Obligasi Tertekan di Kuartal I, Bagaimana dengan Kuartal II?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 April 2018 11:24
Obligasi Tertekan di Kuartal I, Bagaimana dengan Kuartal II?
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Obligasi negara menjalani periode yang berat sepanjang kuartal I-2018. Setelah mengalami periode positif pada awal tahun, pasar Surat Berharga Negara (SBN) tertekan mulai awal Februari. 

Seperti halnya pasar saham, obligasi pun melaju kencang pada awal tahun. Sisa-sisa optimisme investor pada akhir 2017 masih terbawa sampai awal 2018. 

Pada Januari, imbal hasil (yield) SBN seri acuan tenor 10 tahun terus turun hingga mencapai titik terendah di 6,069% pada 12 Januari. Kala itu, sepertinya yield di bawah 6% sudah di depan mata. 

Namun semuanya berubah. Sejak mencapai titik terendah itu, yield malah bergerak naik dan bahkan sempat menyentuh kisaran 6,9%. Yield yang menyenggol 7% kemudian menjadi realitas yang harus siap dihadapi. 

Reuters
Faktor eksternal menjadi penyebab utama tekanan di pasar SBN. Biang kerok utama adalah normalisasi kebijakan moneter di berbagai negara, terutama negara maju. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed diproyeksi menaikkan suku bunga acuan tiga kali.

Namun data-data ekonomi di Negeri Paman Sam terus menunjukkan perbaikan. Artinya, ada kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga lebih agresif.
 Apalagi Jerome Powell, Gubernur The Fed, sempat menyatakan bahwa bank sentral akan berupaya menjaga perekonomian AS dari pertumbuhan yang terlalu cepat (overheating).

Ini membuat kartu kenaikan suku bunga acuan lebih dari tiga kali ada di atas meja.
 Pelaku pasar sudah memperhitungkan kenaikan suku bunga tiga kali. Namun kalau empat kali, itu belum masuk kalkulasi. Akibatnya terjadi kepanikan di pasar, aksi jual merebak terutama terhadap aset-aset berisiko. 

Aura kenaikan suku bunga global juga semakin terasa kala Eropa juga sudah melakukan pengetatan kebijakan moneter. Bank Sentral Inggris (BoE) memang masih menahan suku bunga acuan, tetapi Gubernur Mark Carney menyatakan kenaikan suku bunga lebih cepat dan lebih besar sepertinya sulit terhindarkan. 

Bank Sentral Uni Eropa (BoE) pun sudah mulai bicara soal pengetatan moneter. Beberapa waktu lalu, Reuters melaporkan sejumlah pengambil kebijakan di ECB kini mulai berpikir untuk mengubah arah kebijakan.  

Awalnya, alur pengetatan moneter dilakukan dengan mengurangi pembelian surat-surat berharga (quantitative easing). Namun kini mulai ada pemikiran agar langsung melalui kenaikan suku bunga meski secara bertahap. 

Asia pun tak mau kalah. Bank Sentral China (PBoC), Bank Sentral Korea Selatan (BoK), dan Bank Sentral Malaysia (BNM) sudah menaikkan suku bunga sebagai antisipasi tren kenaikan suku bunga global. 

Sementara di Indonesia, Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuan di 4,25%. Sikap (stance) kebijakan netral masih dipertahankan mengingat Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Kenaikan suku bunga menyebabkan likuiditas mengetat sehingga ekonomi ikut mengerut. 

Perkembangan ini membuat  investor sempat keluar dari pasar untuk mencari keuntungan lebih tinggi di luar negeri. Pasar SBN pun tertekan akibat arus keluar modal asing (capital outflow). 

Perang Dagang
Belum lagi ada isu perang dagang, akibat kebijakan proteksionis yang lahir kembali di tangan Presiden AS Donald Trump. Sebagai pengejawantahan slogan America First, Trump mulai membatasi pasar Negeri Adidaya dari produk impor. 

Genderang perang dagang pertama tahun ini ditabuh melalui pengenaan bea masuk terhadap baja dan aluminium. Meski mendapat kecaman (termasuk dari Organisasi Perdagangan Dunia/WTO), Trump tetap bergeming dan meneken aturan ini pada 8 Maret waktu setempat. 

Tidak berhenti sampai di situ, Trump kemudian berencana mengenakan bea masuk terhadap lebih dari 1.000 produk China senilai US$ 50-60 miliar. Langkah ini bertujuan untuk melindungi kekayaan atas hak intelektual. 

Kebijakan AS menuai reaksi. China telah resmi mengenakan bea masuk terhadap 128 produk AS senilai US$ 3 miliar. Aksi saling balas sudah terjadi. 

Perkembangan-perkembangan tersebut menjadi sentimen negatif di pasar SBN. Investor asing sempat berbondong-bondong keluar dari pasar demi mencari selamat masing-masing.

Aset aman (safe haven) menjadi buruan, seperti emas dan yen Jepang. Harga emas naik 1,03% selama kuartal I, sementara yen Jepang terapresiasi 6%.
 

Reuters
Namun harapan kembali muncul jelang akhir kuartal I. Pada pertengahan Maret, investor asing kembali masuk ke pasar SBN. Perlahan, nilai kepemilikan asing di SBN meningkat meski belum setara dengan posisi tertingginya pada 23 Januari.

Masuknya dana asing membuat harga SBN naik sehingga yield-nya bergerak turun. Pada akhir kuartal I, yield SBN 10 tahun sudah menjauh dari bibir 7%. Namun masih belum mencapai titik terendahnya seperti pada awal tahun.

Kepercayaan investor terhadap SBN pulih seiring pasar saham yang masih bergejolak. Investor asing yang pada kuartal I membukukan jual bersih di pasar saham, justru mencatat tambahan kepemilikan Rp 22,64 triliun di SBN.

Pasar saham yang fluktuasinya membuat sport jantung membuat investor butuh pelarian, dan SBN kemungkinan menjadi salah satu tujuannya. Berinvestasi di SBN pada dasarnya aman, karena mendapat jaminan penuh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (SBN) sehingga kemungkinan gagal bayar alias default nyaris mustahil.

Uang investor bisa 'terbakar' di pasar saham karena penurunan harga aset. Namun di SBN, sejatinya uang investor aman karena pasti ada pengembalian pokok utang saat jatuh tempo. Kerugian hanya terjadi jika investor menjual SBN pada saat yang salah.
Memasuki kuartal II, sepertinya minat terhadap SBN masih cukup tinggi (setidaknya sampai saat ini). Namun bukan berarti tidak ada tantangan. 

Sama seperti pada kuartal I, kebijakan moneter global masih akan menjadi risiko utama. Setiap kali The Fed digadang-gadang akan menaikkan suku bunga, pasti ada tekanan jual terutama oleh investor asing. Namun biasanya tekanan itu hanya sesaat, dan dalam hitungan hari investor sudah kembali masuk ke pasar SBN. 

Tidak hanya The Fed, tren pengetatan moneter di Eropa dan Asia pun perlu diwaspadai. Apalagi BI diperkirakan masih akan menganut stance moneter netral sepanjang 2018. Berinvestasi di luar negeri akan semakin menarik, sehingga menjadi insentif bagi investor untuk meninggalkan Indonesia. 

Perang dagang juga menjadi risiko yang perlu dicermati. Ketika perang dagang dalam skala global terjadi, maka pengaruhnya adalah perdagangan.  

Ekspor Indonesia akan terhambat, karena permintaan bahan baku dari China atau AS berkurang. Sementara impor bisa saja membengkak karena pasar AS yang semakin tertutup membuat China harus mencari lapak jualan baru. Indonesia bisa menjadi sasaran empuk produk China. 

Kala ekspor tertahan sementara impor banjir, resultannya adalah pelemahan kurs. Bila rupiah melemah, maka berinvestasi di aset berbasis mata uang ini menjadi tidak menarik. Lagi-lagi SBN berpotensi ditinggalkan oleh investor. 

Oleh karena itu, kewaspadaan perlu ditingkatkan. Untuk sentimen eksternal, pemerintah maupun BI memang tidak bisa berbuat banyak karena bukan kuasa mereka. Namun yang bisa dilakukan pemerintah dan BI adalah menjaga fundamental perekonomian. 

Pemerintah perlu menjaga disiplin fiskal agar kepercayaan investor tidak pudar. Berbagai masukan seperti peningkatan potensi penerimaan negara, reformasi subsidi yang konsisten, serta belanja negara yang lebih efektif dan efisien perlu diwujudkan. Bila tidak, maka siap-siap kehilangan kepercayaan pasar. 

Sementara BI bertugas menjaga nilai tukar sesuai fundamentalnya. Kenaikan suku bunga acuan memang bisa berdampak ke apresiasi rupiah, tetapi sepertinya bukan itu jawabannya.  

Stabilisasi kurs bisa dilakukan melalui operasi moneter yang terukur dan tidak menghambur-hamburkan cadangan devisa secara membabi buta. Selain itu, mekanisme pertahanan lapis kedua yaitu Bilateral Currency Swap  Arrangement (BCSA) juga bisa menjadi bantalan untuk memperkuat rupiah kala dibutuhkan.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular