara itu, risiko dari dalam negeri bersumber dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik terkait kebutuhan pembayaran impor, utang luar negeri, dan dividen yang biasanya cenderung meningkat pada triwulan II.
"Untuk itu, Bank Indonesia akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamentalnya," tutup Agus.
(prm) Next Article Era 'Diskon' Rupiah Masih Berlanjut
Most Popular