
IHSG Ikut Terseret Pelemahan Bursa Utama Asia
Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
14 March 2018 09:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka terkoreksi 0,05% ke level 6.409,52 poin. Pelemahan bursa saham domestik ini seirama dengan bursa-bursa saham regional lainnya.
Saham-saham yang mendorong pelemahan IHSG, antara lain saham TLKM yang turun 0,73% dan saham BBRI yang terkoreksi 0,80%. Selain itu, saham-saham sektor pertambangan ramai terkoreksi pada perdagangan pagi ini.
Bursa saham Asia pagi ini masih berada di zona merah, indek Nikkei 225 turun 0,79%, indeks Kospi terkoreksi 0,61%, indeks Hang Seng turun 1,17%, indek Shanghai Composite turun 0,38%, dan indeks Strait Times turun 0,51%.
Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup melemah. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,68%, S&P 500 terkoreksi 0,64%, dan Nasdaq berkurang 1,02%.
Bursa Negeri Paman Sam terhempas oleh isu domestik yaitu dicopotnya Menteri Luar Negeri Rex Tillerson. Presiden Donald Trump menggantikan Tillerson dengan Mike Pompeo, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Badan Intelejen Pusat (CIA). Pergantian ini membuat pasar sedikit gusar, karena menebak-nebak bagaimana kebijakan luar negeri AS ke depan setelah pergantian menteri.
Selain itu, Wall Street juga terhempas akibat pemberitaan Politico yang menyebutkan Trump akan mengenakan bea masuk baru yang menyasar produk-produk China terkait kekayaan intelektual. Bea masuk tersebut dikabarkan akan keluar pekan depan.
Disebutkan bahwa pemerintah AS akan menerapkan bea masuk bagi lebih dari 100 produk China. Akan diatur juga mengenai kemungkinan pembatasan visa bagi warga China atau control yang lebih ketat atas ekspor ke Negeri Tirai Bambu untuk mencegah pencurian kekayaan intelektual.
Kedua faktor ini mampu membuat Wall Street mengalami mood swing. Padahal Wall Street dibuka dengan penuh optimisme karena rilis data inflasi yang sesuai perkiraan.
Inflasi AS periode Februari tercatat sebesar 0,2% month to month (Mtm) dan 2,2% YoY, sesuai dengan ekspektasi pasar. Investor nampaknya bisa sedikit bernafas lega setelah rangkaian positif data ekonomi AS yang mampu menahan The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Sebelumnya, data ketenagakerjaa juga di bawah ekspektasi dengan kenaikan upah per jam yang hanya 0,1%.
Untuk perdagangan hari ini, perkembangan di Wall Street bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG. Koreksi Wall Street bisa menular ke Asia, termasuk Indonesia.
Kabar bahwa AS akan memberlakukan bea masuk baru bagi produk-produk China juga bisa menjadi kabar kurang sedap bagi pasar keuangan Asia. Meski targetnya adalah produk-produk made in China, tetapi bahan baku pembuatan produk tersebut bisa berasal dari banyak negara, termasuk Indonesia.
Sentimen negatif lain adalah pernyataan Analis Standard and Poor's (S&P) Global Ratings, Xavier Jean, bahwa Indonesia perlu mewaspadai pelemahan nilai tukar rupiah yang bisa mengarah ke Rp 15.000/US$. Level tersebut adalah ambang psikologis yang jika tertembus maka akan menyulitkan dunia usaha untuk menjalankan aktivitasnya.
Peringatan dari S&P tersebut menjadi faktor yang perlu dicermati. S&P merupakan lembaga yang cukup konsenrvatif, sehingga ketika mereka menggaribawahi sesuatu berarti memang ada yang perlu mendapat perhatian.
Sentimen negatif lainnya bisa datang dari harga komoditas. Harga minyak masih mengalami tekanan. Investor khawatir pasokan minyak dari AS yang melimpah, setelah konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan cadangan minyak Negeri Paman Sam pada pekan ke-2 Maret akan bertambah 1,5 juta barel dari posisi 425,9 juta barel pada pekan sebelumnya.
Ambil untung alias profit taking juga masih menjadi risiko yang membayangi IHSG. Meski turun cukup dalam kemarin, IHSG masih surplus 0,9% sejak awal tahun. Masih ada sisa keuntungan yang bisa dicairkan investor.
Sementara faktor yang bisa mengembalikan IHSG ke zona hijau adalah koreksi signifikan yang terjadi kemarin membuat harga aset menjadi lebih murah. Ini bisa menyebabkan aksi borong yang mendukung penguatan IHSG.
Perkembangan dolar AS juga bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Greenback masih dalam mode defensif setelah rilis data inflasi AS yang sesuai ekspektasi pasar. Sepertinya keenaikan suku bunga acuan tidak akan terlalu agresif, yang membuat dolar AS sulit menguat signifikan.
(hps) Next Article IHSG Dibuka Menguat, Atmosfer Konsolidasi Masih Terasa
Saham-saham yang mendorong pelemahan IHSG, antara lain saham TLKM yang turun 0,73% dan saham BBRI yang terkoreksi 0,80%. Selain itu, saham-saham sektor pertambangan ramai terkoreksi pada perdagangan pagi ini.
Bursa saham Asia pagi ini masih berada di zona merah, indek Nikkei 225 turun 0,79%, indeks Kospi terkoreksi 0,61%, indeks Hang Seng turun 1,17%, indek Shanghai Composite turun 0,38%, dan indeks Strait Times turun 0,51%.
Bursa Negeri Paman Sam terhempas oleh isu domestik yaitu dicopotnya Menteri Luar Negeri Rex Tillerson. Presiden Donald Trump menggantikan Tillerson dengan Mike Pompeo, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Badan Intelejen Pusat (CIA). Pergantian ini membuat pasar sedikit gusar, karena menebak-nebak bagaimana kebijakan luar negeri AS ke depan setelah pergantian menteri.
Selain itu, Wall Street juga terhempas akibat pemberitaan Politico yang menyebutkan Trump akan mengenakan bea masuk baru yang menyasar produk-produk China terkait kekayaan intelektual. Bea masuk tersebut dikabarkan akan keluar pekan depan.
Disebutkan bahwa pemerintah AS akan menerapkan bea masuk bagi lebih dari 100 produk China. Akan diatur juga mengenai kemungkinan pembatasan visa bagi warga China atau control yang lebih ketat atas ekspor ke Negeri Tirai Bambu untuk mencegah pencurian kekayaan intelektual.
Kedua faktor ini mampu membuat Wall Street mengalami mood swing. Padahal Wall Street dibuka dengan penuh optimisme karena rilis data inflasi yang sesuai perkiraan.
Inflasi AS periode Februari tercatat sebesar 0,2% month to month (Mtm) dan 2,2% YoY, sesuai dengan ekspektasi pasar. Investor nampaknya bisa sedikit bernafas lega setelah rangkaian positif data ekonomi AS yang mampu menahan The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Sebelumnya, data ketenagakerjaa juga di bawah ekspektasi dengan kenaikan upah per jam yang hanya 0,1%.
Untuk perdagangan hari ini, perkembangan di Wall Street bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG. Koreksi Wall Street bisa menular ke Asia, termasuk Indonesia.
Kabar bahwa AS akan memberlakukan bea masuk baru bagi produk-produk China juga bisa menjadi kabar kurang sedap bagi pasar keuangan Asia. Meski targetnya adalah produk-produk made in China, tetapi bahan baku pembuatan produk tersebut bisa berasal dari banyak negara, termasuk Indonesia.
Sentimen negatif lain adalah pernyataan Analis Standard and Poor's (S&P) Global Ratings, Xavier Jean, bahwa Indonesia perlu mewaspadai pelemahan nilai tukar rupiah yang bisa mengarah ke Rp 15.000/US$. Level tersebut adalah ambang psikologis yang jika tertembus maka akan menyulitkan dunia usaha untuk menjalankan aktivitasnya.
Peringatan dari S&P tersebut menjadi faktor yang perlu dicermati. S&P merupakan lembaga yang cukup konsenrvatif, sehingga ketika mereka menggaribawahi sesuatu berarti memang ada yang perlu mendapat perhatian.
Sentimen negatif lainnya bisa datang dari harga komoditas. Harga minyak masih mengalami tekanan. Investor khawatir pasokan minyak dari AS yang melimpah, setelah konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan cadangan minyak Negeri Paman Sam pada pekan ke-2 Maret akan bertambah 1,5 juta barel dari posisi 425,9 juta barel pada pekan sebelumnya.
Ambil untung alias profit taking juga masih menjadi risiko yang membayangi IHSG. Meski turun cukup dalam kemarin, IHSG masih surplus 0,9% sejak awal tahun. Masih ada sisa keuntungan yang bisa dicairkan investor.
Sementara faktor yang bisa mengembalikan IHSG ke zona hijau adalah koreksi signifikan yang terjadi kemarin membuat harga aset menjadi lebih murah. Ini bisa menyebabkan aksi borong yang mendukung penguatan IHSG.
Perkembangan dolar AS juga bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Greenback masih dalam mode defensif setelah rilis data inflasi AS yang sesuai ekspektasi pasar. Sepertinya keenaikan suku bunga acuan tidak akan terlalu agresif, yang membuat dolar AS sulit menguat signifikan.
(hps) Next Article IHSG Dibuka Menguat, Atmosfer Konsolidasi Masih Terasa
Most Popular