
Internasional
Pasar Mobil Listrik Lejitkan Harga Kobalt
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
21 February 2018 16:20

London, CNBC Indonesia – Kobalt mencetak sejarah harga tertinggi berkat sokongan industri otomotif yang membutuhkan logam langka itu untuk membuat baterai listrik yang ringan dan awet.
Harga per ton kobalt menanjak menjadi US$82.000 (Rp 1,1 miliar) di Bursa Logam London (LME) pada pertengahan Februari. Angka itu menjadi level tertinggi sejak bursa tersebut mulai melacak komoditas ini di tahun 2010, nilainya juga hampir tiga kali lipat dari awal tahun 2016.
Namun, pesatnya pertumbuhan permintaan ini belum mencapai puncak, menurut perusahaan spesialis penjualan kobalt, Darton Commodities.
“Pasar diprediksi akan tetap memiliki surplus pasokan sampai proyeksi pertumbuhan eksponensial pada penjualan kendaraan listrik terwujud sekitar tahun 2020,” kata perusahaan itu lewat laporan tahunan yang dikutip oleh AFP.
“Selama tahun 2017, baterai lithium-ion yang digunakan di alat elektronik konsumen portabel masih menggunakan sekitar 72% dari total pangsa pasa kobalt,” kata Darton Commodities, sembari menambahkan bahwa porsi ini cenderung akan menurun akibat pertumbuhan permintaan di sektor otomotif.
“Mobil listrik muncul di tahun 2017 dengan penjualan yang tumbuh 51%,” kata para analis di Macquarie. Namun, berhentinya subsidi negara untuk penjualan di China dapat sedikit memperlambat pertumbuhan ini di tahun 2018.
Di seluruh dunia, semakin banyak negara yang berencana untuk menghentikan produksi mobil berbahan bakar bensin dan diesel dan mendorong sektor manufaktur untuk merancang strategi supaya bisa memenuhi permintaan kendaraan listrik.
Pada bulan Desember, Glencore, raksasa Tambang asal Swiss, mengatakan pihaknya sempat berdiskusi dengan Volkswagen dan Tesla untuk memasok kobalt ke mereka, menurut direktur pelaksana perusahaan, Ivan Glasenberg.
Sementara produsen kendaraan listrik terkemuka Tesla tetap berhati-hati dalam mengungkapkan kebutuhan bahan mentahnya, pemberitaan menyebutkan bahwa negosiasi Volkswagen dengan produsen kobalt telah rampung.
Untuk menanggapi permintaan tersebut, Glencore mengumumkan pada akhir 2017 bahwa pihaknya akan menghasilkan sekitar 63.000 ton kobalt di tahun 2020, suatu peningkatan drastis dibanding produksi sebesar 27.000 ton di tahun 2017.
Alasan lain dari tumbuhnya minat pasar ini adalah sebagian besar kobalt dihasilkan oleh tambang tembaga dan nikel.
Kandungan kobalt pada setiap ton bijih yang ditambang sangat kecil sehingga perlu konsentrasi tinggi agar aktivitas penambangan dapat membuahkan hasil.
“Alhasil, cadangan global kobalt tergantung pada kelangsungan ekonomi di tambang tembaga dan nikel,” para analis di Natixis memperingatkan.
Maka dari itu, turunnya harga tembaga dan nikel dapat menghambat operasi kobalt yang sudah ada sebelum tambang-tambang lain dapat dibawa secara online untuk mengkompensasi penurunan produksi.
Sebagai tambahan, lebih dari setengah produksi tambang kobalt berasal dari Republik Demokratik Kongo di tahun 2017.
Negara itu, karena dihadapkan pada permintaan yang meningkat, berencana untuk menaikkan pajak logamnya hingga lima kali lipat yang mengejutkan berbagai sektor terkait.
Beberapa kalangan percaya harga harian yang diatur oleh LME bisa jadi telah terlalu tinggi menaksir potensi kobalt.
Harga LME hanya mencerminkan bagian nilai asli dari logam karena bursa kobalt sebagian besar berada di luar pasar publik.
Darton Commodities berargumen investor keuangan, yang terpikat oleh potensi kendaraan listrik, bisa saja menciptakan demam pasar.
“Di tahun 2017, harga rata-rata tahunan kobalt meningkat lebih dari dua kali lipat, yang disebabkan oleh kuatnya permintaan dari konsumen, terbatasnya ketersediaan kobalt di pasar spot dan meningkatnya pembelian logam oleh investor,” kata Survei Geologi AS dalam laporan tahunannya.
