Review Q1 Komoditas

Problem Suplai Berlebih Masih Tekan Harga CPO dan Karet

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
03 April 2018 20:29
Problem Suplai Berlebih Masih Tekan Harga CPO dan Karet
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas agrikultur masih mengalami paceklik pada tiga bulan pertama tahun ini. Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO), yang menjadi salah satu komoditas ekspor utama Indonesia, terkoreksi 3,12%.

Namun, kontraksi harga CPO tersebut masih lebih lunak dibandingkan dengan situasi pada kuartal yang sama pada tahun 2017, ketika harga CPO anjlok hingga 14,89%.

Pada hari perdagangan terakhir bulan Maret 2018, harga CPO untuk kontrak pengiriman Juni 2018 tercatat sebesar 2.425 ringgit/ton, atau melemah 8,8% secara year-on-year (YoY). Sebagai catatan, harga CPO pada 30 Maret 2017 berada di angka 2.659 ringgit/ton.
Problem Suplai Berlebih Masih Tekan Harga CPO dan KaretSumber: Reuters, diolah
Sentimen negatif utama di balik penurunan harga itu adalah faktor suplai dan permintaan di bursa global, khususnya dari China dan negara-negara Uni Eropa. Melemahnya permintaan CPO dari Negeri Tirai Bambu juga dipicu tingginya pasokan minyak kedelai dan minyak nabati lainnya di negara tersebut.

Penurunan permintaan CPO global terindikasi dari turunnya ekspor dua negara eksportir CPO terbesar di dunia, yakni Indonesia dan Malaysia. Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), ekspor CPO dan produk turunannya (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical) pada Januari 2018 hanya tumbuh 4% dibandingkan dengan Desember 2017.

GAPKI menambahkan rendahnya pertumbuhan ekspor tersebut lantaran permintaan dari China yang anjlok 15%, dari 362.500 ton menjadi 307.490 ton, sementara permintaan dari negara-negara Uni Eropa juga melemah 8% menjadi 479.940 ton dari sebelumnya 404.220 ton.

Di sisi lain, permintaan dari India hanya naik tipis 1% ke 598.350 ton.
Setali tiga uang dengan Indonesia, ekspor CPO Malaysia pada Februari 2018 juga turun 13,33% secara month to month (MtM) menjadi 1,31 juta ton, mengutip data Malaysian Palm Oil Board (MPOB).
Problem Suplai Berlebih Masih Tekan Harga CPO dan KaretSumber: MPOB, diolah

Di tengah situasi suplai berlebih, angin panas berhembus dari India dan menerpa harga CPO. Negara konsumen utama CPO terbesar dunia ini menaikkan tarif impor CPO dari 30% menjadi 44%. Tarif impor produk turunan minyak sawit juga dinaikkan dari 40% menjadi 54%.

Kebijakan tersebut berlaku per 1 Maret 2018.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), India merupakan tujuan ekspor utama CPO Indonesia, dengan nilai mencapai US$4,9 miliar atau 7,32 juta ton pada tahun lalu. Kebijakan Negeri Bollywood itu memberikan sentimen negatif karena produk CPO jari kurang kompetitif di India hingga menjadi pemberat harga CPO di kuartal I/2018.

Harapan kenaikan harga pun bertumpu pada penurunan suplai. Namun, sayangnya penurunan stok CPO di Malaysia masih belum memenuhi ekspektasi pasar meski stok pada Februari telah turun 2,85% ke 2,48 juta ton.
Problem Suplai Berlebih Masih Tekan Harga CPO dan KaretSumber: MPOB, diolah
Penurunan stok tersebut masih berada di atas konsensus yang dihimpun Reuters yang memprediksikan stok minyak sawit Malaysia pada Februari 2018 menurun 6,9% ke 2,37 juta ton.

Selain itu, dibandingkan dengan periode yang sama dengan tahun sebelumnya, stok minyak sawit Malaysia sudah bertambah sebesar 69,79%. Alhasil, perkembangan stok Malaysia ini mengindikasikan pasokan CPO dari negara tersebut masih melimpah hingga tak bisa menolong mengerek harga CPO di pasar global.
Sejalan dengan harga CPO, harga karet juga tertekan signifikan di kuartal I 2018. Tercatat di 3 bulan pertama 2018, harga karet terkoreksi 14,85%. Padahal, pada kuartal 1 tahun lalu harga karet menguat 3,28%. Pada hari terakhir perdagangan kuartal 1 tahun ini, harga karet berada di angka ¥174,9 per kilogram (kg), atau melemah 34,71% secara tahunan. Sebagai perbandingan, harga karet pada 30 Maret 2017 masih berada di level ¥267,9/kg.
Problem Suplai Berlebih Masih Tekan Harga CPO dan KaretFoto: Sumber: Reuters, diolah
Pelemahan harga karet ini masih dipengaruhi faktor fundamental, yakni melimpahnya pasokan karet global yang tidak diimbangi kenaikan permintaan. Sebenarnya, skema pembatasan ekspor sudah dicanangkan oleh International Tripartite Rubber Council (ITRC) sejak Desember 2017, untuk menyokong harga karet global.

Kebijakan pembatasan ekspor tersebut diimplementasikan melalui Agreed Export Tonnage Scheme (AETS), dan diterapkan di sepanjang kuartal 1 2018 ini oleh tiga anggotanya yang merupakan negara produsen terbesar karet dunia yakni Indonesia, Thailand, dan Malaysia.

Sebagai rinciannya, ITRC membatasi ekspor karet periode Desember hingga akhir Maret 2018 sebesar 350.000 ton. Dari angka tersebut, Indonesia mendapat jatah pengurangan 95.190 ton.  Namun, kebijakan itu kurang efektif dalam menurunkan harga karet global karena Vietnam tidak tergabung dalam ITRC. Vietnam memproduksi 1 juta ton karet per tahun.

Mengutip Ketua Umum Dewan Karet Indonesia (Dekarindo), Aziz Pane, selama ini Vietnam masih “rajin” membanjiri pasar global dengan karet berharga murah, sehingga mementahkan ikhtiar ITRC. Sentimen negatif lain bagi harga karet adalah isu perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Berita itu mengobarkan kekhawatiran investor akan terganggunya pasokan di pasar global.

Selain itu, penguatan yen terhadap dolar AS sebesar 5,3% di kuartal I 2018, juga menjadi pemberat harga komoditas ini.
Namun, kabar baik datang dari komoditas agrikultur unggulan Indonesia lainnya, yakni kakao yang pada kuartal I 2018 harganya menguat 35,1% ke US$2.556/ton. Kenaikan harga kakao ditopang oleh sentimen kenaikan permintaan dari Eropa sebesar 4,4% dan dari Asia sebanyak 4,24% pada kuartal IV 2017.

Selain itu, Pantai Gading sebagai produsen kakao utama dunia juga dikabarkan berencana melakukan penurunan produksi hingga 2 tahun ke depan, untuk mengatasi kondisi surplus pasokan.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular