
IHSG Dibuka Menguat, Atmosfer Konsolidasi Masih Terasa
Houtmand P Saragih & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 March 2018 09:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat 0,63% ke level 6.473,56 poin. Penguatan bursa saham domestik dipengaruhi oleh pembukaan pasar saham utama Asia yang mayoritas dibuka menguat, setelah pekan lalu IHSG melewati pekan-pekan yang bergejolak.
Bursa saham Jepang pagi ini masih dalam tren menguat, dimana indeks Nikkei 225 menguat 1,76%. Indek Kospi menguat 0,91%, indeks Hang Seng menguat 1,28%, indeks Shanghai Composite naik 0,25% dan indeks Strait Times naik 1,48%.
Akhir pekan lalu, dari bursa Wall Street, penguatan signifikan terjadi pada perdagangan akhir pekan lalu. Indeks Dow Jones Industral Average (DJIA) naik 1,77%, S&P 500 menguat 1,74%, dan Nasdaq bertambah 1,79%. Dalam sepekan, DJIA naik 3,25%. Kemudian S&P 500 menguat 3,5% dan Nasdaq bertambah 4,2%.
Investor bereaksi atas rilis data data ketenagakerjaan Negeri Adidaya yang tidak sebaik perkiraan. Pada pekan lalu, klaim tunjangan pengangguran (jobless claim) di AS tercatat 231.000, lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang sebesar 220.000.
Selain itu, gaji tenaga kerja AS juga naik 2,6% secara tahunan. Klaim pekan lalu naik dibandingkan pekan sebelumnya yaitu 210.000.
Pasar saham domestik pada perdagangan pekan lalu, menghadapi tantangan cukup berat. Tekanan dan sentimen negatif yang mempengaruhi perdagangan saham tak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam negeri.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara akumulatif dalam sepekan turun 2,69% menjadi 6.433,32 poin dari 6.582,31 poin pada akhir pekan sebelumnya.
Untuk perdagangan hari ini, terdapat sejumlah sentimen positif yang bisa membantu IHSG keluar dari tekanan. Pertama adalah penguatan signifikan di Wall Street akhir pekan lalu, yang bisa membawa suntikan tenaga bagi bursa Asia, termasuk Indonesia.
Kemudian harga minyak juga sudah kembali hijau (meski masih terbatas) setelah sebelumnya turun cukup dalam. Ini akan membantu kinerja emiten migas dan pertambangan.
Dolar AS juga bergerak melemah seiring kemungkinan The Fed yang tidak akan agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia, melemah sejak akhir pekan lalu merespons data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam yang belum kuat. Ini bisa menjadi momentum apresiasi rupiah dan berdampak positif bagi IHSG.
Sentimen perang dagang yang mereda juga membantu bursa saham Asia, termasuk Indonesia. Keberanian investor mengambil risiko akan kembali, sehingga ada harapan minat terhadap pasar saham Indonesia meningkat.
Kemudian sejumlah emiten besar seperti SMGR, TLKM, ANTM, TOWR, PTBA, dan LPKR juga akan melaporkan kinerjanya. Bila hasilnya positif, maka akan menjadi dorongan penguatan IHSG.
Selain itu, IHSG yang sudah terkoreksi cukup dalam selama pekan lalu membuat harga aset menjadi lebih murah. Investor bisa memanfaatkan ini untuk melakukan aksi borong sehingga IHSG pun terangkat.
Namun, ada pula risiko yang bisa membuat IHSG melanjutkan perjalanan di zona merah. Investor sepertinya masih berpersepsi negatif atas keputusan pemerintah menetapkan harga jual batu bara domestik, yang bisa menekan kinerja saham-saham pertambangan. Tidak hanya itu, kebijakan ini juga berdampak terhadap kesehatan fiskal.
Postur anggaran negara tengah menjadi sorotan. Sejumlah lembaga pemeringkat (rating) menyatakan salah satu risiko yang dihadapi Indonesia adalah penerimaan negara yang tidak mencapai target. Ini menyebabkan pendanaan untuk program prioritas seperti pembangunan infrastruktur atau jaminan sosial terkendala.
Mencari pembiayaan dari penerbitan surat utang pun bukan hal yang mudah, karena situasi pasar yang masih diliputi ketidakpastian. Saat ini, investor masih cenderung menghindari aset-aset yang dinilai berisiko (risk-off).
Risiko berikutnya adalah rilis data penjualan eceran/ritel yang belum solid. Bank Indonesia (BI) merilis hasil survei penjualan eceran, yang mengindikasikan koreksi pertumbuhan penjualan eceran pada Januari 2018. Hal ini tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) yang terkontraksi 1,8% secara tahunan (year on year/yoy) setelah pada bulan sebelumnya naik 0,7% yoy.
Rilis data ini bisa menjadi sentimen negatif bagi saham-saham barang konsumsi, keuangan, sampai manufaktur. Sebab, sepertinya konsumsi masyarakat dan daya beli belum pulih sepenuhnya.
Risiko lain, meski pekan lalu melemah signifikan tetapi ternyata IHSG masih menyimpan "tabungan" penguatan. Sejak awal tahun, IHSG masih tumbuh 1,22% sehingga ada sisa keuntungan yang bisa dicairkan kapan saja.
(hps) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Bursa saham Jepang pagi ini masih dalam tren menguat, dimana indeks Nikkei 225 menguat 1,76%. Indek Kospi menguat 0,91%, indeks Hang Seng menguat 1,28%, indeks Shanghai Composite naik 0,25% dan indeks Strait Times naik 1,48%.
Akhir pekan lalu, dari bursa Wall Street, penguatan signifikan terjadi pada perdagangan akhir pekan lalu. Indeks Dow Jones Industral Average (DJIA) naik 1,77%, S&P 500 menguat 1,74%, dan Nasdaq bertambah 1,79%. Dalam sepekan, DJIA naik 3,25%. Kemudian S&P 500 menguat 3,5% dan Nasdaq bertambah 4,2%.
Selain itu, gaji tenaga kerja AS juga naik 2,6% secara tahunan. Klaim pekan lalu naik dibandingkan pekan sebelumnya yaitu 210.000.
Pasar saham domestik pada perdagangan pekan lalu, menghadapi tantangan cukup berat. Tekanan dan sentimen negatif yang mempengaruhi perdagangan saham tak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam negeri.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara akumulatif dalam sepekan turun 2,69% menjadi 6.433,32 poin dari 6.582,31 poin pada akhir pekan sebelumnya.
Untuk perdagangan hari ini, terdapat sejumlah sentimen positif yang bisa membantu IHSG keluar dari tekanan. Pertama adalah penguatan signifikan di Wall Street akhir pekan lalu, yang bisa membawa suntikan tenaga bagi bursa Asia, termasuk Indonesia.
Kemudian harga minyak juga sudah kembali hijau (meski masih terbatas) setelah sebelumnya turun cukup dalam. Ini akan membantu kinerja emiten migas dan pertambangan.
Dolar AS juga bergerak melemah seiring kemungkinan The Fed yang tidak akan agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia, melemah sejak akhir pekan lalu merespons data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam yang belum kuat. Ini bisa menjadi momentum apresiasi rupiah dan berdampak positif bagi IHSG.
Sentimen perang dagang yang mereda juga membantu bursa saham Asia, termasuk Indonesia. Keberanian investor mengambil risiko akan kembali, sehingga ada harapan minat terhadap pasar saham Indonesia meningkat.
Kemudian sejumlah emiten besar seperti SMGR, TLKM, ANTM, TOWR, PTBA, dan LPKR juga akan melaporkan kinerjanya. Bila hasilnya positif, maka akan menjadi dorongan penguatan IHSG.
Selain itu, IHSG yang sudah terkoreksi cukup dalam selama pekan lalu membuat harga aset menjadi lebih murah. Investor bisa memanfaatkan ini untuk melakukan aksi borong sehingga IHSG pun terangkat.
Namun, ada pula risiko yang bisa membuat IHSG melanjutkan perjalanan di zona merah. Investor sepertinya masih berpersepsi negatif atas keputusan pemerintah menetapkan harga jual batu bara domestik, yang bisa menekan kinerja saham-saham pertambangan. Tidak hanya itu, kebijakan ini juga berdampak terhadap kesehatan fiskal.
Postur anggaran negara tengah menjadi sorotan. Sejumlah lembaga pemeringkat (rating) menyatakan salah satu risiko yang dihadapi Indonesia adalah penerimaan negara yang tidak mencapai target. Ini menyebabkan pendanaan untuk program prioritas seperti pembangunan infrastruktur atau jaminan sosial terkendala.
Mencari pembiayaan dari penerbitan surat utang pun bukan hal yang mudah, karena situasi pasar yang masih diliputi ketidakpastian. Saat ini, investor masih cenderung menghindari aset-aset yang dinilai berisiko (risk-off).
Risiko berikutnya adalah rilis data penjualan eceran/ritel yang belum solid. Bank Indonesia (BI) merilis hasil survei penjualan eceran, yang mengindikasikan koreksi pertumbuhan penjualan eceran pada Januari 2018. Hal ini tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) yang terkontraksi 1,8% secara tahunan (year on year/yoy) setelah pada bulan sebelumnya naik 0,7% yoy.
Rilis data ini bisa menjadi sentimen negatif bagi saham-saham barang konsumsi, keuangan, sampai manufaktur. Sebab, sepertinya konsumsi masyarakat dan daya beli belum pulih sepenuhnya.
Risiko lain, meski pekan lalu melemah signifikan tetapi ternyata IHSG masih menyimpan "tabungan" penguatan. Sejak awal tahun, IHSG masih tumbuh 1,22% sehingga ada sisa keuntungan yang bisa dicairkan kapan saja.
(hps) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Most Popular