
Internasional
IMF Ingatkan Peningkatan Risiko Kredit di Era Easy-Money
Prima Wirayani, CNBC Indonesia
11 April 2018 08:27

Washington, CNBC Indonesia - Kebijakan moneter longgar (easy-money) yang diterapkan setelah krisis finansial telah mengarah pada kenaikan risiko utang korporasi yang dapat menghambat pertumbuhan, kata Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF) dalam laporannya hari Selasa (10/4/2018).
Dilansir dari AFP, tingkat risiko kredit secara global telah rebound ke level tertingginya pada tahun 2016, menurut data tahun paling akhir yang tersedia, menurut laporan tersebut.
"Karena kondisi keuangan yang melonggar tahun 2017, risiko penyaluran kredit bisa saja naik lebih tinggi," kata laporan IMF yang merupakan bagian dari laporan semi-tahunan Global Financial Stability Report.
"Kondisi ini telah membuat khawatir kalangan pembuat kebijakan dan analis pasar bahwa kredit korporasi non-finansial telah dialokasikan kepada perusahaan-perusahaan berisiko, terutama di negara-negara maju, dan membahayakan kestabilan keuangan ke depannya," kata IMF.
Meskipun risiko lebih besar yang diambil lembaga-lembaga intermediasi keuangan bisa jadi merupakan bagian dari pemulihan ekonomi yang sehat, hal itu mungkin saja menumbuhkan kerapuhan yang dapat menghambat pertumbuhan bila terjadi secara berlebihan, lanjutnya.
Bank-bank sentral di seluruh dunia memangkas suku bunga acuannya dan mengambil langkah pembelian obligasi dalam jumlah yang luar biasa besar sebagai respons atas krisis finansial tahun 2008. Langkah itu mengantarkan perekonomian global pada era kebijakan moneter longgar yang telah berlangsung lama dan baru mulai berubah beberapa waktu lalu.
Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve, telah menaikkan suku bunga acuannya beberapa kali dalam 2,5 tahun terakhir dan bank sentral Eropa, European Central Bank (ECB), juga telah memberi sinyal akan segera mengakhiri program stimulusnya.
Laporan IMF itu merekomendasikan para pengawas keuangan untuk memonitor standar kredit secara berkelanjutan dan menggalakkan pengawasan dalam masa peningkatan pertumbuhan kredit.
Laporan itu juga menyatakan risiko ekspansi kredit sepertinya tidak akan meningkat signifikan bila pengawas perbankan negara tersebut lebih independen di mana pemerintah memiliki pengaruh lebih kecil terhadap sektor korporasi non-keuangan dan di mana perlindungan terhadap pemegang saham minoritas lebih besar.
Laporan dari lembaga pemeringkat internasional S&P Global Ratings di bulan Februari juga memperingatkan bahwa level utang korporasi yang lebih tinggi memberi risiko kredit yang signifikan.
"Pengaturan ulang harga yang besar di pasar obligasi atau normalisasi suku bunga pasar uang yang lebih cepat dari perkiraan dapat berdampak pada profil kredit, dan menyebabkan siklus gagal bayar selanjutnya," kata S&P.
(prm) Next Article Ini Risiko Ekonomi Asia Versi IMF
Dilansir dari AFP, tingkat risiko kredit secara global telah rebound ke level tertingginya pada tahun 2016, menurut data tahun paling akhir yang tersedia, menurut laporan tersebut.
"Karena kondisi keuangan yang melonggar tahun 2017, risiko penyaluran kredit bisa saja naik lebih tinggi," kata laporan IMF yang merupakan bagian dari laporan semi-tahunan Global Financial Stability Report.
Meskipun risiko lebih besar yang diambil lembaga-lembaga intermediasi keuangan bisa jadi merupakan bagian dari pemulihan ekonomi yang sehat, hal itu mungkin saja menumbuhkan kerapuhan yang dapat menghambat pertumbuhan bila terjadi secara berlebihan, lanjutnya.
Bank-bank sentral di seluruh dunia memangkas suku bunga acuannya dan mengambil langkah pembelian obligasi dalam jumlah yang luar biasa besar sebagai respons atas krisis finansial tahun 2008. Langkah itu mengantarkan perekonomian global pada era kebijakan moneter longgar yang telah berlangsung lama dan baru mulai berubah beberapa waktu lalu.
Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve, telah menaikkan suku bunga acuannya beberapa kali dalam 2,5 tahun terakhir dan bank sentral Eropa, European Central Bank (ECB), juga telah memberi sinyal akan segera mengakhiri program stimulusnya.
Laporan IMF itu merekomendasikan para pengawas keuangan untuk memonitor standar kredit secara berkelanjutan dan menggalakkan pengawasan dalam masa peningkatan pertumbuhan kredit.
Laporan itu juga menyatakan risiko ekspansi kredit sepertinya tidak akan meningkat signifikan bila pengawas perbankan negara tersebut lebih independen di mana pemerintah memiliki pengaruh lebih kecil terhadap sektor korporasi non-keuangan dan di mana perlindungan terhadap pemegang saham minoritas lebih besar.
Laporan dari lembaga pemeringkat internasional S&P Global Ratings di bulan Februari juga memperingatkan bahwa level utang korporasi yang lebih tinggi memberi risiko kredit yang signifikan.
"Pengaturan ulang harga yang besar di pasar obligasi atau normalisasi suku bunga pasar uang yang lebih cepat dari perkiraan dapat berdampak pada profil kredit, dan menyebabkan siklus gagal bayar selanjutnya," kata S&P.
(prm) Next Article Ini Risiko Ekonomi Asia Versi IMF
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular