Kebijakan Moneter BI Triwulan-I: No Alarms and No Surprises..

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 April 2018 11:40
Kebijakan Moneter BI Triwulan-I: No Alarms and No Surprises..
Foto: REUTERS/Fatima El-Kareem
Jakarta, CNBC Indonesia -  No alarms and no surprises... Penggalan lagu No Surprises dari Radiohead itu cocok menggambarkan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) pada kuartal I-2018. Tidak ada alarm dan tidak ada kejutan.

Seperti yang diperkirakan, BI masih mempertahankan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate sebesar 4,25% selama Januari-Maret 2018. Dengan demikian, suku bunga acuan tidak berubah sejak September 2017.

Kebijakan Moneter Kuartal-I: No Alarms and No Surprises...BI

Pelaku pasar memperkirakan BI masih akan mempertahankan sikap (stance) netral di sisi kebijakan moneter sampai akhir 2018. Tidak bias longgar atau bias pengetatan. Hasilnya ada suku bunga kebijakan yang tetap.

Stance ini merupakan jalan tengah dari kebutuhan Indonesia. Penurunan suku bunga memang dikehendaki banyak pihak, untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Namun langkah ini sangat tidak bijaksana bila melihat tren kebijakan moneter global.

Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve sudah menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan bulan lalu. Sepanjang 2018, diperkirakan ada tiga kali kenaikan Federal Funds Rate (FFR). Namun peluang untuk kenaikan FFR lebih dari tiga kali masih terbuka, dengan syarat kinerja perekonomian AS membaik di atas perkiraan.

Misalnya dari sisi inflasi. The Fed menargetkan laju inflasi stabil di kisaran 2%. Sejak September, inflasi AS secara tahunan sudah stabil menembus 2%.

Kebijakan Moneter Kuartal-I: No Alarms and No Surprises...Reuters

Konsumsi masyarakat Negeri Paman Sam pun sepertinya sudah membaik. Pada Februari Personal Consumption Expenditure (PCE), yang sering menjadi rujukan The Fed, berada di 1,6%. Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 1,5%.

Kemudian di sisi pertumbuhan ekonomi. The Fed memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,7% pada 2018, lebih baik dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 2,5%.

Belum lagi angka pengangguran. Pada Februari angka pengangguran AS tercatat 4,1%, terendah dalam 17 tahun terakhir. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pengangguran turun menjadi 4%.
Berbagai data tersebut memberi gambaran bahwa kartu kenaikan FFR empat kali pada 2018 masih ada di atas meja, kemungkinannya tidak bisa dinafikan. Kala suku bunga AS sampai naik empat kali, maka instrumen investasi di Negeri Adidaya akan semakin menarik. Bila Indonesia menurunkan suku bunga, yang terjadi adalah arus modal akan keluar secara masif.

Sepanjang kuartal I, investor asing sudah membukukan jual bersih senilai Rp 23,5 triliun di pasar saham. Ini menjadi salah satu alasan rupiah melemah 1,4% dalam periode tersebut. Jika BI menurunkan suku bunga sementara di AS naik, arus modal keluar akan semakin besar dan rupiah tambah tertekan.

Itu baru bicara AS. Hawa pengetatan moneter juga sudah terasa di Eropa. Bank Sentral Inggris (BoE) memang masih menahan suku bunga acuan, tetapi Gubernur Mark Carney menyatakan kenaikan suku bunga lebih cepat dan lebih besar sepertinya sulit terhindarkan.

Bank Sentral Uni Eropa (BoE) pun sudah mulai bicara soal pengetatan moneter. Beberapa waktu lalu, Reuters melaporkan sejumlah pengambil kebijakan di ECB kini mulai berpikir untuk mengubah arah kebijakan.

Awalnya, alur pengetatan moneter dilakukan dengan mengurangi pembelian surat-surat berharga (quantitative easing). Namun kini mulai ada pemikiran agar langsung melalui kenaikan suku bunga meski secara bertahap.

Asia pun tak mau kalah. Bank Sentral China (PBoC), Bank Sentral Korea Selatan (BoK), dan Bank Sentral Malaysia (BNM) sudah menaikkan suku bunga sebagai antisipasi tren kenaikan suku bunga global.

Oleh karena itu, menurunkan suku bunga dekat-dekat dengan bunuh diri bagi Indonesia. Rupiah akan semakin melemah karena ditinggal modal asing, di kala devisa dari perdagangan menyusut karena tren impor yang tumbuh cepat melampaui ekspor.

Sementara menaikkan suku bunga agar menyamai negara-negara lain juga sepertinya bukan pilihan buat Indonesia. Bagaimanapun Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan suku bunga akan membuat likuiditas mengetat sehingga gerak ekonomi menjadi terbatas.

Pemerintah mengincar pertumbuhan ekonomi 5,4% untuk 2018, meningkat dibandingkan pencapaian 2017 yang 5,07%. Untuk itu dibutuhkan dukungan suku bunga yang kondusif, bukan pengetatan moneter. Dengan kondisi seperti ini, ruang yang tersisa bagi BI adalah kebijakan makroprudensial. Sisi ini yang bisa diutak-atik untuk tetap menjaga likuiditas sektor keuangan sembari mendukung pertumbuhan ekonomi.

Langkah ini sudah ditempuh pada Januari, yaitu mempercepat implementasi Giro Wajib Minimum (GWM) rata-rata. Dari total GWM rupiah bank umum konvensional sebesar 6,5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK), GWM rata-rata diperlonggar menjadi 2% dari DPK. Sementara, dari total GWM valas bank umum konvensional sebesar 8% dari DPK, porsi GWM rata-rata mulai diberlakukan sebesar 2% dari DPK.

Selain itu, BI juga mengubah ketentuan Loan to Funding Ratio (LFR) bagi bank konvensional dan Financing to Deposit Ratio (FDR) bagi bank syariah menjadi Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dengan target kisaran 80-92%. BI pun memperluas komponen kredit/pembiayaan yang memasukkan surat yang dibeli oleh bank dan memperluas komponen simpanan dengan memasukkan surat berharga yang diterbitkan bank.

Menahan suku bunga acuan dan memainkan kebijakan makroprudensial adalah pembacaan yang sudah ada sejak awal tahun, dan terjadi pada kuartal I. Untuk kuartal II, sepertinya BI pun masih menempuh langkah serupa. Nir kebijakan suku bunga dan lebih bermain di area makroprudensial.

Dalam hal kebijakan moneter, pada kuartal I (dan kemungkinan sampai akhir tahun) memang no alarms and no surprises...
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular