
Obligasi Tertekan di Kuartal I, Bagaimana dengan Kuartal II?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 April 2018 11:24

Memasuki kuartal II, sepertinya minat terhadap SBN masih cukup tinggi (setidaknya sampai saat ini). Namun bukan berarti tidak ada tantangan.
Sama seperti pada kuartal I, kebijakan moneter global masih akan menjadi risiko utama. Setiap kali The Fed digadang-gadang akan menaikkan suku bunga, pasti ada tekanan jual terutama oleh investor asing. Namun biasanya tekanan itu hanya sesaat, dan dalam hitungan hari investor sudah kembali masuk ke pasar SBN.
Tidak hanya The Fed, tren pengetatan moneter di Eropa dan Asia pun perlu diwaspadai. Apalagi BI diperkirakan masih akan menganut stance moneter netral sepanjang 2018. Berinvestasi di luar negeri akan semakin menarik, sehingga menjadi insentif bagi investor untuk meninggalkan Indonesia.
Perang dagang juga menjadi risiko yang perlu dicermati. Ketika perang dagang dalam skala global terjadi, maka pengaruhnya adalah perdagangan.
Ekspor Indonesia akan terhambat, karena permintaan bahan baku dari China atau AS berkurang. Sementara impor bisa saja membengkak karena pasar AS yang semakin tertutup membuat China harus mencari lapak jualan baru. Indonesia bisa menjadi sasaran empuk produk China.
Kala ekspor tertahan sementara impor banjir, resultannya adalah pelemahan kurs. Bila rupiah melemah, maka berinvestasi di aset berbasis mata uang ini menjadi tidak menarik. Lagi-lagi SBN berpotensi ditinggalkan oleh investor.
Oleh karena itu, kewaspadaan perlu ditingkatkan. Untuk sentimen eksternal, pemerintah maupun BI memang tidak bisa berbuat banyak karena bukan kuasa mereka. Namun yang bisa dilakukan pemerintah dan BI adalah menjaga fundamental perekonomian.
Pemerintah perlu menjaga disiplin fiskal agar kepercayaan investor tidak pudar. Berbagai masukan seperti peningkatan potensi penerimaan negara, reformasi subsidi yang konsisten, serta belanja negara yang lebih efektif dan efisien perlu diwujudkan. Bila tidak, maka siap-siap kehilangan kepercayaan pasar.
Sementara BI bertugas menjaga nilai tukar sesuai fundamentalnya. Kenaikan suku bunga acuan memang bisa berdampak ke apresiasi rupiah, tetapi sepertinya bukan itu jawabannya.
Stabilisasi kurs bisa dilakukan melalui operasi moneter yang terukur dan tidak menghambur-hamburkan cadangan devisa secara membabi buta. Selain itu, mekanisme pertahanan lapis kedua yaitu Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) juga bisa menjadi bantalan untuk memperkuat rupiah kala dibutuhkan. (aji/hps)
Sama seperti pada kuartal I, kebijakan moneter global masih akan menjadi risiko utama. Setiap kali The Fed digadang-gadang akan menaikkan suku bunga, pasti ada tekanan jual terutama oleh investor asing. Namun biasanya tekanan itu hanya sesaat, dan dalam hitungan hari investor sudah kembali masuk ke pasar SBN.
Tidak hanya The Fed, tren pengetatan moneter di Eropa dan Asia pun perlu diwaspadai. Apalagi BI diperkirakan masih akan menganut stance moneter netral sepanjang 2018. Berinvestasi di luar negeri akan semakin menarik, sehingga menjadi insentif bagi investor untuk meninggalkan Indonesia.
Ekspor Indonesia akan terhambat, karena permintaan bahan baku dari China atau AS berkurang. Sementara impor bisa saja membengkak karena pasar AS yang semakin tertutup membuat China harus mencari lapak jualan baru. Indonesia bisa menjadi sasaran empuk produk China.
Kala ekspor tertahan sementara impor banjir, resultannya adalah pelemahan kurs. Bila rupiah melemah, maka berinvestasi di aset berbasis mata uang ini menjadi tidak menarik. Lagi-lagi SBN berpotensi ditinggalkan oleh investor.
Oleh karena itu, kewaspadaan perlu ditingkatkan. Untuk sentimen eksternal, pemerintah maupun BI memang tidak bisa berbuat banyak karena bukan kuasa mereka. Namun yang bisa dilakukan pemerintah dan BI adalah menjaga fundamental perekonomian.
Pemerintah perlu menjaga disiplin fiskal agar kepercayaan investor tidak pudar. Berbagai masukan seperti peningkatan potensi penerimaan negara, reformasi subsidi yang konsisten, serta belanja negara yang lebih efektif dan efisien perlu diwujudkan. Bila tidak, maka siap-siap kehilangan kepercayaan pasar.
Sementara BI bertugas menjaga nilai tukar sesuai fundamentalnya. Kenaikan suku bunga acuan memang bisa berdampak ke apresiasi rupiah, tetapi sepertinya bukan itu jawabannya.
Stabilisasi kurs bisa dilakukan melalui operasi moneter yang terukur dan tidak menghambur-hamburkan cadangan devisa secara membabi buta. Selain itu, mekanisme pertahanan lapis kedua yaitu Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) juga bisa menjadi bantalan untuk memperkuat rupiah kala dibutuhkan. (aji/hps)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular