
Kebijakan Moneter BI Triwulan-I: No Alarms and No Surprises..
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 April 2018 11:40

Berbagai data tersebut memberi gambaran bahwa kartu kenaikan FFR empat kali pada 2018 masih ada di atas meja, kemungkinannya tidak bisa dinafikan. Kala suku bunga AS sampai naik empat kali, maka instrumen investasi di Negeri Adidaya akan semakin menarik. Bila Indonesia menurunkan suku bunga, yang terjadi adalah arus modal akan keluar secara masif.
Sepanjang kuartal I, investor asing sudah membukukan jual bersih senilai Rp 23,5 triliun di pasar saham. Ini menjadi salah satu alasan rupiah melemah 1,4% dalam periode tersebut. Jika BI menurunkan suku bunga sementara di AS naik, arus modal keluar akan semakin besar dan rupiah tambah tertekan.
Itu baru bicara AS. Hawa pengetatan moneter juga sudah terasa di Eropa. Bank Sentral Inggris (BoE) memang masih menahan suku bunga acuan, tetapi Gubernur Mark Carney menyatakan kenaikan suku bunga lebih cepat dan lebih besar sepertinya sulit terhindarkan.
Bank Sentral Uni Eropa (BoE) pun sudah mulai bicara soal pengetatan moneter. Beberapa waktu lalu, Reuters melaporkan sejumlah pengambil kebijakan di ECB kini mulai berpikir untuk mengubah arah kebijakan.
Awalnya, alur pengetatan moneter dilakukan dengan mengurangi pembelian surat-surat berharga (quantitative easing). Namun kini mulai ada pemikiran agar langsung melalui kenaikan suku bunga meski secara bertahap.
Asia pun tak mau kalah. Bank Sentral China (PBoC), Bank Sentral Korea Selatan (BoK), dan Bank Sentral Malaysia (BNM) sudah menaikkan suku bunga sebagai antisipasi tren kenaikan suku bunga global.
Oleh karena itu, menurunkan suku bunga dekat-dekat dengan bunuh diri bagi Indonesia. Rupiah akan semakin melemah karena ditinggal modal asing, di kala devisa dari perdagangan menyusut karena tren impor yang tumbuh cepat melampaui ekspor.
Sementara menaikkan suku bunga agar menyamai negara-negara lain juga sepertinya bukan pilihan buat Indonesia. Bagaimanapun Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan suku bunga akan membuat likuiditas mengetat sehingga gerak ekonomi menjadi terbatas.
Pemerintah mengincar pertumbuhan ekonomi 5,4% untuk 2018, meningkat dibandingkan pencapaian 2017 yang 5,07%. Untuk itu dibutuhkan dukungan suku bunga yang kondusif, bukan pengetatan moneter. (aji/dru)
Sepanjang kuartal I, investor asing sudah membukukan jual bersih senilai Rp 23,5 triliun di pasar saham. Ini menjadi salah satu alasan rupiah melemah 1,4% dalam periode tersebut. Jika BI menurunkan suku bunga sementara di AS naik, arus modal keluar akan semakin besar dan rupiah tambah tertekan.
Itu baru bicara AS. Hawa pengetatan moneter juga sudah terasa di Eropa. Bank Sentral Inggris (BoE) memang masih menahan suku bunga acuan, tetapi Gubernur Mark Carney menyatakan kenaikan suku bunga lebih cepat dan lebih besar sepertinya sulit terhindarkan.
Awalnya, alur pengetatan moneter dilakukan dengan mengurangi pembelian surat-surat berharga (quantitative easing). Namun kini mulai ada pemikiran agar langsung melalui kenaikan suku bunga meski secara bertahap.
Asia pun tak mau kalah. Bank Sentral China (PBoC), Bank Sentral Korea Selatan (BoK), dan Bank Sentral Malaysia (BNM) sudah menaikkan suku bunga sebagai antisipasi tren kenaikan suku bunga global.
Oleh karena itu, menurunkan suku bunga dekat-dekat dengan bunuh diri bagi Indonesia. Rupiah akan semakin melemah karena ditinggal modal asing, di kala devisa dari perdagangan menyusut karena tren impor yang tumbuh cepat melampaui ekspor.
Sementara menaikkan suku bunga agar menyamai negara-negara lain juga sepertinya bukan pilihan buat Indonesia. Bagaimanapun Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan suku bunga akan membuat likuiditas mengetat sehingga gerak ekonomi menjadi terbatas.
Pemerintah mengincar pertumbuhan ekonomi 5,4% untuk 2018, meningkat dibandingkan pencapaian 2017 yang 5,07%. Untuk itu dibutuhkan dukungan suku bunga yang kondusif, bukan pengetatan moneter. (aji/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular