
Review Komoditas
Kuartal I Minyak Ke Utara, Batu Bara & Gas Ke Selatan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
02 April 2018 18:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Komoditas energi utama dunia bergerak dalam tren menurun pada kuartal I 2018, kecuali minyak mentah yang masih perkasa. Penguatan ini berbalik dari kuartal I 2017 tatkala harga minyak jenis light sweet terkoreksi 5,81%. Brent bahkan melemah 7,02% pada kuartal I tahun lalu.
Pada penutupan perdagangan di hari terakhir Maret 2018, harga minyak jenis light sweet untuk kontrak pengiriman Mei bercokol pada US$64,94/barel, sementara Brent pengiriman Juni berada di level US$70,27/barel.
Secara year on year (YoY), harga minyak global hingga 29 Maret 2018 bahkan sudah melonjak lebih dari 30%, jauh meninggalkan posisi pada periode yang sama tahun lalu ketika harga minyak masih di kisaran US$50 per barel.
Penguatan solo harga minyak ini dipicu beberapa sentimen positif. Pertama, organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) sepakat untuk terus berkoordinasi dengan Rusia dan negara produsen minyak non-OPEC lainnya untuk membatasi pasokan minyak global pada 2019.
Sebelumnya, OPEC (dipimpin secara de facto oleh Arab Saudi) dan negara produsen minyak non-OPEC (dipimpin Rusia) sepakat untuk memotong produksi minyak global sebesar 1,8 juta barel per hari (bph) hingga akhir tahun ini.
Komitmen itu mampu dijaga hingga Februari, dengan kepatuhan pemotongan produksi sebesar 138%, naik dari capaian Januari sebesar 133%. Tingkat kepatuhan pada Februari tersebut merupakan yang tertinggi sejak kesepakatan pemotongan produksi disetujui pertama kali pada Januari 2017.
Dari segi volume, produksi minyak mentah OPEC juga terus menurun. Dari data terakhir yang dirilis OPEC, produksi minyak pada Februari 2018 turun sebesar 77.000 bph secara month to month (MtM). Penurunan produksi terbesar dilakukan oleh Venezuela (-52.400 bph), Uni Emirat Arab (-34.300 bph), dan Irak (-25.500 bph).
Kedua, produksi minyak Venezuela turun drastis akibat krisis ekonomi dan politik di negara tersebut. Produksi minyak Venezuela telah turun menjadi 1,54 juta bph pada Februari, anjlok dari 2,2 juta bph dua tahun yang lalu. Dengan level saat ini, produksi minyak Venezuela sudah turun setengahnya dari saat Hugo Chavez menjadi presiden Venezuela pada 1999. Hal yang membuat kondisi ini semakin pelik, produksi minyak Venezuela bahkan diprediksi turun semakin parah pada Maret ini.
Ketiga, perubahan administrasi di pemerintahan Amerika Serikat (AS), memberikan sentimen bahwa Negeri Paman Sam akan menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran. Seperti diketahui, per 9 April 2018, John Bolton akan bergabung dengan Mike Pompeo di dalam rezim Trump. Bolton diangkat sebagai penasihat keamanan nasional, dan Pompeo sebagai Menteri Luar Negeri.
Baik Bolton maupun Pompeo sama-sama menganut pendekatan keras (hawkish) terkait kebijakan luar negeri, dan sangat mungkin merekomendasikan AS untuk kembali menerapkan sanksi bagi Iran. Alhasil, perkembangan tersebut memberikan sentimen akan kembali terbatasnya ekspor minyak mentah dan produk minyak Iran ke pasar global.
Di sisi lain, penguatan harga minyak di kuartal I 2018 masih terbatas oleh kuatnya produksi minyak mentah AS. Memasuki Februari tahun ini, produsi minyak mentah AS mingguan sudah menembus angka 10 juta bph. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, produksi minyak Negeri Paman Sam hanya sebesar 8,98 juta bph.
Berdasarkan rilis US Energy Information Administration (EIA), produksi minyak mentah mingguan AS dalam sepekan hingga 23 Maret 2018 bahkan memecahkan rekor baru di angka 10,43 juta bph. Dengan level produksi sebesar itu, AS sudah melampaui Saudi sebagai produsen minyak terbesar kedua dunia, hanya terpaut satu tingkat di bawah Rusia.
Namun, akselerasi produksi minyak AS yang sedikit terlalu cepat tersebut diyakini akan diimbangi peningkatan permintaan domestik secara musiman beberapa bulan ke depan.
Tidak hanya dari dalam negeri Paman Sam, permintaan minyak global juga dieskpektasikan terus meningkat. Hal ini tercermin dari data ekspor minyak mentah AS yang menunjukkan tren penguatan. Pada sepekan hingga 16 Maret 2018, ekspor minyak mentah AS tercatat sebesar 1,573 juta bph, meningkat 86.000 bph dari pekan sebelumnya.
Penguatan harga minyak mentah sayangnya tidak diikuti oleh dua komoditas energi lainnya yakni batu bara dan gas alam. Harga batu bara terkoreksi 4,37% pada kuartal I 2018. Meski demikian, koreksi itu masih lebih lunak dibandingkan dengan kuartal yang sama 2017, ketika harga si batu hitam turun 8,65%.
Pada hari perdagangan terakhir bulan Maret 2018, harga batu bara ICE Newcastle Futures tercatat sebesar US$96,4/ton, atau menguat 19,38% secara tahunan (year on year/YoY). Sebagai catatan, harga batu bara pada 29 Maret 2017 berada di angka US$80,75/ton.
Pelemahan harga batu bara di kuartal I 2018 sedikit-banyak dipengaruhi oleh permintaan batu bara global yang turun, seiring berkurangnya permintaan China. Penurunan permintaan batu bara dari Negeri Tirai Bambu itu dipengaruhi setidaknya oleh dua kebijakan.
Pertama, kebijakan pemerintah China yang memperkenalkan standar energi terbarukan dan mewajibkan seluruh Produsen Pembangkit Independen (IPP) China untuk menetapkan 15% dari total pembangkit listrik portofolionya ke energi terbarukan hingga 2020. Kedua, kebijakan pembatasan penggunaan batu bara seiring dengan terjadinya kapasitas belebih di industri baja dan semen.
Korea Selatan dikabarkan menangguhkan lima pembangkit listrik berbahan bakar batu bara selama Maret-Juni 2018. Selain itu, kontraksi harga batu bara pada Maret 2018 juga dipicu oleh kekhawatiran terhadap perang dagang China dan AS. Seperti diketahui, AS menetapkan tarif impor bagi barang-barang asal China yang nilainya mencapai US$30 miliar.
Negeri Panda itu lalu membalas dengan mengenakan bea masuk baru terhadap 128 barang impor dari AS, termasuk daging babi dan buah-buahan, senilai US$3 miliar, yang diumumkan hari ini. Sementara itu, gas alam menjadi komoditas energi dengan penurunan terbesar di kuartal I 2018, dengan anjlok 7,45% selama 3 bulan awal tahun ini.
Pada hari terakhir perdagangan Maret 2018, harga gas alam kontrak berjangka Mei 2018 tercatat sebesar US$2,731/MMBTU. Secara tahunan, harga gas alam sudah melemah sebesar 13,98%. Harga gas alam sebenarnya sempat menanjak pesat hingga menyentuh US$3,631/MMBTU pada 29 Januari 2018, tetapi setelah itu kehilangan traksinya. Setali tiga uang dengan batu bara, penurunan harga gas alam juga dipicu oleh berkurangnya permintaan seiring dengan berakhirnya musim dingin di berbagai belahan dunia.
Meski demikian, harga gas alam masih berpotensi pulih, seiring dengan berlanjutnya musim dingin di Eropa hingga April. Secara jangka panjang, permintaan China dan India yang diprediksikan menguat juga akan menyokong harga gas alam ke depan. Seiring dengan kebijakan ramah lingkungannya, China akan mengganti batu bara dengan gas alam sebagai sumber energi utamanya. India juga mulai menambah porsi penggunaan komoditas rendah polutan ini, dengan menargetkan pasokan gas alam ke 10 juta rumah tangga serta menambah akses gas alam untuk ratusan industri dan pelanggan ritel pada 2019.***
(ags) Next Article Aktivitas Pengeboran AS Meningkat, Harga Minyak Melandai
Pada penutupan perdagangan di hari terakhir Maret 2018, harga minyak jenis light sweet untuk kontrak pengiriman Mei bercokol pada US$64,94/barel, sementara Brent pengiriman Juni berada di level US$70,27/barel.
Secara year on year (YoY), harga minyak global hingga 29 Maret 2018 bahkan sudah melonjak lebih dari 30%, jauh meninggalkan posisi pada periode yang sama tahun lalu ketika harga minyak masih di kisaran US$50 per barel.
![]() |
Penguatan solo harga minyak ini dipicu beberapa sentimen positif. Pertama, organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) sepakat untuk terus berkoordinasi dengan Rusia dan negara produsen minyak non-OPEC lainnya untuk membatasi pasokan minyak global pada 2019.
Komitmen itu mampu dijaga hingga Februari, dengan kepatuhan pemotongan produksi sebesar 138%, naik dari capaian Januari sebesar 133%. Tingkat kepatuhan pada Februari tersebut merupakan yang tertinggi sejak kesepakatan pemotongan produksi disetujui pertama kali pada Januari 2017.
![]() |
Kedua, produksi minyak Venezuela turun drastis akibat krisis ekonomi dan politik di negara tersebut. Produksi minyak Venezuela telah turun menjadi 1,54 juta bph pada Februari, anjlok dari 2,2 juta bph dua tahun yang lalu. Dengan level saat ini, produksi minyak Venezuela sudah turun setengahnya dari saat Hugo Chavez menjadi presiden Venezuela pada 1999. Hal yang membuat kondisi ini semakin pelik, produksi minyak Venezuela bahkan diprediksi turun semakin parah pada Maret ini.
Ketiga, perubahan administrasi di pemerintahan Amerika Serikat (AS), memberikan sentimen bahwa Negeri Paman Sam akan menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran. Seperti diketahui, per 9 April 2018, John Bolton akan bergabung dengan Mike Pompeo di dalam rezim Trump. Bolton diangkat sebagai penasihat keamanan nasional, dan Pompeo sebagai Menteri Luar Negeri.
Baik Bolton maupun Pompeo sama-sama menganut pendekatan keras (hawkish) terkait kebijakan luar negeri, dan sangat mungkin merekomendasikan AS untuk kembali menerapkan sanksi bagi Iran. Alhasil, perkembangan tersebut memberikan sentimen akan kembali terbatasnya ekspor minyak mentah dan produk minyak Iran ke pasar global.
Di sisi lain, penguatan harga minyak di kuartal I 2018 masih terbatas oleh kuatnya produksi minyak mentah AS. Memasuki Februari tahun ini, produsi minyak mentah AS mingguan sudah menembus angka 10 juta bph. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, produksi minyak Negeri Paman Sam hanya sebesar 8,98 juta bph.
![]() |
Namun, akselerasi produksi minyak AS yang sedikit terlalu cepat tersebut diyakini akan diimbangi peningkatan permintaan domestik secara musiman beberapa bulan ke depan.
Tidak hanya dari dalam negeri Paman Sam, permintaan minyak global juga dieskpektasikan terus meningkat. Hal ini tercermin dari data ekspor minyak mentah AS yang menunjukkan tren penguatan. Pada sepekan hingga 16 Maret 2018, ekspor minyak mentah AS tercatat sebesar 1,573 juta bph, meningkat 86.000 bph dari pekan sebelumnya.
Penguatan harga minyak mentah sayangnya tidak diikuti oleh dua komoditas energi lainnya yakni batu bara dan gas alam. Harga batu bara terkoreksi 4,37% pada kuartal I 2018. Meski demikian, koreksi itu masih lebih lunak dibandingkan dengan kuartal yang sama 2017, ketika harga si batu hitam turun 8,65%.
Pada hari perdagangan terakhir bulan Maret 2018, harga batu bara ICE Newcastle Futures tercatat sebesar US$96,4/ton, atau menguat 19,38% secara tahunan (year on year/YoY). Sebagai catatan, harga batu bara pada 29 Maret 2017 berada di angka US$80,75/ton.
![]() |
Pertama, kebijakan pemerintah China yang memperkenalkan standar energi terbarukan dan mewajibkan seluruh Produsen Pembangkit Independen (IPP) China untuk menetapkan 15% dari total pembangkit listrik portofolionya ke energi terbarukan hingga 2020. Kedua, kebijakan pembatasan penggunaan batu bara seiring dengan terjadinya kapasitas belebih di industri baja dan semen.
Korea Selatan dikabarkan menangguhkan lima pembangkit listrik berbahan bakar batu bara selama Maret-Juni 2018. Selain itu, kontraksi harga batu bara pada Maret 2018 juga dipicu oleh kekhawatiran terhadap perang dagang China dan AS. Seperti diketahui, AS menetapkan tarif impor bagi barang-barang asal China yang nilainya mencapai US$30 miliar.
Negeri Panda itu lalu membalas dengan mengenakan bea masuk baru terhadap 128 barang impor dari AS, termasuk daging babi dan buah-buahan, senilai US$3 miliar, yang diumumkan hari ini. Sementara itu, gas alam menjadi komoditas energi dengan penurunan terbesar di kuartal I 2018, dengan anjlok 7,45% selama 3 bulan awal tahun ini.
Pada hari terakhir perdagangan Maret 2018, harga gas alam kontrak berjangka Mei 2018 tercatat sebesar US$2,731/MMBTU. Secara tahunan, harga gas alam sudah melemah sebesar 13,98%. Harga gas alam sebenarnya sempat menanjak pesat hingga menyentuh US$3,631/MMBTU pada 29 Januari 2018, tetapi setelah itu kehilangan traksinya. Setali tiga uang dengan batu bara, penurunan harga gas alam juga dipicu oleh berkurangnya permintaan seiring dengan berakhirnya musim dingin di berbagai belahan dunia.
![]() |
(ags) Next Article Aktivitas Pengeboran AS Meningkat, Harga Minyak Melandai
Most Popular