Menakar Kenaikan Harga Komoditas pada 2018

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
07 February 2018 10:49
Menakar Kenaikan Harga Komoditas pada 2018
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas pertambangan menguat memasuki tahun 2018. Kekurangan pasokan menjadi salah pemicu kenaikan harga komoditas-komoditas tersebut.

Penguatan harga komoditas tersebut memicu kenaikan harga saham-saham pertambangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Indeks sektor pertambangan, secara year to date (ytd) hingga perdagangan kemarin menguat 21,73%.

Hal ini dapat menjadi sentimen positif bagi perkembangan industri pertambangan di Indonesia, mengingat barang galian yang disebutkan di atas termasuk dalam komoditas mineral utama di Indonesia. Selain itu, diharapkan peningkatan harga ini dapat memicu nilai ekspor di sektor pertambangan dan menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan I-2018 ini.

Menakar Kenaikan Harga Komoditas pada 2018Foto: CNBC Indonesia

CNBC Indonesia mengulas lebih jauh rekapitulasi pergerakan harga komoditas barang tambang pada tahun 2017, serta outlook komoditas mineral di tahun 2018, khususnya untuk emas, tembaga, dan nikel yang masuk jajaran 5 besar komoditas dengan sumber daya mineral terbesar di Indonesia. Selain itu, komoditas batu bara juga akan turut dikaji.

Harga tembaga terkoreksi 1,08% year to date (ytd) hingga penutupan tanggal 5 Februari ke level US$ 7.169/metrik ton (vs US$ 7.247/metric ton pada 29 Desember 2017). Meski demikian, semenjak tanggal 23 Januari 2018, harga tembaga mulai menunjukkan tren naik (meskipun masih cenderung volatil).

Menakar Kenaikan Harga Komoditas pada 2018Foto: CNBC Indonesia

Kemudian harga nikel telah meningkat 5,47% pada periode yang sama hingga penutupan tanggal 5 Februari ke level US$ 13.400/metrik ton (dibanding US$ 12.705,5/metric ton pada 29 Desember 2017). Meskipun masih bergerak volatil pada awal tahun 2018, harga nikel mulai menanjak pada pertengahan Januari 2018.

Harga nikel memiliki historis harga yang paling volatil di sepanjang 2017. Naik turunnya pasokan banyak mempengaruhi harga nikel tahun lalu. Filipina sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia sempat dihebohkan dengan hasil audit lingkungan hidup yang mewacanakan untuk melarang operasi open cut mining pada awal tahun 2017.

Kondisi tersebut membuat produksi nikel menjadi tidak pasti dan menyebabkan harga melambung tinggi . Namun demikian, setelah larangan tersebut tidak jadi direalisasikan, harga nikel pun berangsur pulih.

Sebagai upaya pemerintah untuk menggenjot hilirisasi industri, Indonesia juga sempat menggalakkan larangan untuk mengekspor bijih nikel berkadar rendah, sehingga mempengaruhi berkurangnya pasokan. Akan tetapi, pada awal tahun 2017, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melonggarkan larangan tersebut sehingga mendorong penurunan harga secara global.

Dari sisi permintaan, pengembangan mobil listrik dapat menyuntikkan sentimen positif yang mampu mengerek harga nikel. Namun demikian, permintaan nikel untuk baterai mobil listrik masih relatif rendah dan belum bisa berpengaruh secara fundamental. 

 

Menakar Kenaikan Harga Komoditas pada 2018Foto: CNBC Indonesia

Meskipun sejumlah negara telah menerbitkan serangkaian kebijakan untuk mempromosikan mobil listrik, nampaknya transisi dari mobil konvensional berbahan bakar fosil ke mobil listrik masih memerlukan tahapan yang cukup panjang.

NAB memproyeksikan surplus pada pasar nikel di tahun 2018 dengan diikuti oleh penurunan harga, meskipun harga nikel akan cenderung kembali bergerak volatil.

Pasar tembaga tahun 2017 mampu melebihi ekpektasi pada tahun 2017 seiring dengan menguatnya permintaan dan disrupsi yang terjadi dari sisi pasokan. Sepanjang tahun 2017, harga tembaga telah meningkat hingga 30,92% year to date, mencapai US$ 7.247/mt pada 29 Desember 2017. Capaian ini melampaui konsensus bahwa harga tembaga akan turun ke level US$ 5.191/mt.

Sepanjang 2017, permintaan tembaga, khususnya dari negeri China, ternyata lebih tinggi daripada ekspektasi. Pasar perumahan dan bangunan di China yang tumbuh baik serta kuatnya pertumbuhan ekonomi global, mampu menghembuskan energi positif bagi permintaan tembaga. Mengutip Reuters, impor tembaga telah meningkat 23,7% YoY ke level 470.000 ton pada periode November 2017.

Sementara itu, pelemahan pasokan juga mewarnai kenaikan harga tembaga tahun lalu. Tercatat, dua tambang besar di dunia, yakni Escondida di Chili dan Grasberg di Indonesia mengurangi pasokannya pada awal tahun lalu.

Disrupsi yang terjadi di Grasberg sendiri menyusul ketatnya negosiasi antara PT. Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia perihal divestasi saham dan kewajiban pembangunan smelter. Di beberapa negara, juga terjadi pemotongan produksi tembaga seiring dengan menurunnya kualitas bijih dan faktor cuaca. 

National Australia Bank (NAB) memprediksi ketersediaan konsentrat tembaga berkualitas baik akan mendongkrak produksi pada 2018. Akan tetapi, peningkatan produksi juga akan terbatas seiring dengan larangan China untuk mengimpor tembaga setengah jadi. 

Dari sisi permintaan, pertumbuhan permintaan diperkirakan tidak akan secepat pada tahun 2017 dan lebih cenderung stabil. Hal ini didorong oleh proyeksi pertumbuhan sektor real estate China yang tumbuh melambat pada tahun ini. Secara keseluruhan, NAB memprediksi adanya defisit di pasar nikel dalam skala kecil, dengan harga si “logam merah” pada 2018 akan berada di harga rata-rata US$ 6.645/mt.

Sementara itu, harga emas meningkat 2,08% ytd hingga penutupan tanggal 5 Februari ke level US$ 1336,5/t oz. (vs US$ 1309,3 pada 29 Desember 2017). Sepanjang tahun 2017, harga emas memang sudah meningkat dalam kisaran 13,68% YTD

Menakar Kenaikan Harga Komoditas pada 2018Foto: CNBC Indonesia


Peningkatan harga emas sejak tahun lalu memang didorong oleh permintaan investasi seiring dengan melemahnya dolar AS dan meningkatnya tensi geopolitik antara AS dan Korea Utara. Sebagai catatan, indeks dollar telah melemah 10,43% sepanjang tahun 2017. 

Mendekati akhir tahun 2017, harga emas agak terkontraksi dan bergerak volatil seiring ekspektasi pengetatan kebijakan moneter AS, termasuk meningkatnya suku bunga acuan AS. Suku bunga yang tinggi akan memberikan tendensi bagi penurunan investasi di aset emas.

Pada tahun ini, saat indeks saham melemah, investor nampaknya lebih memilih emas pada bursa komoditas, dibandingkan minyak bumi. Hal ini disebabkan oleh koreksi harga si emas hitam yang agak searah dengan pelemahan bursa saham pada tahun ini. 

Melimpahnya pasokan membuat secara fundamental tidak ada pendukung bagi kenaikan harga minyak. Produksi minyak AS naik hampir 18% sejak pertengahan 2016 ke level 10 juta barel/hari. Angka ini melampaui produksi minyak Arab Saudi. 

Di sisi lain, salah satu faktor yang menahan kenaikan harga emas di tahun 2017 adalah menurunnya permintaan emas secara fisik. Sebagai contoh, permintaan perhiasan di China pada tahun lalu cenderung mengalami penurunan, setelah adanya perubahan selera dan pola konsumsi dari konsumen berusia muda. 

Bank Dunia memprediksi harga emas akan jatuh sekitar 1% pada tahun 2018 seiring dengan ekspektasi terealisasinya kenaikan suku bunga AS hingga tiga kali pada tahun ini. Risiko lainnya yang dapat menjadi sentimen negatif bagi penurunan harga emas di antaranya penguatan ekonomi global yang masih berlanjut, peningkatan indeks saham di AS maupun regional, menguatnya dolar AS lebih kuat dari ekspektasi, dan berlanjutnya penurunan permintaan perhiasan

Terakhir, harga batu bara telah meningkat sekitar 4,74% YTD hingga penutupan tanggal 5 Februari ke leves US$ 105,5/ ton  (vs US$ 100,3/ ton pada 27 Desember 2017). Sepanjang tahun 2017, harga batu bara memang sudah meningkat dalam kisaran 13,98% YTD.  

Permintaan yang kuat di China, akibat tingginya suhu pada musim panas di China tahun lalu, disusul oleh sejumlah hambatan pada pasokan batu bara telah menggenjot impor batu bara China tahun 2017 sebesar 22,74 juta ton, pencapaian tertinggi sejak tahun 2014

Menakar Kenaikan Harga Komoditas pada 2018Foto: CNBC Indonesia


Hambatan pada pasokan batu bara di semester pertama tahun 2017 didorong oleh ketatnya aturan terkait keselamatan kerja dan perlindungan lingkungan hidup di China, rendahnya pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga hidro, dan disrupsi yang terjadi pada pengiriman batu bara dari Australia akibat Cyclone Debbie, dan berkurangnya produksi batu bara di Indonesia akibat curah hujan yang tinggi.

Mengutip komentar analis dari FocusEconomics, permintaan batu bara di 2018 diekspektasi akan mendapat energi positif dari meningkatnya kebutuhan listrik di negara berkembang. Namun demikian, banyak negara juga sudah beralih dari batu bara ke sumber energi yang lebih hijau. 

Dari sisi pasokan, regulasi perlindungan lingkungan hidup di China diperkirakan akan menjadi kunci penting pada tahun ini, mengingat China adalah konsumen sekaligus produsen utama dari komoditas batu bara di dunia.

Berdasarkan konsensus yang dihimpun dari FocusEconomics, harga thermal coal rata-rata di 2018 akan berada di kisaran US$ 79,60/ton.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular