Jakarta, CNBC Indonesia - Memang banyak masyarakat yang masih taat melakukan protokol kesehatan selama masa pandemi virus corona (Covid-19). Namun, rupanya masih lebih banyak lagi yang lebih senang melanggar protokol kesehatan, bahkan sekadar menggunakan masker dengan benar saja sepertinya sulit sekali.
Dengan perilaku seperti ini, tidak heran jika angka kasus terjangkit Covid-19 di dunia mencapai lebih dari 56,5 juta, dengan 1,3 juta kasus meninggal dalam satu tahun terakhir.
Hal ini yang membuat banyak tenaga kesehatan (nakes), seperti dokter dan perawat kelelahan dengan keadaan saat ini. Tidak sedikit nakes yang meninggal dunia setelah merawat para pasien yang terpapar Covid-19.
Tidak sedikit juga nakes yang banting setir, mencoba menggantungkan seragamnya dan bekerja di bidang lain.
Nolwenn Le Bonzec, mantan perawat yang pindah dari kampung halamannya di salah satu wilayah Prancis, Brittany ke ibu kota Belgia, Brussel, menceritakan bagaimana dia menggantung seragamnya enam bulan lalu.
Sekarang dia membuat cupcake berwarna di toko bernama 'Lilicup'. Perubahan pekerjaan yang berbeda 180 derajat ini dianggap Bonzec sebagai sesuatu yang menyelamatkan kesehatan mentalnya.
"Saya bekerja selama lima tahun di rumah sakit. Sedikit demi sedikit saya melihat kondisi kerja menurun, dan kesehatan menjadi produk belaka. Awalnya, itu adalah profesi yang kami lakukan untuk menjadi manusiawi," kata pria berusia 27 tahun itu, dikutip dari AFP.
Sama seperti Le Bonzec, Thomas Laurent, mantan perawat lainnya, baru saja meninggalkan ruang gawat darurat rumah sakit di Lyon, Prancis tengah. Ia pindah pekerjaan sebagai penjual buku.
Padahal Laurent, pria kelahiran Prancis berusia 35 tahun, sudah bermimpi bekerja di rumah sakit sejak ia berusia 15 tahun. Mimpinya selama bertahun-tahun memang terwujud, namun situasi saat ini malah membuatnya banting setir pekerjaan.
"(Kondisi di sana) tidak lagi bisa ditoleransi," ujar Laurent.
Meskipun ada permintaan putus asa dari otoritas Eropa agar staf medis terus merawat gelombang demi gelombang pasien Covid-19, para mantan perawat ini kecewa dengan sistem kesehatan masyarakat, yang mereka katakan, tidak sesuai dengan tujuan mereka.
"Kami telah menuntut kondisi yang lebih baik selama bertahun-tahun. Tetapi pemerintah (Belgia) tidak menganggap kami serius," kata Le Bonzec.
"Jika saya terus melakukannya, saya pikir saya akan jatuh ke dalam depresi. Kami memprotes. Kami berdiri. Tapi itu tidak mengubah apa pun."
Mengenang hari-harinya di klinik Saint-Luc di Brussel, Le Bonzec menjelaskan bahwa dia mempertanyakan pilihan profesinya ketika gelombang virus corona pertama melanda pada awal 2020.
"Secara psikologis, sangat sulit untuk bekerja di bangsal karantina, berjuang sepanjang waktu hanya untuk memasang masker. Kami membahayakan kesehatan kami dan keluarga kami. Pasien-pasien itu juga tidak diizinkan untuk dikunjungi. Mereka sendirian, mereka mati sendiri... Kami tidak cukup," katanya.
Kekurangan staf sangat membebani perawatan yang diberikan kepada pasien. "Sayangnya, kami mempercepat perawatan kami. Ketika kami melakukan semuanya dengan cepat, kami melakukannya dengan buruk... Itu tidak tertahankan," katanya.
Hari demi hari, kembali ke rumah sakit menjadi semakin sulit untuk direnungkan. Hingga akhirnya ia merasa tidak ada lagi tenaga untuk pekerjaan pilihannya, hanya ada rasa frustasi dan hidup terasa tidak masuk akal.
"Enam bulan berlalu, saya sama sekali tidak memikirkan pekerjaan merawat saya. Saya senang pergi bekerja sekarang, dan berbicara tentang hari kerja saya ketika saya pulang," kata Le Bonzec.
Laurent setuju dengan Le Bonzec. Sejak berhenti menjadi perawat, katanya, dia merasa tidur lebih nyenyak. Tekanan harian yang menghancurkan psikis telah menghilang.
Astrid Van Male, perawat Belgia yang telah berubah peran untuk mendukung staf perawatan kesehatan mengatasi kelelahan, mengatakan para nakes kini tidak mendapatkan dukungan yang dibutuhkan.
"(Padahal_ mereka menjalani pekerjaan itu dengan penuh cita-cita, dan mereka mandi air dingin saat kenyataan menghantam, dan mereka tidak selalu mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan," kata Van Male.
Orang-orang yang dia temui "tidak selalu memikirkan tentang merawat diri mereka sendiri karena mereka terbiasa menjaga orang lain," katanya. "Mereka menunggu sampai dunia mereka runtuh di sekitar mereka."
Beberapa merasa bersalah karena mengambil hari libur, karena khawatir hal itu hanya menambah beban bagi kolega mereka, tambahnya.
"Jika tidak ada yang dilakukan, sebentar lagi kita tidak akan memiliki lagi petugas kesehatan di rumah sakit. Bahkan perawat asing pun tidak menerima kondisi kerja ini."
Selama gelombang pertama virus corona, tepuk tangan sebagai apresiasi dari staf medis bergema di seluruh balkon di Eropa. Selama gelombang kedua ini, tepuk tangan tidak ada.
"Orang-orang bertepuk tangan untuk kami, tetapi tidak membela kami, itu terlalu mudah," kata Le Bonzec. "Mereka perlu menggunakan energinya untuk membantu kami!"