(prm) Next Article Apple Gerilya Amankan Pasokan Kobalt
Harga per ton kobalt menanjak menjadi US$82.000 (Rp 1,1 miliar) di Bursa Logam London (LME) pada pertengahan Februari. Angka itu menjadi level tertinggi sejak bursa tersebut mulai melacak komoditas ini di tahun 2010, nilainya juga hampir tiga kali lipat dari awal tahun 2016.
Namun, pesatnya pertumbuhan permintaan ini belum mencapai puncak, menurut perusahaan spesialis penjualan kobalt, Darton Commodities.
“Pasar diprediksi akan tetap memiliki surplus pasokan sampai proyeksi pertumbuhan eksponensial pada penjualan kendaraan listrik terwujud sekitar tahun 2020,” kata perusahaan itu lewat laporan tahunan yang dikutip oleh AFP.
“Selama tahun 2017, baterai lithium-ion yang digunakan di alat elektronik konsumen portabel masih menggunakan sekitar 72% dari total pangsa pasa kobalt,” kata Darton Commodities, sembari menambahkan bahwa porsi ini cenderung akan menurun akibat pertumbuhan permintaan di sektor otomotif.
“Mobil listrik muncul di tahun 2017 dengan penjualan yang tumbuh 51%,” kata para analis di Macquarie. Namun, berhentinya subsidi negara untuk penjualan di China dapat sedikit memperlambat pertumbuhan ini di tahun 2018.
Di seluruh dunia, semakin banyak negara yang berencana untuk menghentikan produksi mobil berbahan bakar bensin dan diesel dan mendorong sektor manufaktur untuk merancang strategi supaya bisa memenuhi permintaan kendaraan listrik.
Pada bulan Desember, Glencore, raksasa Tambang asal Swiss, mengatakan pihaknya sempat berdiskusi dengan Volkswagen dan Tesla untuk memasok kobalt ke mereka, menurut direktur pelaksana perusahaan, Ivan Glasenberg.
Sementara produsen kendaraan listrik terkemuka Tesla tetap berhati-hati dalam mengungkapkan kebutuhan bahan mentahnya, pemberitaan menyebutkan bahwa negosiasi Volkswagen dengan produsen kobalt telah rampung.
Untuk menanggapi permintaan tersebut, Glencore mengumumkan pada akhir 2017 bahwa pihaknya akan menghasilkan sekitar 63.000 ton kobalt di tahun 2020, suatu peningkatan drastis dibanding produksi sebesar 27.000 ton di tahun 2017.
Alasan lain dari tumbuhnya minat pasar ini adalah sebagian besar kobalt dihasilkan oleh tambang tembaga dan nikel.
Kandungan kobalt pada setiap ton bijih yang ditambang sangat kecil sehingga perlu konsentrasi tinggi agar aktivitas penambangan dapat membuahkan hasil.
“Alhasil, cadangan global kobalt tergantung pada kelangsungan ekonomi di tambang tembaga dan nikel,” para analis di Natixis memperingatkan.
Maka dari itu, turunnya harga tembaga dan nikel dapat menghambat operasi kobalt yang sudah ada sebelum tambang-tambang lain dapat dibawa secara online untuk mengkompensasi penurunan produksi.
Sebagai tambahan, lebih dari setengah produksi tambang kobalt berasal dari Republik Demokratik Kongo di tahun 2017.
Negara itu, karena dihadapkan pada permintaan yang meningkat, berencana untuk menaikkan pajak logamnya hingga lima kali lipat yang mengejutkan berbagai sektor terkait.
Beberapa kalangan percaya harga harian yang diatur oleh LME bisa jadi telah terlalu tinggi menaksir potensi kobalt.
Harga LME hanya mencerminkan bagian nilai asli dari logam karena bursa kobalt sebagian besar berada di luar pasar publik.
Darton Commodities berargumen investor keuangan, yang terpikat oleh potensi kendaraan listrik, bisa saja menciptakan demam pasar.
“Di tahun 2017, harga rata-rata tahunan kobalt meningkat lebih dari dua kali lipat, yang disebabkan oleh kuatnya permintaan dari konsumen, terbatasnya ketersediaan kobalt di pasar spot dan meningkatnya pembelian logam oleh investor,” kata Survei Geologi AS dalam laporan tahunannya.
(prm) Next Article Apple Gerilya Amankan Pasokan Kobalt
Most Popular