
Internasional
Rencana Persekutuan Baru Arab Saudi-Rusia Akan Lemahkan OPEC
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
19 April 2018 15:47

Dubai, CNBC Indonesia - Arab Saudi berharap bisa membawa Rusia ke dalam kelompok raksasa minyak global untuk meneruskan pasar yang stabil, membuat peran Organisasi Negara-Negara Pengeskpor Minyak Bumi (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) dipertanyakan, kata para analis.
Perserikatan baru yang dipelopori oleh Riyadh dan Moskow itu diprediksi akan lebih besar daripada kartel minyak OPEC yang beranggotakan 14 negara. Organisasi itu telah mendominasi pasar energi global selama enam dekade.
Namun, para pakar mengatakan perluasan kelompok yang akan melibatkan Rusia itu memberi arti bahwa kekuasaan OPEC terhadap minyak global mulai memudar, atau "mati", dilansir dari AFP.
Pada bulan Januari, Arab Saudi sebagai tokoh OPEC mengemukakan gagasan untuk memperluas perjanjian kerja sama yang diselenggarakan tahun 2016 oleh 24 produsen OPEC dan non-OPEC dalam memangkas produksi dan mempertahankan harga.
Pejabat papan atas Saudi, termasuk Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman dan Menteri Energi Khaled al-Faleh sudah meminta sebuah kerangka kerja jangka panjang di antara para produsen minyak.
Gagasan tersebut mendapat dukungan kuat dari beberapa anggota OPEC, khususnya Uni Emirat Arab dan Kuwait.
Juru Bicara Kremlin bulan lalu mengatakan Rusia dan Arab Saudi sudah mendiskusikan "berbagai macam pilihan" mengenai kerja sama di pasar minyak global.
Negara-negara OPEC dan non-OPEC akan bertemu di Jeddah, Arab Saudi, pada hari Jumat (20/4/2018), untuk menaksir penyesuaian pemangkasan produksi dan mendiskusikan potensi kerja sama jangka panjang.
Para produsen mendapat suntikan semangat dari kesuksesan kerja sama yang lebih luas, yang membantu mengembalikan keseimbangan pasar minyak mentah, menaikkan harga dari US$26 (Rp 358.358) per barel menjadi di atas $70 per barel.
'Babak baru'
Sekretaris Jenderal OPEC Mohammed Barkindo pada hari Senin (16/4/2018) memuji perjanjian kerja sama itu sebagai sebuah "kesuksesan besar" yang bantu mengatasi "siklus terburuk dalam sejarah perminyakan".
Kamel al-Harami, pakar minyak dari Kuwait, berkata "akan lebih sulit meraih kesuksesan tersebut hanya dengan OPEC saja".
Ia mengatakan kepada AFP bahwa pada akarnya, perjanjian baru "sebenarnya nampak seperti persekutuan Saudi-Rusia".
Kesepakatan, yang memangkas produksi 1,8 juta barel per hari, telah menghapuskan surplus minyak sebanyak lebih dari 300 juta barel dan menurunkan persediaan ekstra minyak mentah menjadi hanya 50 juta barel.
Mohammed al-Rumhi, Menteri Perminyakan Oman yang merupakan negara non-OPEC, berkata di sebuah konferensi perminyakan di Kuwait pada hari Senin bahwa rahasia kesuksesan kesepakatan adalah penyesuaian dengan pemangkasan produksi.
Namun ia memperingatkan "permainan belum usai", dengan meminta para produsen meneruskan kerja sama demi mempertahankan kondisi pasar.
"Dua pemasok minyak konvensional terbesar di dunia, Saudi dan Rusia, bisa bekerja sama untuk mempertahankan kestabilan harga atau saling melawan satu sama lain dengan meningkatkan produksi supaya membunuh pasar produsen minyak shale. Namun di saat yang sama, mereka bunuh diri," kata Jean-Francois Seznec, pakar minyak di US Johns Hopkins University.
"Satu-satunya pendekatan yang logis dan cerdas adalah mempertahankan kestabilan harga," katanya kepada AFP.
Harga minyak terpuruk di pertengahan tahun 2014 karena produsen minyak, terutama Arab Saudi, menolak memangkas produksi untuk mempertahankan pangsa pasar dari kompetisi ketat dengan minyak shale AS. Pada akhirnya hal itu menyebabkan surplus minyak yang sangat besar.
Kemudian Saudi memutarbalik usahanya dengan memangkas lebih dalam daripada kuota yang diwajibkan demi memastikan kesuksesan perjanjian itu.
Barkindo menyebut persekutuan Saudi-Rusia sebagai "babak baru" dalam sejarah industri perminyakan.
Dalam beberapa bulan ke depan, para produsen akan mencoba "melembagakan kerangka kerja jangka panjang ini" dengan partisipasi inklusif dan berbasis luas, katanya.
'Kematian de facto'
Bulan lalu, Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail al-Mazrouei mengatakan "draf piagam" untuk persekutuan baru itu akan diselesaikan di akhir tahun 2018 ketika perjanjian yang sedang berjalan berakhir.
Faleh, Menteri Energi Saudi, mengatakan kemitraan dengan Rusia akan berlangsung selama beberapa "dekade dan generasi".
Dia berharap hal itu akan menyampaikan pesan bahwa kerajaan sedang mengincar perluasan kemitraan di luar lingkaran OPEC.
Para analis yakin persekutuan baru itu akan, setidaknya, melemahkan peran OPEC di perminyakan global.
"OPEC kehilangan sebagian cahayanya ketika Rusia bergabung dengan perjanjian kerja sama. [...] Itu adalah pesan sederhana bahwa [organisasi] itu tidak bisa bekerja sendiri," kata Harami.
Seznec, dari John Hopkins University, mengatakan "OPEC mati secara de facto", tetapi masih berguna karena memberi Arab Saudi sebuah forum pertukaran dengan para produsen minor.
Anas al-Hajji, seorang pakar perminyakan yang berbasis di Houston, Texas, mengatakan persekutuan baru itu nampaknya akan mendominasi pasar minyak global.
"OPEC adalah kelompok untuk produsen minyak dan pusat penelitian yang tidak akan berakhir, tapi pertanyaannya adalah tentang pusat dari kekuasan [minyak]. Itu tentang Arab Saudi dan Rusia," kata Hajji kepada AFP.
(prm) Next Article Wajarkah Arab Saudi Marah ke OPEC?
Perserikatan baru yang dipelopori oleh Riyadh dan Moskow itu diprediksi akan lebih besar daripada kartel minyak OPEC yang beranggotakan 14 negara. Organisasi itu telah mendominasi pasar energi global selama enam dekade.
Namun, para pakar mengatakan perluasan kelompok yang akan melibatkan Rusia itu memberi arti bahwa kekuasaan OPEC terhadap minyak global mulai memudar, atau "mati", dilansir dari AFP.
Pejabat papan atas Saudi, termasuk Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman dan Menteri Energi Khaled al-Faleh sudah meminta sebuah kerangka kerja jangka panjang di antara para produsen minyak.
Gagasan tersebut mendapat dukungan kuat dari beberapa anggota OPEC, khususnya Uni Emirat Arab dan Kuwait.
Juru Bicara Kremlin bulan lalu mengatakan Rusia dan Arab Saudi sudah mendiskusikan "berbagai macam pilihan" mengenai kerja sama di pasar minyak global.
Negara-negara OPEC dan non-OPEC akan bertemu di Jeddah, Arab Saudi, pada hari Jumat (20/4/2018), untuk menaksir penyesuaian pemangkasan produksi dan mendiskusikan potensi kerja sama jangka panjang.
Para produsen mendapat suntikan semangat dari kesuksesan kerja sama yang lebih luas, yang membantu mengembalikan keseimbangan pasar minyak mentah, menaikkan harga dari US$26 (Rp 358.358) per barel menjadi di atas $70 per barel.
'Babak baru'
Sekretaris Jenderal OPEC Mohammed Barkindo pada hari Senin (16/4/2018) memuji perjanjian kerja sama itu sebagai sebuah "kesuksesan besar" yang bantu mengatasi "siklus terburuk dalam sejarah perminyakan".
Kamel al-Harami, pakar minyak dari Kuwait, berkata "akan lebih sulit meraih kesuksesan tersebut hanya dengan OPEC saja".
Ia mengatakan kepada AFP bahwa pada akarnya, perjanjian baru "sebenarnya nampak seperti persekutuan Saudi-Rusia".
Kesepakatan, yang memangkas produksi 1,8 juta barel per hari, telah menghapuskan surplus minyak sebanyak lebih dari 300 juta barel dan menurunkan persediaan ekstra minyak mentah menjadi hanya 50 juta barel.
Mohammed al-Rumhi, Menteri Perminyakan Oman yang merupakan negara non-OPEC, berkata di sebuah konferensi perminyakan di Kuwait pada hari Senin bahwa rahasia kesuksesan kesepakatan adalah penyesuaian dengan pemangkasan produksi.
Namun ia memperingatkan "permainan belum usai", dengan meminta para produsen meneruskan kerja sama demi mempertahankan kondisi pasar.
"Dua pemasok minyak konvensional terbesar di dunia, Saudi dan Rusia, bisa bekerja sama untuk mempertahankan kestabilan harga atau saling melawan satu sama lain dengan meningkatkan produksi supaya membunuh pasar produsen minyak shale. Namun di saat yang sama, mereka bunuh diri," kata Jean-Francois Seznec, pakar minyak di US Johns Hopkins University.
"Satu-satunya pendekatan yang logis dan cerdas adalah mempertahankan kestabilan harga," katanya kepada AFP.
Harga minyak terpuruk di pertengahan tahun 2014 karena produsen minyak, terutama Arab Saudi, menolak memangkas produksi untuk mempertahankan pangsa pasar dari kompetisi ketat dengan minyak shale AS. Pada akhirnya hal itu menyebabkan surplus minyak yang sangat besar.
Kemudian Saudi memutarbalik usahanya dengan memangkas lebih dalam daripada kuota yang diwajibkan demi memastikan kesuksesan perjanjian itu.
Barkindo menyebut persekutuan Saudi-Rusia sebagai "babak baru" dalam sejarah industri perminyakan.
Dalam beberapa bulan ke depan, para produsen akan mencoba "melembagakan kerangka kerja jangka panjang ini" dengan partisipasi inklusif dan berbasis luas, katanya.
'Kematian de facto'
Bulan lalu, Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail al-Mazrouei mengatakan "draf piagam" untuk persekutuan baru itu akan diselesaikan di akhir tahun 2018 ketika perjanjian yang sedang berjalan berakhir.
Faleh, Menteri Energi Saudi, mengatakan kemitraan dengan Rusia akan berlangsung selama beberapa "dekade dan generasi".
Dia berharap hal itu akan menyampaikan pesan bahwa kerajaan sedang mengincar perluasan kemitraan di luar lingkaran OPEC.
Para analis yakin persekutuan baru itu akan, setidaknya, melemahkan peran OPEC di perminyakan global.
"OPEC kehilangan sebagian cahayanya ketika Rusia bergabung dengan perjanjian kerja sama. [...] Itu adalah pesan sederhana bahwa [organisasi] itu tidak bisa bekerja sendiri," kata Harami.
Seznec, dari John Hopkins University, mengatakan "OPEC mati secara de facto", tetapi masih berguna karena memberi Arab Saudi sebuah forum pertukaran dengan para produsen minor.
Anas al-Hajji, seorang pakar perminyakan yang berbasis di Houston, Texas, mengatakan persekutuan baru itu nampaknya akan mendominasi pasar minyak global.
"OPEC adalah kelompok untuk produsen minyak dan pusat penelitian yang tidak akan berakhir, tapi pertanyaannya adalah tentang pusat dari kekuasan [minyak]. Itu tentang Arab Saudi dan Rusia," kata Hajji kepada AFP.
(prm) Next Article Wajarkah Arab Saudi Marah ke OPEC?
Most Popular