
Naik Lagi, Yield Obligasi Negara Sentuh Level 6,9%
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 March 2018 13:13

Jakarta, CNBC Indonesia - Imbal hasil (yield) obligasi negara masih enggan turun. Hari ini, yield kembali mencatat rekor tertinggi sejak Agustus 2017.
Pada Senin (26/3/2018), yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun berada di 6,923%, tertinggi sejak Agustus tahun lalu. Yield instrumen ini terus bergerak naik sejak 20 Maret, dan kini semakin sekat ke 7%. Bila sampai menyentuh level 7%, maka akan jadi catatan tertinggi sejak pertengahan 2017.
Kenaikan yield menunjukkan harga SBN turun. Benar saja, sejak pertengahan Januari harga SBN bergerak ke bawah. Saat ini harga SBN 10 tahun berada di 94,25%, turun dibandingkan akhir pekan lalu yaitu 94,6%.
Investor meminta yield tinggi untuk obligasi Indonesia mengingat risikonya yang meningkat. Credit Default Swap tenor 10 tahun kini berada di 164,56 basis poin (bps). Lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain di kawasan seperti Malaysia (117,24 bps), Thailand (84,89 bps), atau Filipina (106,56 bps).
Pasar membentuk yield lebih tinggi seiring antisipasi kenaikan suku bunga global. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed telah menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan pekan lalu dan akan ada setidaknya dua kali kenaikan lagi pada tahun ini. Sementara Bank Sentral Inggris (BoE) diperkirakan mulai menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan Mei, dan akan ada kenaikan sekali lagi hingga akhir 2018.
Di Asia, Bank Sentral China (PBoC) juga menaikkan suku bunga pada pertemuan pekan lalu. Selain China, Malaysia dan Korea Selatan juga menaikkan suku bunga. Langkah ini dilakukan sebagai respons potensi kenaikan suku bunga global.
Sementara Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuan di pertemuan 22 Maret lalu. Kebijakan moneter BI diperkirakan masih netral, salah satu tujuannya untuk mendorong pemulihan ekonomi domestik.
Kenaikan suku bunga global sementara di Indonesia masih ditahan menyebabkan selisih (spread) suku bunga menyempit. Negara-negara lain menawarkan keuntungan yang lebih menarik, yang bisa memicu arus modal keluar (capital outflow).
Meski begitu, sejauh ini arus modal keluar dari pasar SBN sepertinya belum terjadi. Pada 22 Maret, kepemilikan SBN oleh investor asing tercatat Rp 843,53 triliun.
Dalam sepekan kemarin, investor asing masih menambah kepemilikannya di SBN. Artinya SBN masih menjadi instrumen yang diminati, bahkan oleh investor asing.
Berikut perkembangan nilai kepemilikan asing di SBN:
DJPPR Kemenkeu
Oleh karena itu, kenaikan yield dan penurunan harga SBN sepertinya lebih karena faktor persepsi. Investor mengantisipasi spread yang semakin sempit ke depannya, sehingga meminta premi lebih tinggi.
Menjadi tugas pemerintah dan BI untuk meyakinkan pasar bahwa Indonesia baik-baik saja. Bahwa Indonesia bisa menjaga keberlanjutan fiskal, bahwa persepsi terhadap risiko di pasar SBN tidak seharusnya terjadi. Bahwa Indonesia tetap menjadi tempat tujuan investasi yang menarik, meski negara-negara lain menawarkan kenaikan bunga.
Namun tugas ini tidak ringan, karena ternyata menjaga keberlangsungan fiskal pun penuh tantangan. Penerimaan pajak masih belum optimal, sulit mencapai target yang ditetapkan pemerintah, dan ini menjadi catatan dari berbagai pihak termasuk lembaga pemeringkat (rating agency).
Sementara untuk menjaga agar Indonesia tetap menjadi tujuan investasi yang menarik, kuncinya adalah menjaga inflasi. Apabila inflasi masih tinggi, maka suku bunga yang lebih dari negara lain tidak berarti karena tergerus inflasi. Di sini menjadi tugas BI (dan pemerintah) untuk menjaga ekspektasi inflasi serta kelancaran produksi dan pasokan bahan pokok.
Bila itu semua bisa terwujud, maka risiko yang menmbayangi pasar SBN benar-benar tidak perlu ada. Namun karena risiko itu masih ada, investor tidak bisa disalahkan kala mereka meminta yield tinggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/hps) Next Article Takut Jakarta 'Digembok' Kayak Manila, Investor Lepas SBN
Pada Senin (26/3/2018), yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun berada di 6,923%, tertinggi sejak Agustus tahun lalu. Yield instrumen ini terus bergerak naik sejak 20 Maret, dan kini semakin sekat ke 7%. Bila sampai menyentuh level 7%, maka akan jadi catatan tertinggi sejak pertengahan 2017.
![]() |
![]() |
Pasar membentuk yield lebih tinggi seiring antisipasi kenaikan suku bunga global. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed telah menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan pekan lalu dan akan ada setidaknya dua kali kenaikan lagi pada tahun ini. Sementara Bank Sentral Inggris (BoE) diperkirakan mulai menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan Mei, dan akan ada kenaikan sekali lagi hingga akhir 2018.
Di Asia, Bank Sentral China (PBoC) juga menaikkan suku bunga pada pertemuan pekan lalu. Selain China, Malaysia dan Korea Selatan juga menaikkan suku bunga. Langkah ini dilakukan sebagai respons potensi kenaikan suku bunga global.
Sementara Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuan di pertemuan 22 Maret lalu. Kebijakan moneter BI diperkirakan masih netral, salah satu tujuannya untuk mendorong pemulihan ekonomi domestik.
Kenaikan suku bunga global sementara di Indonesia masih ditahan menyebabkan selisih (spread) suku bunga menyempit. Negara-negara lain menawarkan keuntungan yang lebih menarik, yang bisa memicu arus modal keluar (capital outflow).
Meski begitu, sejauh ini arus modal keluar dari pasar SBN sepertinya belum terjadi. Pada 22 Maret, kepemilikan SBN oleh investor asing tercatat Rp 843,53 triliun.
Dalam sepekan kemarin, investor asing masih menambah kepemilikannya di SBN. Artinya SBN masih menjadi instrumen yang diminati, bahkan oleh investor asing.
Berikut perkembangan nilai kepemilikan asing di SBN:
Tanggal | Nilai (Rp Triliun) |
16 Maret | 837,96 |
19 Maret | 841,62 |
20 Maret | 841,5 |
21 Maret | 842,09 |
22 Maret | 843,53 |
Oleh karena itu, kenaikan yield dan penurunan harga SBN sepertinya lebih karena faktor persepsi. Investor mengantisipasi spread yang semakin sempit ke depannya, sehingga meminta premi lebih tinggi.
Menjadi tugas pemerintah dan BI untuk meyakinkan pasar bahwa Indonesia baik-baik saja. Bahwa Indonesia bisa menjaga keberlanjutan fiskal, bahwa persepsi terhadap risiko di pasar SBN tidak seharusnya terjadi. Bahwa Indonesia tetap menjadi tempat tujuan investasi yang menarik, meski negara-negara lain menawarkan kenaikan bunga.
Namun tugas ini tidak ringan, karena ternyata menjaga keberlangsungan fiskal pun penuh tantangan. Penerimaan pajak masih belum optimal, sulit mencapai target yang ditetapkan pemerintah, dan ini menjadi catatan dari berbagai pihak termasuk lembaga pemeringkat (rating agency).
Sementara untuk menjaga agar Indonesia tetap menjadi tujuan investasi yang menarik, kuncinya adalah menjaga inflasi. Apabila inflasi masih tinggi, maka suku bunga yang lebih dari negara lain tidak berarti karena tergerus inflasi. Di sini menjadi tugas BI (dan pemerintah) untuk menjaga ekspektasi inflasi serta kelancaran produksi dan pasokan bahan pokok.
Bila itu semua bisa terwujud, maka risiko yang menmbayangi pasar SBN benar-benar tidak perlu ada. Namun karena risiko itu masih ada, investor tidak bisa disalahkan kala mereka meminta yield tinggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/hps) Next Article Takut Jakarta 'Digembok' Kayak Manila, Investor Lepas SBN
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular