
Obligasi Negara Diburu Investor, Yield Turun Lagi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 March 2018 10:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah melanjutkan penurunan yang terjadi sejak kemarin. Tekanan di bursa saham membuka peluang bagi reli di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Pada Rabu (28/3/2018), yield SBN seri acuan tenor 10 tahun berada di 6,816%. Turun tipis dibandingkan posisi hari sebelumnya yaitu 6,822%.
Penurunan yield menandakan kenaikan harga. Hari ini, harga SBN 10 tahun berada di 95%. Naik dibandingkan kemarin yang masih 94,4%.
Minat terhadap SBN memang masih tinggi. Pasar saham yang masih volatil menyebabkan investor mencari tempat investasi yang aman.
Apalagi hari ini tekanan di pasar saham berlanjut setelah Wall Street terkoreksi cukup dalam. Koreksi Wall Street menular ke Asia, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Pasar SBN memang bisa menjadi pilihan, karena relatif lebih aman. Tidak seperti di pasar saham, investor asing masih membukukan beli bersih Rp 9,14 triliun. Per 26 Maret, kepemilikan asing di SBN tercatat Rp 846,17 triliun atau 39,1%.
Pasar SBN dijaga penuh oleh pemerintah selaku penerbit, dan aman dari gagal bayar (default) karena dijamin oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Investor tidak mungkin kehilangan investasinya. Kerugian yang diderita mungkin hanya karena menjual SBN pada saat yang kurang tepat, tetapi pokok utangnya pasti kembali.
Selain itu, keuntungan yang ditawarkan instrumen ini juga relatif menguntungkan. Dengan yield di kisaran 6,8% dan inflasi tahun ini yang diperkirakan 3,5% dalam APBN 2018, maka keuntungan riil yang didapat investor adalah 3,3%.
Namun, bukan berarti pasar SBN tidak menghadapi tantangan. Tren kenaikan suku bunga global bisa menjadi faktor risiko. AS, Eropa, dan sejumlah negara Asia sudah menaikkan suku bunga acuan. Sementara Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih menahan suku bunga acuan dan kebijakan moneter netral setidaknya sampai akhir tahun ini.
Perkembangan ini membuat selisih suku bunga menyempit dan bisa menjadi insentif bagi investor untuk mencari keuntungan di luar negeri. Risiko tekanan jual masih membayangi pasar SBN ke depan.
Untuk menjaga ketahanan SBN, pemerintah dan BI harus memastikan inflasi terkendali. Inflasi adalah musuh utama pasar obligasi. Ketika inflasi terkendali, maka keuntungan berinvetasi di SBN bisa terjaga karena tidak tergerus inflasi.
Selain itu, pemerintah juga mesti menjaga keberlangsungan fiskal. Sejumlah pihak, termasuk lembaga pemeringkat (rating agency), menyoroti upaya pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan negara.
Dibandingkan negara-negara kawasan, penerimaan pajak dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia masih rendah. Dibutuhkan upaya untuk mendorong penerimaan pajak agar bisa menjadi modal pembangunan. Jika penerimaan pajak belum memadai, maka Indonesia akan bergantung pada pendanaan dari luar untuk pembangunan sehingga rentan terhadap gejolak eksternal.
Di sini pemerintah perlu mengambil keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara tanpa harus membebani perekonomian. Upaya menarik pajak yang eksesif jangan sampai membuat perekonomian justru mengerut (shrinking).
Namun ada potensi pasar SBN semakin menarik. Ada kemungkinan Indonesia akan mendapatkan kenaikan rating, yang terdekat bisa jadi dari Moody's.
Pada keterangan tertulis 6 Februari 2018, Moody's menyebutkan akan mempertimbangkan untuk menaikkan rating Indonesia ke Baa3 sementara penurunan rating sepertinya sulit terjadi mengingat outlook yang sudah positif. Namun kenaikan rating ini membutuhkan syarat Indonesia harus menunjukkan kemampuan untuk bertahan dari gejolak eksternal dan memperkuat kapasitas institusi.
(aji/hps) Next Article Takut Jakarta 'Digembok' Kayak Manila, Investor Lepas SBN
Pada Rabu (28/3/2018), yield SBN seri acuan tenor 10 tahun berada di 6,816%. Turun tipis dibandingkan posisi hari sebelumnya yaitu 6,822%.
![]() |
![]() |
Apalagi hari ini tekanan di pasar saham berlanjut setelah Wall Street terkoreksi cukup dalam. Koreksi Wall Street menular ke Asia, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Pasar SBN memang bisa menjadi pilihan, karena relatif lebih aman. Tidak seperti di pasar saham, investor asing masih membukukan beli bersih Rp 9,14 triliun. Per 26 Maret, kepemilikan asing di SBN tercatat Rp 846,17 triliun atau 39,1%.
Pasar SBN dijaga penuh oleh pemerintah selaku penerbit, dan aman dari gagal bayar (default) karena dijamin oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Investor tidak mungkin kehilangan investasinya. Kerugian yang diderita mungkin hanya karena menjual SBN pada saat yang kurang tepat, tetapi pokok utangnya pasti kembali.
Selain itu, keuntungan yang ditawarkan instrumen ini juga relatif menguntungkan. Dengan yield di kisaran 6,8% dan inflasi tahun ini yang diperkirakan 3,5% dalam APBN 2018, maka keuntungan riil yang didapat investor adalah 3,3%.
Namun, bukan berarti pasar SBN tidak menghadapi tantangan. Tren kenaikan suku bunga global bisa menjadi faktor risiko. AS, Eropa, dan sejumlah negara Asia sudah menaikkan suku bunga acuan. Sementara Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih menahan suku bunga acuan dan kebijakan moneter netral setidaknya sampai akhir tahun ini.
Perkembangan ini membuat selisih suku bunga menyempit dan bisa menjadi insentif bagi investor untuk mencari keuntungan di luar negeri. Risiko tekanan jual masih membayangi pasar SBN ke depan.
Untuk menjaga ketahanan SBN, pemerintah dan BI harus memastikan inflasi terkendali. Inflasi adalah musuh utama pasar obligasi. Ketika inflasi terkendali, maka keuntungan berinvetasi di SBN bisa terjaga karena tidak tergerus inflasi.
Selain itu, pemerintah juga mesti menjaga keberlangsungan fiskal. Sejumlah pihak, termasuk lembaga pemeringkat (rating agency), menyoroti upaya pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan negara.
Dibandingkan negara-negara kawasan, penerimaan pajak dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia masih rendah. Dibutuhkan upaya untuk mendorong penerimaan pajak agar bisa menjadi modal pembangunan. Jika penerimaan pajak belum memadai, maka Indonesia akan bergantung pada pendanaan dari luar untuk pembangunan sehingga rentan terhadap gejolak eksternal.
Di sini pemerintah perlu mengambil keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara tanpa harus membebani perekonomian. Upaya menarik pajak yang eksesif jangan sampai membuat perekonomian justru mengerut (shrinking).
Namun ada potensi pasar SBN semakin menarik. Ada kemungkinan Indonesia akan mendapatkan kenaikan rating, yang terdekat bisa jadi dari Moody's.
Pada keterangan tertulis 6 Februari 2018, Moody's menyebutkan akan mempertimbangkan untuk menaikkan rating Indonesia ke Baa3 sementara penurunan rating sepertinya sulit terjadi mengingat outlook yang sudah positif. Namun kenaikan rating ini membutuhkan syarat Indonesia harus menunjukkan kemampuan untuk bertahan dari gejolak eksternal dan memperkuat kapasitas institusi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/hps) Next Article Takut Jakarta 'Digembok' Kayak Manila, Investor Lepas SBN
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular