Jakarta, CNBC Indonesia - Imbal hasil (yield) obligasi negara masih melanjutkan tren penurunan. Minat investor terhadap Surat Berharga Negara (SBN) meningkat, meski masih terlalu dini mengatakan ini bisa berkelanjutan.
Pada Selasa (20/3/2018), yield SBN tenor 10 tahun berada di 6,712%. Turun dibandingkan posisi sehari sebelumnya yaitu 6,729%.
 Reuters |
Ketika yield turun berarti harga instrumen ini naik. Kenaikan harga menunjukkan tingginya permintaan.
 Reuters |
Mengutip data Indonesia Bond Pricing Agency, pasar SBN memang tengah semarak. Pekan lalu, rata-rata volume transaksi harian mencapai Rp 14,07 triliun atau naik 16,59% dibandingkan pekan sebelumnya.
Investor asing pun mulai kembali masuk ke pasar SBN. Dalam tujuh hari perdagangan terakhir, kepemilikan investor asing bertambah Rp 10,7 triliun. Namun sejak awal Maret, posisinya memang masih jual bersih (net sell).
 DJPPR Kemenkeu |
TIM RISET CNBC INDONESIA
Ada kemungkinan pasar SBN menerima limpahan dana yang keluar dari pasar saham. Pasalnya, perkembangan di pasar saham cocok dengan apa yang terjadi di pasar SBN.
Penurunan yield dan kenaikan harga SBN terjadi seiring dengan Indeks Harga Saham (IHSG) yang terjebak di zona merah sejak lima hari perdagangan terakhir. Begitu reli pelemahan IHSG terjadi pada 13 Maret, keesokan harinya nilai kepemilkan asing di pasar SBN mulai bertambah. Pola tersebut terjadi setidaknya sampai 19 Maret.
Rata-rata volume transaksi harian di pasar SBN naik 16,59% sepanjang pekan lalu, sementara di pasar saham terjadi kenaikan 10,28%. Namun transaksi yang ramai di pasar saham adalah aksi jual.
Ada indikasi investor di pasar saham melepas asetnya dan beralih ke SBN. Kemudian investor asing di pasar saham melakukan jual bersih Rp 2,85 triliun dalam sepekan terakhir. Sedangkan di pasar SBN, investor asing menambah kepemilikan sebesar Rp 10,7 triliun.
Apa yang membuat SBN menjadi instrumen menarik? Tentu saja dalam hal keamanan, SBN lebih dibandingkan saham. Investor nyaris mustahil kehilangan dana pokok ketika berinvestasi di SBN, karena dijamin penuh oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mungkin yang diderita investor hanya kerugian kala menjual SBN pada saat yang kurang tepat.
Kedua, investor juga pasti mendapatkan imbalan setiap bulannya. Ini tidak diberikan oleh saham, bahkan kadang dividen pun tidak dibagikan ke pemegang saham.
Ketiga, nilai tukar rupiah sejauh ini cukup stabil setelah sempat mengalami pelemahan tajam hingga sempat menyentuh Rp 13.800/US$. Selama pekan lalu bahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,33% secara point to point dan ditutup di Rp 13.751/US$.
Penguatan nilai tukar rupiah menjadi insentif tersendiri untuk berinvestasi di pasar SBN. Kupon yang dibayar dalam denominasi rupiah yang sedang menguat akan menguntungkan bagi investor, karena bisa digunakan untuk membeli lebih banyak valas. Namun apakah angin segar di pasar SBN ini bakal bertahan lama? Sepertinya agak sulit, karena perkembangan ekonomi global yang sangat dinamis.
Pekan ini, akan ada tiga pengumuman suku bunga acuan yaitu di AS, Inggris, dan Indonesia. Bank Sentral AS The Federal Reserve/The Fed kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 1,5-1,75%. CME Group, yang merilis Federal Funds Futures (instrumen yang mempertaruhkan suku bunga acuan di AS), menyebutkan bahwa probabilitas kenaikan suku bunga acuan mencapai 93%.
Sementara Bank Sentral Inggris (BoE) diperkirakan masih mempertahankan suku bunga acuan pada pertemuan 22 Maret waktu setempat. Kenaikan suku bunga diperkirakan baru terjadi pada Mei mendatang.
Sedangkan Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih menjaga sikap (stance) netral dalam hal kebijakan moneter. Kemungkinan besar BI masih akan menahan suku bunga acuan, demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan kestabilan nilai tukar rupiah.
Ketika suku bunga di AS naik sementara di Indonesia tetap, maka selisih (spread) akan menyempit. Instrumen di AS akan semakin menarik, dan kemungkinan ada perpindahan dana ke sana.
Ketika investor banyak melepas SBN, maka harga akan turun. Kemudian yield pun akan kembali bergerak naik.
Pasar (dan pemerintah selaku penerbit SBN) harus bersiap menghadapi kemungkinan tersebut. Angin sejuk ini tidak berhembus selamanya.